Halaman

Rabu, 16 Desember 2020

UTILITARIANISME

                          Oleh : Triyo Rachmadi

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Keadilan yang menjadi harapan masyarakat belum dapat diwujudkan dengan baik oleh sistem yang dibentuk oleh otoritas yaitu pemerintah. Keadilan masih menyisakan beberapa perdebatan tentang indikataor dan tolok ukurnya. Kebijakan publik yang diwujudkan dalam produk hukum masih belum memberikan keadilan bagi semua orang dalam masyarakat. Beberapa konsep pendapat dari tokoh-tokoh ilmuwan dunia mulai dikaji kembali untuk dapat diterapkan pada kehidupan masyarakat di Indonesia dengan beraneka ragam kultur budaya, agama, suku dan bahasanya.

Beberapa konsep teori tentang keadilan dihadirkan mulai dari aliran hukum kodrat, positivisme hukum, Utilitarianisme, Madzhab sejarah, Socolegal Jurisprudence, Realisme Hukum sampai kepada Critical Legal Studies. Dari beberapa konsep teori tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan yang dapat menjadi literasi dan pertimbangan hukum dalam menyusun kebijakan publik dalam mengatur kehidupan masyarakat.

Teori keadilan atau kebahagiaan dalam Utilitiarinisme merupakan salah satu yang dapat dipertimbangkan dalam mewujudkan keadilan di masyarakat. Teori ini dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill sebagai tokoh utama dalam mengembangkan pemikiran ini. Jeremy Bentham berpendapat bahwa keadilan akan terwujud bila sebanyak mungkin orang memperoleh keadilan. Terminologi Utilitarianisme berasal dari Bahasa Latin yaitu utilis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory). Dalam Keadilan Utilitarianisme, konsep keadilan hanya dapat diperoleh atau dinikmati oleh banyaknya jumlah masyarakat dalam wilayah tersebut. Dengan bahasa lain, konsep keadilan utilitarianisme ini merupakan keadilan yang mampu menghasilkan pleasure atau total utility terbesar bagi masyarakat.

BAB II

PERUMUSAN MASALAH

 

Tendensi hedonistis tampak pada pandangan filsuf  Utilitarian(Jeremy Bentham dan John Stuart Mill). Tetapi dalam bentuk pemikiran modern sifat individualistis dan egoistis dari hedonisme Yunani Kuno telah ditinggalkan. Hedonisme yang menjiwai pemikiran modern itu telah mengakui dimensi sosial sebagai faktor yang  tidak  bisa diabaikan.

Secara garis besar, sistem etika yang berlaku di dunia dibagi menjadi 2 kelompok besar: system teleologis (terarah pada tujuan)atau al-‘amalbiitiba@r nata@ijih[1],dan system deontology (deon: apa yang harus dilakukan; kewajiban) atau al-amalbiitiba@rghardal-a@milminh[2]. Dalam sistem teleologis, baik tidaknya perbuatan diukur berdasarkan konsekuensinya. Karena itu, sistem-sistem ini disebut juga sistem konsekuensialistis.. Sistem ini berorientasi pada tujuan perbuatan. Salah satu aliran etika yang termasuk dalam sistem ini adalah Utilitarianisme. Dalam Utilitarianisme, tujuan perbuatan moral adalah memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Sementara itu, sistem deontologi adalah sistem etika yang tidak mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata  berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Sistem  ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan seseorang, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusannnya[3].

Beberapa pendapat dan kritikan ditujukan pada aliran Utilitarianisme ini, baik John Stuart Mill sendiri maupun dari tokoh filsuf yang lain karena aliran ini memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pemikirannya.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu:

a.       Bagaimana Aliran Utilitarinisme?

b.      Bagaimana kelebihan dan kekurangan Aliran Utilitarinisme?

