Halaman

Sabtu, 09 Mei 2020

Ketahanan Intelektual Dibutuhkan Untuk Menghindari Post-Thruth



                                      Oleh: H. Triyo Rachmadi, S.Kep., M.H.Kes.

Pembahasan “Politik Media dan Post-Truth” diuraikan dalam tulisan ini. Sebuah kalimat, “Aktifkan kecurigaan tentang asal-usul post-truth.” Pernyataan itu dilontarkan lantaran publik berusaha membawa pembahasan untuk lebih membidik isu di belakang post-truth bukan sekadar mempersoalkan post-truth itu sendiri. Hal ini ditekankan karena selama ini banyak kesalahpahaman makna “truth” yang ada pada “post-truth”. Selama ini banyak orang mengira post-truth sebagai bentuk baru dari kebenaran. Namun, sejatinya post-truth tidak berkaitan dengan kedudukan epistemik dari kebenaran. Post-truth adalah persoalan politik. Maksudnya, politik kini tidak lagi diiringi dengan etika politik dan hal ini menjadikan munculnya upaya kotor dalam berpolitik. Salah satu munculnya ketiadaan etika politik adalah ketika kita temukan tidak hidupnya suara oposisi. Problem pada post-truth diawali ketika seseorang tidak mungkin berkonsensus dan pada titik inilah seseorang tidak lagi memercayai kebijakan merupakan barang yang dihasilkan dari aktor politik sebagai agen rasional.
 
Post-truth sebagai paradigma baru memunculkan masalah pada politik. Masalah ini tentunya tidak serta-merta dihasilkan oleh kehadiran post-truth. Akan tetapi masalah muncul ketika ada lack of knowledge dari warga negara, sehingga menjadi bahan untuk membawa banyak orang pada kondisi post-truth. Informasi yang kita baca sejatinya perlu dibekali oleh fakta, tetapi ketika kita berbicara fakta maka ada pembelaan melalui data-data yang seolah-olah identik dengan kebenaran. “Selama ini orang tertipu oleh data, karena data dianggap merepresentasikan kebenaran jadi hanya data yang mereka butuhkan untuk memercayai bahwa hal itu benar, tetapi itulah post-truth, benar karena yakin,”. Dalam memilah informasi, kita hanya membutuhkan ketahanan intelektual dan hal ini tidak dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pembicaraan orang Indonesia kebanyakan tidak bisa dibawa kepada ruang rasional sehingga mereka menggunakan media sosial untuk menyalurkan kemarahannya. Sementara di media sosial terdapat banyak produk post-truth seperti hoax, yang dihasilkan dari kepentingan politik yang tidak mengacu pada etika politik. Stasiun televisi di Indonesia dimiliki oleh tiga hingga empat orang. Informasi yang beredar di televisi tergantung dari permintaan pemilik, hal ini membuat hilangnya etika jurnalisme. Hoax bukan hanya diproduksi dari suara oposisi, tetapi bisa juga diproduksi oleh pemerintah dalam upaya mempertahankan kekuasaan.
 
Di musim tahun politik seperti sekarang, post-truth akan semakin mudah menyerang orang-orang tanpa ketahanan intelektual. Media akan menggunakan post-truth sebagai alat untuk promosi politik baik secara sehat maupun tidak. Kegelisahan akan menurunnya kualitas pengetahuan melalui media menakutkan banyak orang, terutama ketakutan akan masuk pada lingkar post-truth. Ketahanan intelektual yang didasari oleh etika politik dapat digunakan untuk menghindari post-truth. Sementara politik yang sehat dapat dimunculkan dengan kembali pada virtue dan truthfullness.

Published: 9 Mei 2020

Hillary Putnam: The Meaning of Meaning

                                             Oleh: H. Triyo Rachmadi, S.Kep., M.H.Kes.


Apakah arti dari “arti”? Itu pertanyaan Hilary Putnam. The Meaning of ‘Meaning', paper yang ia tulis 40 tahun lalu itu, menjadi klasik dalam obsesi filsafat analitik. Bahwa ada pengetahuan objektif, dan karena itu yang benar hanya ada bila kita mengerti isi pikiran itu'. Mengerti sesuatu berarti ‘melihat’ kebenaran sebagai objektif, yaitu dengan menunjukkan referensinya di alam realitas.

Secara teknis filsafat Putnam disebut “semantic externalism”. Yaitu argumen tentang eksistensi suatu konsep dalam realitas. Bahwa makna dan kebenaran tak hanya bermukim di kepala, melainkan hadir dalam realitas. Tentu, dalam latar belakang anti metafisika, kita memperoleh daya kritis dari filsafat Putman. Tetapi bagi saya, komitmen filosofis Putman memperlihatkan suatu “misi emansipatoris” yang kuat: yaitu kehendak untuk mempersiapkan dunia menemui kebenaran dan keadilan yang nyata bagi semua orang, pada setiap situasi kongkrit kehidupan.

Seperti tercermin dalam bukunya Realism With Human Face, ada refleksi kemanusiaan yang kuat untuk terlibat dalam perjuangan hak asasi manusia. Itulah sebabnya ia mengaktifkan diri dalam aktivitas  Amnesty Internasional.
Filsafat dan dan realitas keadilan, filsafat dan aktivitas kemanusiaan, mengikat kita dalam komitmen awal filsafat: memajukan peradaban. Karena itu, selalu ada kehangatan  humaiora yang melampaui kedinginan metode filsafat.

​Kita hidup kini di era “after deconstruction”. Dan dalam upaya memahami dunia yang korosif ini, filsafat menumbuhkan ulang tema humaniora: pada krisis toleransi di Eropa hari-hari ini, pada duel ideologi yang keras dalam pemilu  di Amerika Serikat, juga pada cekcok politik identitas Jakarta menjelang pilkada. Pada kondisi kembalinya “absolutisme”, kita membaca filsafat Putman sebagai undangan untuk berpikir kritis.

