Halaman

Senin, 12 September 2011

PEMBIDAIAN/ SPALK (Oleh: Triyo Rachmadi,S.Kep.)

Tujuannya Slinting (spalk) adalah untuk mencegah pergerakan tulang yang patah. Ujung tulang yang patah mengiritasi saraf, menyebabkan rasa nyeri tetapi juga mengurangi kerusakan lanjut dari otot, saraf, pembuluh darah dengan mengurangi pergerakan tulang yang patah.

Kapan digunakan Splinting

Tidak ada aturan apapaun yang dapat diikuti, apabila ragu-ragu lebih baik pasang saja. Secara umum, pasien trauma yang berat akan lebih baik bila dilakukan imobilisasi spinal sebelum dipindahkan. Pasien yang memerlukan pemindahan tempat, memerlukan imobilisasi yang baik dengan mempergunakan Long Spine Board.

Peraturan Umum dalam Splinting

1. Anda harus benar-benar melihat bagian – bagian dari yang luka. Pakaian semuanya harus dibuka, kecuali bila ada yang terlokalisir dan tidak memperlihatkan masalah untuk melakukan imobilisasi.

2. Periksa dan catat sensasi distal dan sirkulasi sebelum dan sesudah splinting. Periksa gerakan distal dari fraktur jika mungkin (contoh, minta pasien menggerakkan jari atau ekstremitasnya dan aplikasikan dengan rangsang nyeri). Denyut nadi dapat ditandai dengan balpoin untuk mengidentifikasi letak.

3. Jika ekstremitas pasien tersebut menunjukkan angulasi, dan denyut nadi ridak ada, anda harus melakukan traksi yang halus untuk meluruskannya. Traksi ini tidak boleh lebih dari 5 kg. Jika tidak berhasil, pertahankan ekstremitas tersebut dalam posisi angulasi. Sangat penting bagi anda untuk yakin dalam meluruskan eksterimtas tersebut. Hanya dengan kekuatan yang sedikit saja, dapat menyebabkan laserasi dari dinding pembuluh darah, dan mengganggu suplai darah dari pembuluh yang lebih besar. Jika rumah sakit sangat dekat, tetap pertahankan posisi tersebut.

4. Luka terbuka harus ditutup dengan alat steril sebelum dilakukan splint. Splint harus selalu dilakukan dari sisi berlawanan dari luka terbukanya untuk mencegah nekrosis.

5. Pergunakan splint itu yang dapat mengimobilisasi satu persendian diatas dan dibawah dari luka.

6. Luruskan splint dengan benar. Hal ini mungkin benar bila terdapat defek kulit atau penonjolan tulang yang dapat menekan splint dengan keras.

7. Jangan lakukan penekanan ujung tulang dibawah kulit. Jika dilakukan traksi dan ujung tulang retraksi kembali pada lika, jangan menambah jumlah traksi. Jangan menggunakan tangan atau peralatan apapun untuk menarik ujung tulang keluar, etapi pastikan untuk menemui dokter. Ujung tulang harus secara hati-hati diluruskan dengan menggunakan perban. Penyembuhan tulang dapat dipercepat jika ujung tulang dijaga tetap pada posisi normal bila waktu transportasi lama.

8. Jika terdapat keadaan yang mengancam jiwa, fraktur dapat di splint sambil memindahkan penderita. Tetapi bila fraktur tersebut tidak serius, lakukan splinting sebelum memindahkan pasiennya.

9. Splint luka yang memungkinkan saja.

Macam-macam Splint

Ø Rigid Splint.

Tipe ini dapat dibuat dari macam bahan termasuk papan panjang, plastik keras, besi atau kayu.

Ø Soft Splint

Tipe ini meliputi splint udara, bantal dan mitela.

Splint udara baik untuk fraktur pada lengan bawah dan tungkai bawah. PASG (Pneumatic Antishock Garment) adalah suatu splint udara yang baik. Splint udara berguna untuk memperlambat perdarahan, tetapi juga meningkatkan tekanan seperti peningkatan suhu atau tekanan. Soft slpint sebaiknya tidak diperguanakan pada fraktur angulasi, karena akan meningkatkan tekanan secara otomatis.