BAB III

PEMBAHASAN

 

A.      Tokoh Utama Utilitarianisme

 

Pada abad ke-18, Eropa dan Amerika menyaksikan suatu gerakan umum yang terarah pada pengakuan yang lebih besar pada hak-hak asasi manusia dan kesetaraan sosial (sosial equality),  nilai  individual,  batas  kemampuan  manusia dan hak dan kebutuhan pada pendidikan. Selama periode ini, yang lebih dikenal Enlightenment, para penguasa dan cendekiawan memiliki pendirian yang sama bahwa rasio manusia, rasionalitas, memegang peran kunci bagi masa depan dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial (sosial Change). Periode ini juga disebut ‘The Age of Reason’, bukan hanya  karena  manusia bersikap rasional saat itu, akan tetapi karena rasio merupakan impian (ideal) di bidang sosial, sains maupun filsafat. Peradaban telah bergerak ke arah apresiasi terhadap rasionalitas, namun yang lebih tepat dikatakan bahwa gerakan itu dimotivasi oleh pemikiran pemikir-pemikir tertentu. Salah seorang penggeraknya adalah ahli hukum dan filsuf Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832) dan  John  Stuart Mill(1806-1873)[1]

1.      Jeremy Bentham

 

Jeremy Bentham (1748-1832), merupakan filsuf utilitarian Inggris, ahli ekonomi dan ahli hukum teoritis, yang memiliki pengaruh besar dalam melakukan reformasi pemikiran pada abad ke-19 baik di Inggris  maupun pada  level Dunia. Dia dijuluki sebagai “Luther of the Legal World”(Luther dalam bidang Hukum), sebab pada akhir abad ke-18 Masehi, sistem hukum Inggris yang kuno, korup dan belum direformasi bisa dipandang sebagai agama nasional, sementara  ia  tidak hanya berani menentangnya, akan tetapi juga mencipta suatu stuktur hukum baru, yang menarik banyak penganut dan pada akhirnya  mengilhami  terjadinya reformasi. Ia telah melakukan kritik radikal dan rekonstruksi terhadapsemuainstitusi Inggris baik di bidang ekonomi, moral, agama, pendidikan,  politik  maupun hukum[2].

Bentham dilahirkan pada 15 Februari 1748 di Red LionStreet, Houndsditch, London sebagai putra dari seorang Pengacara.  Dikatakan,  ia termasuk anak jenius, karena pada umur 3 tahun sudah bisa membaca  dengan penuh minat ‘History’ karya Paul de Rapin dan mulai mempelajari bahasa Latin. Sebagian besar masa kecilnya dihabiskan dengan penuh keceriaan  di  dalam  asuhan dua neneknya di pedesaan. Di Westminster School, iamemiliki prestasi menonjol dalam bidang bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pada tahun 1760, iamelanjutkan pendidikannya ke Queen College, Oxford, di mana kecerdasaannya nampak melalui perkenalannya dengan buku ‘Logic’ karya Robert Sunderland. Setelah lulus, pada November tahun 1763, ia memasuki studinya di Lincoln’ Inn  dan bertindak sebagai siswa pada King’s Bench, dimana ia bisa mendengarkan dengan penuh gairah terhadap nasehat-nasehat Lord Mansfield pada Desember 1763[3].

Pada tahun 1788, Bentham bekerja keras untuk menemukan  prinsip-  prinsip legislasi. Sebuah karya besar yang membuatnya dikenal selama bertahun- tahun kemudian adalah “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”, yang diterbitkan pada tahun 1789.Dalam buku ini,Bentham mendefinisikan prinsip Utilitas.

Ketenaran karya ini menyebar secara luas dan  cepat. Bentham mendapatkan kewarganegaraan Prancis pada tahun 1792, dan saran-sarannya diterima dengan penuh hormat oleh Negara-negara Eropa dan Amerika.Demikian pula, ada banyak tokoh dunia yang rajin berkoresponden dengannya; salah satu dari mereka adalah Muhammed Ali.Pada tahun 1817, iamenjadi anggota majelis pada Lincoln’s Inn. Bentham  berambisi  untuk menyiapkan buku undang-undang baik untuk konsumsi dalam negeri maupun luar negeri. Kodifikasi hukum merupakan fokus utama aktifitasya,  namun  ia  tampaknya meremehkan kesulitan-kesulitan intrinsik dalam tugas ini  dan  kebutuhan akan perlunya  keragaman  institusi  yang  diadaptasikan  pada  tradisi dan peradaban negera-negara yang berbeda. Pada tahun 1823, Bentham membantu pendirian Westminster Review (1824), jurnal utilitarian yang pertama, untuk menyebarkan prinsip-prinsip radikalisme filosofis dan juga pendirian University College.Bentham meninggal pada 6 Juni 1932 di Queen Square dalam umur 85 tahun.Sesuai dengan wasiatnya, tubuhnya dibedah di hadapan rekan-rekannya.Kemudian, kerangkanya dikonstruksi dengan dipenuhi lilin dan pakaiannya dikenakan pada kerangka tersebut. Patung Bentham tersebut  disimpan di University College,London[4].

