Halaman

Jumat, 21 Agustus 2020

KEADILAN TENAGA KESEHATAN DI MASA PANDEMI COVID-19

 


Tulisan ini merupakan rangkaian kesimpulan dari beberapa pemberitaan di media massa maupun di media sosial. Dalam kondisi Pandemi COVID-19 yang berawal di Bulan Maret 2020 sampai sekarang belum memberikan kepastian kapan berakhirnya. Dalam masa Pandemi COVID-19 ini semua aspek dan bidang diuji baik dari sisi pendidikan, sisi ekonomi, sisi politik sampai menuju sisi kesehatan. Beberapa catatan menorehkan ada dalam trend jumlah kematian tenaga kesehatan di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara dibandingkan dengan negara lain yang hanya memperoleh persentase sebesar 1%. Data dari Ikatan Dokter Indonesia merilis sampai Bulan Juni 2020 tenaga dokter yang terkonfirmasi COVID-19 sebanyak 38 orang. Sedangkan dari data resmi Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada laman Covid19.PPNI per tanggal 4 Agustus 2020 sebanyak 221 perawat terkonfirmasi tanpa gejala, 737 perawat kontak erat, kasus suspek berjumlah 67 orang, kasus positif COVID-19 berjumlah 197 perawat, yang dirawat 217 perawat, 24 perawat sembuh dan 49 perawat meninggal dunia akibat COVID-19. Dari informasi tersebut ditambahkan catatan tentang ditutupnya beberapa fasilitas pelayanan kesehatan misalnya, Puskesmas, dikarenakan beberapa tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya terpapar COVID-19 sehingga mau tidak mau harus melakukan karantina mandiri dengan menghentikan pelayanannya selama 14 hari seperti Puskesmas di wilayah Bantul dan di Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo. Tetapi, ada beberapa Kabupaten dan Kota yang tetap memberlakukan pelayanan kesehatan walaupun di dalamnya terdapat tenaga kesehatan yang terkonfirmasi COVID-19. Pada protokol kesehatan penanganan dan pencegahan penyebaran COVID-19 yang diterbitkan oleh Kementerian Republik Indonesia disebutkan bahwa bila seseorang yang terkonfirmasi atau kontak erat dengan orang yang terkonfirmasi COVID-17 diwajibkan untuk melakukan karantina selama 14 hari. Dalam realitas, Protokol kesehatan tersebut belum berlaku sepenuhnya bagi tenaga kesehatan karena masih dibanyak ditemui di beberapa wilayah di Indonesia mempekerjakan tenaga kesehatan yang kontak erat dengan rekan sejawatnya yang terkonfirmasi COVID-19.

Keadilan Utilitarianisme

Dalam teori Keadilan fenomena ini dapat digambarkan dalam situasi keadilan Utilitarianisme yang digagas oleh tokoh dunia bernama Jeremy Bentham di abad 17 (1748 – 1832) dan Teori Keadilan Libertarianisme. Terminologi Utilitarianisme berasal dari Bahasa Latin utilis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory). Dalam Keadilan Utilitarianisme, konsep keadilan hanya dapat diperoleh atau dinikmati oleh banyaknya jumlah masyarakat dalam wilayah tersebut. Dengan bahasa lain, konsep keadilan utilitarianisme ini merupakan keadilan yang mampu menghasilkan pleasure atau total utility terbesar bagi masyarakat. Teori Keadilan Utilitarianisme ini sama dengan fenomena di masa Pandemi ini dengan diterbitkannya Protokol Kesehatan dan Kebijakan Publik lainnya yang bermanfaat dan berguna bagi sebagian besar masyarakat tetapi tidak dapat dimanfaatkan oleh sebagian kecil atau segelintir kelompok lain dalam masyarakat, dalam hal ini adalah kelompok kecil dalam tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan dengan kompetensi yang dimilikinya berusaha dengan sekuat tenaga memberikan pelayanan kepada masyarakat di masa pandemi ini. Tenaga kesehatan yang awalnya pernah disebutkan sebagai garda terdepan dalam penanganan COVID-19 ini akhirnya menjadi garda terakhir setelah trend perlahan mengalami kenaikan dalam kurva COVID-19 ini. Dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan selain kompetensi, persyaratan dan perizinan yang diwajibkan dalam memberikan pelayanan kesehatan juga memiliki hak dan kewajiban sebagai tenaga kesehatan lainnya. Protokol Kesehatan banyak yang belum diberlakukan kepada tenaga kesehatan yang bekerja sementara kewajiban tugas memberikan pelayanan kesehatan tetap harus dijalankan. Belum lagi adanya pemberitaan di media tentang kasus penolakan jenazah tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19 oleh masyarakat di sekitar sehingga harus dimakamkan di tempat pemakaman lain, Kemudian stigmatisasi oleh warga sekitar termasuk keluarganya yang menolak tenaga kesehatan untuk pulang ke rumah sampai ada kebijakan dari Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan untuk menyewa hotel berbintang bagi tenaga kesehatan yang tidak dapat pulang ke rumahnya. Beberapa gambaran peristiwa tersebut mencerminkan betapa dilematisnya keadilan yang harus diterima oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam penanganan COVID-19. Keadilan dari tidak tersentuhnya protocol kesehatan sampai pada keadilan perlakuan dari masyarakat sekitar yang harus diterimanya.