Beberapa kelemahan dari splint udara adalah :

· Nadi tidak dapat dimonitor bila splint terpasang.

· Dapat menimbulkan sindrom kompartemen.

· Menimbulkan sakit pada kulit dan nyeri bila dibuka.

Mengembangkan splint udara adalah dengan cara meniup dengan mulut atau dengan pompa kaki sampai diperoleh tekanan yang cukup.

Saat menggunakan splint udara, harus secara rutin diperiksa tekanannya untuk memastikan bahwa splint tidak terlalu kencang atau kendor.

Ingat bahwa jika splint udara dipakai pada lingkungan yang dingin dan pasien dipindahkan pada lingkungan yang hangat, tekanannya akan meningkat.

Jika terdapat ambulan udara, harus diingat bahwa tekanan pada splint udara meningkat jika digunakan di tanah dan setelah pasien dipindahkan ke rumah sakit. Harus diingat pula bahwa jika tekanan dikurangi dalam penerbangan, tekanan akan terlalu rendah saat pasien kembali ke tanah.

Bantal adalah splint yang baik untuk trauma pada lutut atau kaki. Juga berguna untuk digunakan pada stabilisasi dislokasi bahu.

Mitela adalah sangat baik untuk fiksasi trauma klavikula, bahu, lengan atas, siku, dan kadang-kadang telapak tangan. Beberapa trauma pada bahu menyebabkan bahu tidak dapat didekatkan pada dinding dada tanpa menggunakan paksaan.

Dalam kasus ini bantal digunakan untuk menjembatani gap yang ada antara dinding dada dan lengan atas.

Ø Traction Splint

Berguna untuk :

· Imobilisasi

· Mengurangi nyeri

· Mengurangi perdarahan

Bentuk ini dirancang untuk fraktur ekstermitas bawah. Splint ini menyebabkan imobilisasi paha dengan melakukan tarikan pada ektremitas dengan menggunakan counter traction terhadap ischium dan sendi panggul. Traksi ini akan mengurangi terjadinya spasme pada otot. Jika trasksi ini tidak dilakukan akan menyebabkan nyeri hebat karena ujung tulang akan saling bersinggungan. Traksi ini juga mengurangi ujung femur yang dapat menyebabkan laserasi n.femoralis, arteri, atau vena. Ada banyak design dan tipe dari splint yang cocock untuk traksi ekstremitas bawah, tetapi harus hati-hati dan teliti untuk mencegah tarikan yang terlau besar sehingga dapat menyebabkan gangguan sirkulasi kaki.

Syarat utama dalam pembidaian adalah bidai harus dapat mempertahankan kedudukan dua sendi tulang di dekat tulang yang patah, tidak boleh terlalu kendor karena akan merubah posisi tuylang yang patah dan tidak boleh terlalu ketat/ kencang karena akanmerusak jaringan tubuh.

Dipersilahkan kepada semua linatih untuk mempraktekan bermacam- macam pembidaian, dengan secara kelompok atau berpasangan sesuai dengan pembidaian yang akan dipraktekan.

Contoh- contoh pembidaian.

PENATALAKSANAAN TRAUMA ABDOMEN (Oleh: Triyo Rachmadi,S.Kep.))














T
rauma abdomen akan ditemukan pada 25 % penderita multi-trauma. Gejala dan tanda yang ditimbulkannya kadang-kadang lambat sehingga memerlukan tingkat kewaspadaan yang tinggi untuk menetapkan diagnosis.

A. ANATOMI

Rongga abdomen dibatasi oleh :

> Atas : Diafragma

> Bawah : pelvis

> Depan : dinding depan abdomen

> Lateral : dinding lateral abdomen

> Belakang : dinding belakang abdomen serta tulang belakang

Diafragma merupaka suatu kubah yang menonjol dalam rongga toraks. Diafragma ini turut dalam pernafasan. Pada inspirasi akan turun ke bawah, pada ekspirasi akan naik ke atas. Pada saat ekspirasi maksimal akan berada setinggi kira-kira interkostal 4 pada garis mid-klivikuler, yang kurang lebih sama dengan papila mamae pada laki-laki.