a)      Pemikiran Utilitarianisme Jeremy Bentham

Pada masa Bentham, dunia feodal telah lenyap. Namun masyarakat terbagi menjadi 3 lapisan : kelas atas, kelas menengah dan kelas buruh, dan RevolusiIndustri baru dimulai. Keadaan masyarakat kelas bawah  dalam  hirarki  sosial sangat memilukan. Hak-hak di bidang Peradilan bisa  dibeli,  dalam  arti,  orang yang tidak memiliki sarana untuk membelinya, maka tidak akan mendapatkan hak-hak tersebut. Tidak ada undang-undang yang mengatur buruh anak sehingga eksploitasi terhadap mereka terjadi di tempat kerja. Hal itu tumbuh subur  padamasa Bentham. Ia melihat hal itu sebagai ketidakadilan yang memilukan sehingga mendorongnya menemukan cara terbaik untuk merancang kembali (redesign)  sistem yang tidak adil ini dalam bentuk aturan moral yang simple yang bisa dipahami semua orang baik kaya maupun miskin. Bentham mengatakan  bahwa yang baik (good) adalah yang menyenangkan (pleasurable), dan yang buruk (bad) adalah yang menyakitkan (pain). Dengan kata lain, hedonisme (pencarian kesenangan) adalah basis teori moralnya, yang biasa disebut Hedonistic utilitarianism. Nilai utama adalah kebahagiaan atau kesenangan yang merupakan nilai intrinsik. Sementara apa pun yang membantu pencapaian kebahagiaan atau menghindari penderitaan adalah nilai instrumental. Oleh karena boleh jadi kita melakukan sesuatu yang menyenangkan dalam rangka mendapatkan sesuatu lain yang menyenangkan juga, maka kesenangan memiliki dua nilai yaitu intrinsik dan instrumental[5].

A.[6]

Menurut Bentham, Hukum Inggris yang berlaku  saat  itu  berantakan, karena tidak disertai landasan logis atau ilmiah apa pun. Sebagian orang berpendapat hukum harus didasarkan atas Alkitab atau kesadaran pribadi dan sebagian lain atas hak-hak alami dan yang lain lagi atas akal sehat para hakim. Seluruh penjelasan ini menurut Bentham adalah ‘tidak masuk akal ‘ dan ‘lemah’. Atas dasar itu, Bentham menawarkan suatu hukum dan moralitas yang ‘ilmiah’ dengan cara yang sama seperti klaim sosiologi dan psikologi yang telah membuat kajian tentang manusia menjadi ilmiah.[7]

Menurut Bentham, pada dasarnya setiap manusia berada di bawah pemerintahan 2 penguasa yang berdaulat : ketidaksenangan (pain) dan kesenangan (pleasure). Menurut kodratnya, manusia menghindari  ketidaksenangan  dan mencari kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika  ia  memiliki  kesenangan  dan bebas dari kesusahan. Oleh karena kebahagiaan merupakan tujuan utama manusia dalam hidup, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu perbuatan harus ditentukan dengan menimbang  kegunaannya  untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, bukan kebahagiaan individu yang egois sebagaimana dikemukakan Hedonisme Klasik.  Dengan  demikian,  Bentham sampai pada prinsip utama utilitarianisme yang berbunyi : the  greatest  happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Prinsip ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan pribadi maupun untuk kebijakan pemerintah untuk rakyat.[8]

Menurut Bentham, prinsip utilitarianisme ini harus diterapkan secara kuantitatif. Karena kualitas kesenangan selalu sama,  maka  satu-satunya  aspek yang bisa berbeda adalah kuantitasnya. Dengan demikian, bukan hanya  the greatest number yang dapat diperhitungkan,  akan tetapi  the greatest  happiness juga dapat diperhitungkan. Untuk itu, Bentham mengembangkan Kalkulus Kepuasan (the hedonic calculus).Menurut Bentham ada faktor-faktor yang menentukan berapa banyak kepuasan dan kepedihan yang timbul dari sebuah tindakan. Faktor-faktor tersebut adalah:

(1)      menurut intensitas (intensity) dan lamanya (duration) rasa puas atau sedih yang timbul darinya. Keduanya merupakan sifat dasar dari semua kepuasan dan kepedihan ; sejumlah kekuatan tertentu (intensitas) dirasakan dalam rentang waktu tertentu menurut kepastian (certainty) dan kedekatan (propinquity) rasa puas atau sedih itu. Contoh semakin pasti anda dipromosikan , semakin banyak

kepuasan yang anda dapatkan ketika memikirkannya, dan semakin dekat waktu kenaikan pangkat, semakin banyak kepuasan yang dirasakan.