Keadilan Libertarianisme

Dalam Konsep keadilan Libertarianisme yang digagas oleh tokoh dunia bernama Friedman pada tahun 1912 – 2006) yang menganggap keadilan yang hakiki adalah keadilan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masing-masing individu. Jadi konsep keadilan Libertarianisme ini bertolak belakang dengan konsep keadilan Utilitarianisme tadi yang dapat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Terminologi Libertarianisme berasal dari Bahasa Latin yang berarti liber atau bebas merupakan klasifikasi filosofi politik yang menjunjung tinggi kebebasan sebagai focus utama dan sebagai tujuan. Konsep ini berusaha untuk memaksimalkan otonomi dan kebebasan menggunakan hak dalam memilih, menekankan kebebasan politik, asosiasi sukarela dan keutamaan penilaian individu. Dalam konsep keadilan Libertarianisme ini, keadilan akan dirasakan sebagai kebahagiaan bagi setiap individu yang mendapatkannya. Jadi, setiap individu memiliki rasa keadilannya sendiri-sendiri dan relative bagi masing-masingnya. Arti relatif di sini adalah setiap individu memiliki rasa keadilan yang berbeda-beda. Dalam masa Pandemi COVID-19 ini, justru konsep keadilan Libertarianisme ada pada kelompok tenaga kesehatan yang bekerja menangani COVID-19. Pada kelompok tenaga kesehatan ini merupakan kelompok kecil dibandingkan dengan seluruh masyarakat atau seluruh pasien yang ditanganinya. Dalam kelompok kecil ini, masing-masing tenaga kesehatan memiliki rasa kebahagiannya sendiri terkait keadilan yang diperolehnya. Tenaga kesehatan yang satu belum tentu sama dengan keadilan yang diperoleh oleh tenaga kesehatan yang lain. Tenaga kesehatan yang bekerja pada lingkungan dengan resiko tinggi terpapar beberapa infeksi terutama COVID-19 memerlukan keadilan dalam melindungi haknya pribadi. Hak dalam arti sesuatu yang diterima oleh individu yaitu pada tenaga kesehatan dapat berupa hak memperoleh jaminan keamanan dan keselamatannya terkait pekerjaannya. Jaminan keamanan dan keselamatan itu seperti tersedianya Alat Pelindung Diri (APD) yang cukup dan layak, tersedianya asupan gizi yang cukup bagi tenaga kesehatan dan yang paling utama adalah jaminan kesehatan apabila dirinya dan keluarganya telah terpapar COVID-19. Kita pernah mendengar dan mengetahui di saat Pandemi COVID-19 pada awal Bulan Maret yang lalu, begitu paniknya beberapa fasilitas kesehatan dan tenagakesehatan yang bekerja di dalamnya dikarenakan sangat minimnya APD dan tidak layaknya APD akibatnya APD terpaksa dipakai berulang. Sementara banyaknya pasien yang terpapar masuk dan dirawat di Rumah Sakit. Saat itu,  jaminan keamanan dan keselamatan tenaga saja sangat terancam dan hak memperoleh keadilan jaminan tersebut hamper tidak diperolehnya. Seiring berjalannya waktu Pandemi, banyak pihak dan masyarakat yang memberikan donasinya berupa APD dan makanan bergizi kepada tenaga kesehatan di fasilitas sarana pelayanan kesehatan. Dengan Pandemi COVID-19 ini, standar, anggaran maupun pedoman dalam sarana kesehatan diuji, yang selama ini dianggap berkualitas dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat harus dirombak total karena dianggap tidak menggambarkan pelayanan kesehatan yang baik untuk masyarakat. Menurut dr. Andani Eka Putra, M,Sc. yang merupakan Kepala Laboratorium Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Universitas Andalas, Padang dan Direksi Rumah Sakit Universitas Andalas, Padang dalam penjelasannya di sebuah media televisi swasta menyatakan bahwa selama ini banyak masyarakat yang gagal memahami dalam membaca data jumlah pasien dan tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19. Selamaini, dalam membaca data hanya melihat jumlah orang yang terkonfirmasi tanpa melihat jumlah testing dan tracing yang dilakukan. Pemerintah di daerah Kabupaten dan Kota sering menganggap bila jumlah orang yang terkonfirmasi sedikit berarti upaya menekan COVID-19 telah berhasil, padahal jumlah testing dan tracingnya sangat sedikit. Berdasarkan standar testing COVID-19 dari World Health Organization (WHO), Testing pemeriksaan laboratorium dengan metode Swab minimal dilakukan 1000 sampel per hari. Bila belum mencapai jumlah tersebut berarti jumlah pasien terkonfirmasi yang ditemukan belum menggambarkan situasi yang sebenarnya di daerah. Selain itu, lama waktu pemeriksaan minimal satu hari sehingga bias langsung dilakukan treatment.