Memang, kolegialitas filsafat adalah komitmen pada kritisisme. Bukan demi arogansi profesi atau ambisi politik, melainkan pada upaya berkelanjutan untuk terus memelihara akal sehat publik. Kemarin,  ada berita duka di lingkungan filsafat dunia: Hilary Putnam, guru besar filsafat Universitas Harvard, meninggal dunia pada usia menjelang 90 tahun. Putnam wafat. Ia meninggalkan “the earth”. Tapi filsafatnya meninggalkan metode “twin earth thought experiment”. Ia melatih kita berpikir, agar tak mudah berbohong. Selamat jalan, Prof.

Published: 9 Mei 2020




Berpikir Kritis sebagai Upaya Memulihkan Akal Sehat Publik

                                                    Oleh: H. Triyo Rachmadi, S.Kep., M.H.Kes.



Tulisan ini diangkat sebagai upaya untuk memulihkan akal sehat publik yang akhir-akhir ini sulit dijumpai baik di situasi sosial, privat maupun publik. 
Kelangkaan akal sehat publik dapat dengan mudah ditemukan pada media sosial. Media sosial idealnya menjadi sumber berkembangnya ilmu pengetahuan, namun kenyataan yang kita jumpai justru kebalikannya. Hari-hari ini media sosial malah menjadi tempat berkembangnya kebencian, provokasi dan segala bentuk ketidakadilan. Realitas ini mau tidak mau mengantarkan kita pada pertanyaan tentang keberlangsungan demokrasi. Berpikir kritis ternyata bukan sekadar urusan akademis, tetapi ia beririsan langsung dengan kehidupan politik, kehidupan bernegara. 

​Absennya kritisisme berkontribusi pada fenomena pengerasan ideologi, karena sentimen dan bias kognisi beredar dalam media. Banalitas adalah endemi yang tidak hanya menjangkiti masyarakat secara luas, tapi juga menjangkiti percakapan akademis. Masyarakat saat ini cenderung abai pada substansi dan berfokus pada sensasi. Saat ini momen berpikir kritis adalah sebuah kelangkaan, sehingga penting dilakukan upaya-upaya untuk mengaktifkan kapasitas kritis manusia. Mengaktifkan pikiran kritis artinya mempertanyakan apa yang terjadi. ______________________

Bernalar yang keliru (logical fallacy) adalah hal yang perlu diperhatikan dalam memproduksi pikiran kritis. Bernalar yang keliru pertama-tama terjadi karena alur pikiran yang tidak sesuai dengan pakem logika, namun selain itu bernalar yang keliru juga dapat terjadi karena gangguan kognisi pada mental seseorang. Gangguan kognisi bisa terjadi karena nalar tidak lagi dipimpin oleh pikiran melainkan oleh keinginan. Dengan kata lain, logika tidak lagi beroperasi dan bias kognisi telah mendominasi. 

Logika dan kontrol terhadap bias kognisi adalah hal yang dapat dipelajari, namun ada situasi di mana seseorang malas untuk mengambil risiko dan mengambil jalan pintas pada believe. Artinya, seseorang tidak lagi mengandalkan penalaran tetapi memilih untuk melandaskan argumennya pada fundamen-fundamen tertentu seperti metafisik, teologis dan kultural. Ada 3 hal yang harus selalu diwaspadai dalam memastikan aktivitas berpikir kritis yaitu: bernalar yang keliru, bias kognisi dan fanatisme terhadap nilai______________________________________________ 

Kritik adalah hal yang esensial dalam menjamin keberlangsungan momen berpikir kritis. “Berpikir kritis artinya mengurai dan menganalisis berbagai macam problem, menganalisis artinya melakukan kritik,” . Kritik adalah hal yang penting dalam upaya melakukan analisis, namun seringnya orang berfokus pada solusi. Kritik yang tanpa menghasilkan solusi dianggap sebagai kesia-siaan. Padahal solusi bukanlah esensi dari kritik. Melakukan kritik artinya kita sedang menjalankan fungsi primer sebagai manusia. 

Berpikir kritis artinya bercakap dalam ruang dialogis dan terbuka terhadap kritik.  Ironisnya, hari-hari ini orang mengidap resistensi terhadap kritik. Dalam hal kehidupan politik misalnya, kritik tidak dipahami sebagai suatu hal yang konstruktif melainkan sebagai ancaman terhadap jalannya pembangunan. Makna demokrasi adalah menjalankan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat dan mempertanggungjawabkannya kembali pada rakyat. Dengan demikian, kritik seharusnya dipahami sebagai upaya untuk melakukan evaluasi terhadap mandat demokrasi itu sendiri. _________________________________________________
Kritik melekat dalam demokrasi. Demokrasi hanya dapat diaktifkan dengan melakukan kritik, sehingga menolak kritik dalam upaya menghidupi demokrasi adalah bentuk inkonsistensi dalam penalaran. Menolak kritik artinya menolak demokrasi.

Saat ini kita dihadapkan pada sebuah kondisi di mana terjadi ketidakcukupan dalam melakukan kritik atas sebuah persoalan. Sebuah kondisi di mana masyarakat cenderung cepat beraksi daripada terlebih dahulu melakukan refleksi. Kritik haruslah tiba pada lapisan terakhir sebuah persoalan dan mampu melihat yang tidak terpikirkan. Kritik adalah sarana pembebasan, karena hanya melaluinya masyarakat dapat keluar dari wilayah doktrinasi.

Published: 9 Mei 2020