(2)      menurut kesuburan (fecundity), dalam arti kepuasan akan memproduk kepuasan-kepuasan lainnya, dan kemurnian (purity). Maksudnya kita perlu mempertimbangkan efek-efek yang tidak disengaja dari kepuasan dan kepedihan. “Kesuburan” mengacu pada kemungkinan bahwa sebuah perasaan tidak  akan diikuti oleh kebalikannya, tetapi justru akan tetap menjadi diri”murni”nya sendiri, dalam arti kepuasan tidak akan mengarah kepada kepedihan atau pun sebaliknya kepedihan tidak akan menimbulkan kepuasan.

(3)      menurut jangkauan (extent) perasaan tersebut. Dalam arti kita perlu memperhitungkan berapa banyak kepuasan dan kepedihan kita mempengaruhi  orang lain. Contoh orang tua merasa puas ketika anak  berprestasi  dan  merasa sedih ketika anak jatuh sakit.[9]

Perhitungan ini akan menghasilkan saldo positif, jika kredit (kesenangan) melebihi debetnya (ketidaksenangan). Salah satu contoh adalah cara Bentham memperhitungkan kadar moral dari perbuatan minum minuman keras sampai mabuk. Hasil perhitungan itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Ketidaksenangan (debet)

Kesenangan (kredit)

Lamanya: singkat

Akibatnya: - kemiskinan,

-          nama buruk

-          tidak sanggup bekerja

Kemurnian : dapat diragukan (dalam keadaan mabuk sering tercampur unsur ketidaksenangan)

Intensitas: membawa banyak kesenangan

Kepastian: Kesenangan pasti terjadi.

 

Jauh/ dekat: kesenangan timbul cepat


Seandainya tidak ada segi negatif, niscaya  keadaan  mabuk  akan merupakan sesuatu yang secara moral baik. Tetapi sebagai  keseluruhan  saldo adalah negatif dan menurut Bentham malah sangat negatif , sehingga kemabukan harus dinilai secara moral sangat jelek. Moralitas semua perbuatan dapat diperhitungkan dengan cara sejenis.[1]

Meskipun kalkulasi-kalkulasi semacam ini dalam penerapannya akan menemui persoalan kompleks[2], namun, menurut Bentham, hanya dengan kalkulasi seperti  ini  bisa  diketahui  dengan pasti  berapa  banyak  kebahagiaan yang dihasilkan oleh tindakan seseorang bagi keseluruhan  masyarakat (komunitas)23. Menurutnya, mengejar  kebahagiaan  dengan  cara  yang  rasional dan teratur merupakan suatu hal yang melegakan. Kelogisannya membuat kita percaya bahwa pengejaran itu akan berhasil jika kita mengarahkan  pikiran  kita pada hal tersebut. Kebahagiaan, ketika dijelaskan dengan sangat hati-hati, tampak dapat diraih, sesuatu yang kita semua inginkan. Namun  Bentham  memahami bahwa kita tidak dapat meluangkan begitu banyak  waktu  untuk  menghitung jumlah kebahagiaan sehingga kita tidak pernah  melakukan  hal-hal  yang sebenarnya membuat kita bahagia. Kenyataannya, Bentham tidak pernah membayangkan bahwa masyarakat umum akan menggunakan  “kalkulus kepuasaan” . Justru, ia memaksudkan perhitungan tersebut sebagai alat bagi para politikus untuk membantu mereka mengesahkan peraturan yang memaksimalkan level-level umum kebahagiaan. Sebagaimana dijelaskan Bentham, maksud sebenarnya dari kalkulus itu adalah perundang-undangan yaitu membagi kebahagiaan secara adil kepada seluruh komunitas (seperti Sinterklas membagikan mainan). Dengan menyerahkan semua peraturan rumit ,formula kompleks dan kalkulus berat tersebut kepada para politikus,  kita  dapat  meneruskan hidup dengan menjadi bahagia.[3]