 

 

Communicative Rasional Act

Dari Konsep keadilan Utilitarinisme dan Libertarianisme tersebut, ada solusi pemecahan masalah dalam menyelesaikan keadilan tenaga kesehatan di Masa Pandemi COVID-19 ini yaitu dengan memakai Konsep Teori Kritis yang digagas oleh tokoh dunia Jurgen Habermas dengan metode Communicative Rasional Act yaitu metode memberikan komunikasi dan konsensus baru pada beberapa pihak untuk memperbaiki standar, prosedur dan peraturan yang telah dibuat sebelumnya. Beberapa pihak disini diartikan pada unsur pemerintah atau state dan unsur masyarakat atau tenaga kesehatan. Lawan dari konsep Teori Kritis metode ini adalah Purpose Rasional Act yang dengan asas kepastian hukum menerapkan standar, prosedur dan peraturan yang telah dibuat tanpa melihat respon, hak-hak dan dampak yang diakibatkan dari penerapan peraturan tersebut di masyarakat. Communicative Rasional Act ini dibuat untuk mencegah konflik diantara dua pihak sehingga keadilan bagi seluruh komponen dalam masyarakat. Dalam hal keadilan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan disamping kewajibannya memberikan asuhan kesehatan bagi masyarakat juga diperhatikan hak-hak dan jaminan keamanan serta keselamatannya. Pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 327 Tahun 2020 tentang Penetapan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Akibat Kerja Sebagai Penyakit Akibat Kerja Yang Spesifik Pada Pekerjaan Tertentu dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 278 Tahun 2020 tentang Pemberian bantuan Insentiv dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), sebenarnya dapat menjadi Communicative Rasional Act dalam menyelesaikan keadilan bagi tenaga kesehatan tetapi perlu ditambahkan juga turunan dari petunjuk teknisnya yang memudahkan para tenaga kesehatan memperoleh hak dan jaminan keamanannya. Yang paling penting adalah dalam memberikan hak-hak kepada para tenaga kesehatan tidak dibatasi pada jumlah tenaga kesehatan tetapi juga keseluruhan tenaga kesehatan yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam menangani COVID-19. Penerapan protokol kesehatan pada para tenaga kesehatan yang terkonfirmasi positif juga perlu dikaji dan dibahas ulang sehingga Communicative Rasional Act dapat menjadi jalan tengah bagi pemerintah dan para tenaga kesehatan sehingga keadilan bagi semua dapat terwujud.


*) Triyo Rachmadi