Dengan demikian pada trauma toraks, baik tumpul maupun tajam, bila ditemukan sampai setinggi papila mamae (pada laki-laki) harus selalu diwaspadai adanya trauma abdomen juga.

Organ intra-abdomen ada yang terdapat dalam rongga peritoneum (intra-peritoneal) serta ada yang tidak dalam rongga peritoneum (ekstra-peritoneal). Organ yang terdapat intra-peritoneal adalah : Hepar, lien, gaster, usus halus, dan sebagian besar usus besar (kolon)

Organ yang terdapat ekstra-peritoneal adalah : ke-2 ginjal dan ureter, pankreas, duonenum, sebagian kecil kolon (terutama rektum) serta buli-buli (vesika urinaria). Uterus terletak ekstra-peritoneal.

Organ yang terlindung dalam kubah diafragma adalah pada sisi kanan hepar, dan pada sisi kiri lien. Organ yang terlindung dalam pelvis adalah rektum, buli-buli dan uterus. Dengan demikian organ yang tidak terlindung adalah usus halus dan sebagian besar kolon. Ke-2 ginjal karena letaknya yang di daerah belakang (dorsal) relatif terlindung.

Hepar dan lien tidak mempunyai lumen (solid), dan trauma pada ke-2 organ ini akan menimbulkan perdarahan yang akan terkumpul dalam rongga peritoneum. Keadaan ini dikenal sebagai hemoperitoneum. Robekan usus juga dapat menimbulkan perdarahan intra-peritoneal. Gaster, usus halus dan usus besar mempunyai lumen. Dengan demikian bila terjadi perforasi, isinya akan tumpah dalam rongga peritoneum dan menimbulkan peritonitis. Bila yang masuk rongga peritoneum adalah asam lambung, maka rangsangan kimia akan segera menimbulkan gejala peritonitis, sedangkan yang masuk rongga peritoneum adalah isi usus halus atau kolon, gejala akan timbul lebih lambat.

B. GEJALA DAN TANDA TRAUMA ABDOMEN

Pada hakekatnya gejala dan tanda yang ditimbulkan dapat karena 2 hal :

1. Pecahnya

Hepar atau lien yang pecah akan menyebabkan perdarahan yang dapat bervariasi dari ringan sampai sangat berat, bahkan kematian. Gejala dan tandanya adalah :

a. Gejala perdarahan secara umum

Penderita tampak enemis (pucat). Bila perdarahan berat akan timbul gejala dan tanda dari syok hemoragik

b. Gejala adanya darah intra-peritoneal

Penderita akan merasa nyeri abdomen, yang dapat bervariasi dari ringan sampai nyeri hebat. Pada auskultasi biasanya bising usus menurun, yang bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena bising usus akan menurun pada banyak keadaan lain. Pada pemeriksaan akan teraba bahwa abdomen nyeri tekan, kadang-kadang ada nyeri lepas dan defans muskular (kekakuan otot) seperti pada peritonitis. Perut yang semakin membesar hanya akan ditemukan apabila perdarahan hebat dan penderita tidak gemuk. Pada perkusi akan dapat ditemukan pekak sisi yang meninggi.

2. Pecahnya organ berlumen

Pecahnya gaster, usus halus atau kolon akan menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat sekali (gaster) atau lebih lambat. Pada pemeriksaan penderita akan mengeluh nyeri seluruh abdomen. Pada auskultasi bising usus akan menurun. Pada palpasi akan ditemukan defans muskular, nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada perkusi akan nyeri pula (nyeri ketok). Biasanya peritonitis bukan merupakan keadaan yang memerlukan penanganan sangat segera, (berbeda dengan perdarahan intra-peritoneal) sehingga jarang menjadi masalah pada fase pra-RS.

Apabila trauma tajam, maka kadang-kadang akan ditemukan bahwa ada organ intra-abdomen yang menonjol keluar (paling sering omentum, bisa juga usu halus atau kolon). Keadaan ini dikenal sebagai eviserasi.

Trauma ginjal akan menyebabkan perdarahan yang tidak masuk rongga peritoneum (organ ekstra-perotoneal). Jarang perdarahan dari ginjal akan menyebabkan syok (walaupun bisa). Gejala lain pada trauma ginjal adalah behwa kebanyakan penderita ini akan kencing kemerahan atau kencing darah (hematuria).

C. PENANGANAN TRAUMA ABDOMEN

1. Airway dan Breathing

Ini diatasi terlbih dahulu. Selalu ingat bahwa cedera bisa lebih daris atu area tubuh, dan apapun yang ditemukan, ingat untuk memprioritaskan airway dan breathing terlebih dahulu.

2. Circulation

Kebanyak trauma abdomen tidak dapat dilakukan tindakan apa-apa pada fase pra-RS, namun terhadap syok yang menyertainya perlu penanganan yang agresif. Seharusnya monitoring urin dilakukan dengan pemasangan DC, namun umumnya tidak diperlukan pada fase pra-RS karena masa transportasi yang pendek

3. Disability

Tidak jarang trauma abdomen disertai dengan trauma kapitis. Selalu periksa tingkat kesadaran (dengan GCS) dan adanya lateralisasi (pupil anisokor dan motorik yang lebih lemah satu sisi)

4. Apabila ditemukan usus yang menonjol keluar, cukup dengan menutupnya dengan kasa steril yang lembab supaya usus tidak kering. Apabila ada benda menancap, jangan dicabut, tetapi dilakukan fiksasi benda tersebut terhadap dinding perut.

D. BEBERAPA KEADAAN LAIN

1. Fraktur pelvis

Kadang-kadang dapat dikenal dengan cepat :

* Penderita mengeluh tungkainya sakit bila digerakkan

* Adanya jejas daerah pelvis

* Terabanya “gap” (cekungan) pada daerah simfisis pubis

* Bila dilakukan tekanan pada tulang pelvis akan teraba krepitasi tulang (tes kompresi)

Kadang-kadang pula diagnosis sulit karena penderita kesadarannya menurun dan tidak terbanya krepitasi tulang. Dapat pula terjadi bahwa penderita sedemikian dalam syok, sehingga membingungkan akan sumber perdarahannya. Bila suspek fraktur pelvis maka dilakukan pemasangan gurita sekitar pelvis (atau ambulan paramedik : PASG)

2. Ruptura Utera.

Pada trauma, biasanya ruptur uretra disebabkan karena fraktur pelvis. Pada keadaan ini, maka akan terlihat keluarnya darah segar dari orificium uretra eksterna (lubang kecing). Juga mungkin ditemukan adanya hematoma (kebiruan) sekitar perineum dan skrotum. Penderita bila ingin kencing, sebaiknya dianjurkan untuk menahan kencing. Bila masa transportasi lama, dan memerlukan pemasangan kateter uretra (DC, maka jangan dilakukan. Bila melihat darah pada lubang kencing, jangan pasang DC.

Tugas Individu.

Ambil kasus cedera abdomen, pada anda tempat praktek, baik di Rumah Sakit maupun di Puskesmas, dengan format yang telah disediakan, dan untuk disajikan pada pertemuan berikutnya.

Format pengambilan kasus di tempat praktek.

No

Tanggal

Jenis kasus

Tindakan

Pengobatan






MUTU PENANGANAN GAWAT DARURAT




















Oleh: Triyo Rachmadi, S.Kep.

Peningkatan mutu pelayanan gawat darurat/penderita trauma (PMPPT/Gugus Kendali Mutu/GKM, “Quality Improment”) seharusnya merupakan bagian dari pekerjaan seorang ahli bedah yang berkecimpung dalam traumatologi. Bahwa PMPPT dimulai dalam traumatologi disebabkan karena sifatnya yang mendadak sehingga :

1. Mungkin ditemukan keterbatasan sumber daya manusia maupun perlengkapan medik

2. Keputusan yang sering diambil seringkali harus cepat

3. Beberapa disiplin ilmu mungkin terlibat

4. Penderita tidak mempunyai kekuasaan menentukan Rumah Sakit yang diinginkan

Semua faktor diatas menyebabkan kemungkinan untuk terjadinya suatu kesalahan adalah lebih besar, sehingga harus diambil sikap dan tindakan agar kesalahan yang sama tidak akan terulang kembali.

Prasyarat untuk dapat dimulainya PMPPT

Terdapat beberapa prasyarat sebelum dapat dimulai suatu proses PMPTT yakni :

1. Harus ada kemauan baik dari semua pihak yang terlibat dalam pelayanan penderita trauma, yakni pimpinan Rumah sakit, ahli bedan dan staf lain

2. Suatu bentuk organisasi Rumah Sakit yang memungkin ahli bedah yang bertanggung jawab untuk dapat mengubah prosedur maupun protokol yang bersangkutan dengan pelayanan trauma.

3. Pembakuan (standarisasi) pelayanan trauma di Rumah sakit tersebut, baik dari segi sumber daya manusia, kelengkapan medis, prosedur maupun protokol

4. Proses pemantauan pelaksanaan prosedur maupun protokol

5. Ini membutuhkan :

¨ Penetapan populasi yang akan membantu (misalnya : hanya kasuis multi trauma”)

¨ Penetapan hal-hal yang berkaitan dengan kesudahan (outcome) yang tidak

diinginkan seperti misalnya : kematian atau komplikasi

¨ Penetapan saringan audit (audit filter)

¨ Penetapan sistem pengumpulan data yang memungkin suatu analisis yang dapat

meramal

6. Tinjauan reka (per review)

Adanya suatu panitia yang kecil yang terdiri dari para tenaga medik yang menilai hasil pekerjaan, merupakan suatu keharusan dalam PMPPT

7. Adanya kemungkinan evaluasi dan kemudian dilanjutkan dengan koreksi terhadap ad. 3 dan 4

Hal-hal yang Berkaitan dengan PMPPT

1. Struktur Organisasi

Pimpinan rumah sakit bertanggung jawab terhadap keseluruhan pelayanan penderita trauma, ini berarti bahwa pimpinan rumah sakit harus mengakomodasi suatu sistem pengambilan keputusan maupun sistem evaluasi. Tanggung jawab terhadap pelaksanaan PMPPT sebaiknya diserahkan pada kepala unit trauma.

2. Pembakuan (stadardisasi)

Pembakuan prosedur sangat tergantung dari sumber daya manusia dan perlengkapan medik, sebagai contoh adalah prosedur pengambilan foto ronsen pada penderita dengan fraktur femur sederhana(tertutup, tanpa gangguan NVD). Apabila pelayanan radiologi bersifat “on call”, maka pengambilan foto ronsen tersebut mungkindi tunda menjadi pagi hari, dan penderita dirawat terlebih dahulu. Pembakuan protokol medik sudah menjadi syarat untuk akreditasi Rumah Sakit oleh Departemen Kesehatan. Khusus untuk trauma, maka pembuatan protokol dapat mengacu pada ATLS

3. Indikator untuk memantau PMPPT

a. Kesudahan (Out come)

Kesudahan yang dapat diukur dalam pelayanan trauma adalah antara lain kematian/hidup dan adanya komplikasi. Evaluasi terhadap kematian dapat dilakukan dalam bentuk konperensi kematian(“Mortality conference”). Ada kekurangan dalam cara ini, karena kematian dapat “Expected” maupun “Un-expected”, dan konperensi kematian sebaiknya memfokuskan diri pada “Unexpected Death”. Kekurangan lain adalah bahwa “Unexpected Survival” tidak mendapatkan tempat pada suatu konperensi kematian.

Komplikasi yang terjadi seharusnya selalu dicatat, dan dilakukan analisis kecenderungan (“Trendy Analysis”) apabila suatu komplikasi menunjukkan peningkatan, maka harus dilakukan pengkajian tentang sebab, sehingga dapat dilakukan koreksi.

b. Saringan audit (“Audit filters”)

Saringan audit adalah suatu ketentuan minimal, yang apabila dilewati, merupakan indikasi terhadap kemungkinan kurangnya mutu pelayanan penderita trauma. American College of Surgeons pada tahun 1990 menetapkan 22 jenis saringan audit. Beberapa filter antara lain adalah misalnya menetapkan bahwa laparotomi yang dilakukan dalam waktu lebih dari 2 jam atau kraniotomi lebih dari 4 jam (setelah pendetrita tiba diunit trauma) memerlukan perhatian (walaupun belum tentu merupakan kesalahan). Untuk sementara di Indonesia, sambil menunggu ketentuan dari Departemen Kesehatan, rumah sakit dapat membuat saringan audit sendiri. Terhadap setiap kasus yang meliwati saringan kemudian dilakukan evaluasi.

c. Analisis kesudahan mati/hidup

Terhadap setiap penderita trauma dapat dilakukan sistem skorsing. Revised Trauma Score (RTS). Injury sevety Score (ISS) serta penggabungannya yaitu metode TRISS (Trauma Score and Injury Sevety Score) merupakan sistem skoring yang banyak dipakai saat ini. Cara pemakaian RTS, ISS, metode TRISS dapat dilihat pada lampiran 3. Hasil dari perhitungan diatas akan memberikan ramalan hidup atau mati, maka akan ditemukan 4 kelompok yakni :

1. Diramal hidup dan benar hidup (Expected Survival”)

2. Diramal hidup namun mati (Enexpected Death)

3. Diramal mati dan benar mati (Expected Death)

4. Diramal mati namun hidup (Unexpected Survival)

Evaluasi sebaiknya dilakukan terhadap kelompok 2 dan 4. Walaupun jauh dari sempurna, namun metode analisis diatas sangat bermanfaat untuik mawas diri (Internal Review) maupun membandingkan dengan pusat trauma yang lain (External comparison). Harus selalu diingat bahwa sistem analisis di atas didasarkan pada data base (pelayanan trauma) di Amerika Serikat

4. Tinjauan Rekan (“Peer Review”)

Sebaiknya ada suatu panitia kecil yang terdiri dari para tenaga medik yang bekerja dalam bidang pelayanan trauma. Pada suatu rumah sakit kecil, panitia kecil ini dianjurkan terdiri dari satu ahli bedah, satu ahli anestesi dan Direktur Pelayanan Medik, dengan diketahui oleh ahli bedah. Pada rumah sakit yang lebih besar panitia ini sebaiknya melibatkan ahli yang lain seperti ahli bedah ortopedi, ahli bedah syaraf, ahli mata dan lain-lain. Dalam panitia ini kemudian dapat dibicarakan indikator pelayanan penderita trauma seperti pada ad.3

5. Evaluasi dan tindakan koreksi

Sebagai hasil pembicaraan dalam panitia tinjauan rekan, maka mungkin akan didapatkan suatu kesimpulan, yang kemudian akan dilakukan tindakan koreksi, baik koreksi terhadap rposedur maupun protokol. Juga sangat penting adalah melihat kekurangan baik dalam perlengkapan medik maupun ketenagaan medik. Keterlibatan pimpinan rumah sakit dalam panitia kecil akan sangat membantu tindakan koreksi terhadap prosedur.

Adapun prosedur-prosedur di dalam penanganan gawat darurat terlampir.

Pertimbangan umum:

Beberapa evidens menunjukkan bahwa pertolongan pertama oleh sembarang orang tidak memadai dan cenderung berbahaya

9 % kematian sebetulnya dapat dicegah jika ditangani oleh tenaga profesional

Faktor yang mempunyai kontribusi yang potensial terhadap terjadinya kematian atau kecacatan adalah penanganan pertama yang keliru dan pengangkutan penderita menggunakan kendaraan pribadi

Apa yang harus dilakukan.

Kenali keadaan emergensi

Ambil keputusan untuk menolong atau tidak menolong

Kontak pelayanan gawat darurat medik

Lakukan kajian terhadap korban

Berikan pertolongan pertama segera dan benar

Kejadian di lapangan yang perlu segera mendapat pertolongan medis

Perdarahan hebat

Tenggelam

Sengatan listrik

Dugaan serangan jantung

Kesulitan bernafas atau tidak ada tanda bernafas

Sumbatan jalan nafas

Gangguan mental

Keracunan

Usaha bunuh diri

Beberapa kasus kejang

Kebakaran yang kritis

Paralisis

Dugaan Trauma spinal

Persalinan yang sedang berlangsung.

Jika anda berada di tempat kejadian dan mampu memberi pertolongan, lakukan

10 detik survei yang meliputi:

Ø Adanya bahaya ikutan yang dapat memperberat korban atau membahayakan anda

Ø Mekanisme terjadinya kecelakaan atau kejadian yang dialami oleh korban

Ø Jumlah korban.

Survey Pendahuluan.

1. Apakah korban responsif (status mental korban), skala AVPU:

Ø Alert (kesadaran penuh): orientasi waktu, tempat, identitas diri

Ø Verbal stimulus: orientasi waktu, tempat, idntitas diri terganggun, tetapi respons terhadap stimulus verbal baik

Ø Painful stimulus: mata tertutup, tidak ada respons verbal, tetapi dengan ransangan sakit positif

Ø Unresponsive thd stimulus apapun

2. A : Airwway open ?

3. B : Breathing ?

4. C: Circulation :

Ø Bagaimana pulsus pada karotis ?

Ø Adakah perdarahan yang hebat ?

Ø Bagaimana kondisi kulit : warna, temperatur, kelembaban

5. D: Dissability:

Ø Spinal cord respons

Ø Mental status

Assessment thd 3 sistem tubuh yang paling penting

Respiratory system:

Airway open ?

Breathing ?

Brain and spinal cord (nervous system):

Pupil

Sensasi dan gerakan extremitas

Refleks babinski

Responsiveness (AVPU scale)

Heart/circulatory system:

Denyut nadi

Skin condition

Massive bleeding

Burn severity

Minor burns:

Kebakaran derajat 1 < 50 % BSA (body surface area)

Kebakaran derajat 2 < 15 % BSA pd dewasa

Kebakaran derajat 2 < 10 % BSA pd anak dan usila

Kebakaran derajat 3 < 2 % BSA

Moderate burns:

Kebakaran derajat 1 > 50 % BSA

Kebakaran derajat 2: 15 % - 30 % BSA pd dewasa

Kebakaran derajat 2: 10 % - 20 % BSA pd anak dan usila

Kebakaran derajat 3 < 10 % BSA

Critical burns:

Kebakaran derajat 2 > 30 % BSA pd dewasa

Kebakaran derajat 2 > 20 % BSA pd anak dan usila

Kebakaran derajat 3 > 10 % BSA

Luka bakar pada tangan, muka, mata, kaki, genitalia, luka bakar karena inhalasi, sengatan listrik, luka bakar yang disertai adanya trauma atau kondisi yang kesehatan sebelumnya

First aid untuk kebakaran

Jenis kebakaran

Kerjakan

Jangan lakukan

Luka bakar derajat 1: merah, pembengkakan ringan, dan sakit

Kompres dingin dan tutup dengan dressing steril

Mengoles mentega, saleb dsb

Luka bakar derajat 2: lebih dalam dan terjadi lepuh

Celupkan dalam air dingin, keringkan, dan tutup dengan kain steril halus untuk proteksi

Berikan bacitracin, atasi shok, cari pertolongan medis

Memecah lepuh, mengupas jaringan lepuh, memberikan cairan antiseptik, memaksa menanggalkan bagian pakaian atau perhiasan yang lengket pd luka bakar, memberikan es pd luka bakar., mengoles mentega, saleb dsb.

Luka bakar derajat 3: terjadi destruksi yang lebih dalam, lapisan kulit rusak

Tutup luka bakar dengan kain steril, atasi shok, perhatikan kalau terjadi kesulitan bernafas, segera cari pertolongan medis


Luka bakar kimiawi

Bersihkan zat kimia, basuh dengan air dalam jumlah banyak lk 20 menit atau lebih

Tanggalkan pakaian dan perhiasan


Tugas Kelompok.

1. Bagi kelompok antara 5 sampai dengan 8 orang,

2. Diskusikan bagan alir penanganan gawat darurat setiap penanganan medis/ tenaga kesehatan yang bisa dilakukan oleh tenaga pengelola PKD.,

3. Sajikan hasil diskusi masing- masing kelompok,

4. Pilih untuk masing-masing kelompok dipilih dua orang sebagai tim perumus,

5. Tim perumus untuk merumuskan hasil diskusi kelompok,

6. Dipersilahkan tim perumus untuk menyajikan rumusannya, sebagai dasar didalam melaksanakan tugas,