Bila dilihat sepintas, gerakan utilitarianisme tampak sederhana, tidak  radikal. Karena siapapun akan sepakat  bahwa  kita  harus  melawan ketidaksenangan (pain) dan mempromosikan kesenangan (pleasure). Namun keradikalan prinsip ini akan tampak ketika kita membandingkannya dengan gambaran tentang moralitas lama ; yakni semua rujukan ditujukan kepada Tuhan atau aturan-aturan moral abstrak “yang tertulis di surga”. Moralitas tidak lagi dipahami sebagai kepercayaan pada suatu aturan yang diberikan oleh yang  ilahi atau sejumlah perangkat aturan yang tidak bisa diubah. Pokok moralitas dilihat sebagai kebahagiaan makhluk-makhluk di dunia ini, dan tidak lebih dari itu. Dan kita diperbolehkan –bahkan dituntut- untuk melakukan apa yang perlu untuk memperoleh kebahagiaan. Itulah , yang pada waktu itu merupakan gagasan revolusioner. Para tokoh utilitarian adalah filsuf sekaligus aktifis gerakan sosial. Mereka berkeinginan agar ajaran mereka berbeda, tidak hanya dalam pemikiran, tetapi juga dalam praktek.[4]

Menurut Bentham, moralitas bukan sekedar soal menyenangkan hati Allah atau soal kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan merupakan upaya untuk sedapat mungkin memperoleh kebahagiaan hidup di dunia ini. Bentham berpendapat bahwa ada satu prinsip moral yang utama, yakni ‘prinsip utilitas’. Prinsip ini menuntut agar setiap kali kita menghadapi pilihan dari antara tindakan- tindakan alternatif atau kebijakan sosial, kita mengambil satu pilihan  yang  memiliki konsekuensi yang secara menyeluruh paling baik bagi setiap orang yang terlibat didalamnya.[5]

1.      John Stuart Mill

Utilitarianisme diperhalus dan diperkokoh lebih lanjut oleh filsuf Inggris terkemuka, John Stuart Mill (1806-1873).Mill merupakan anak dari James Mill, seorang filsuf dan ekonom Inggris kenamaan.Ia dilahirkan pada tahun 1806 di London. James memiliki ambisi yang besar untuk mengembangkan bakat dan intelektual anaknya sebanyak dan secepat mungkin. John Stuart,  anaknya, merespon kepedulian ayahnya yang besar terhadap pendidikannya sehingga menjadikan dirinya sudah mendapatkan pelajaran bahasa Yunani pada  usia  3 tahun. Pada umur 12 tahun, Mill sudah cukup akrab dengan sastra  Yunani dan  Latin Kuno serta sejarah dan matematika. Bahkan pada umur 13 tahun, ia sudah familiar dengan tulisan para ekonom terkemuka Inggris seperti Adam Smith dan David Ricardo. Selanjutnya, ia turut serta dalam ”Lingkaran Utilitarianis” yang terbentuk di sekitar Jeremy Bentham yang bersahabat dengan ayahnya, James, dan yang tulisan-tulisannya kemudian disuntingnya. Sejak tahun 1823, Mill bekerja sebagai pegawai di Indian House Company. Mill bukan sekedar seorang professor di bidang filsafat, namun ia juga seorang peneliti utama (Chief Examiner) di East India Company, yang mengatur administrasi wilayah jajahan India  (ayahnya,  James Mill pernah bekerja pada perusahaan tersebut dan menjadi penulis suatu karya yang panjang lebar mengulas sejarah India). Ada yang  menuduh  Mill  sebagai imperealis, karena ia mempublikasisikan karyanya  ‘On  Liberty’  pada tahun 1859. Dua tahun sebelumnya, pemerintahan Inggris diserang oleh suatu pemberontakan di India Utara yang dikenal dengan ‘Sepoy Mutini’.Dalam pemberontakan ini, ratusan pegawai Inggris di India serta anak dan isterinya dibunuh oleh tentara infanteri India yang tergabung dalam angkatan bersenjata Inggris-India. Pemberontakan ini merupakan akibat dari perseteruan panjang dan kesalahpahaman antara 2 kelompok kultural yang berbeda, setelah 100 tahun dominasi dan eksploitasi Inggris di India. Setelah pemberontakan tersebut, India diambil alih oleh Kerajaan Inggris dan ditetapkan sebagai bagian  dari  kerajaan. Mill merasa ngeri dengan pemberontakan tersebut dan juga dengan pengambil- alihan oleh Kerajaan Inggris sehingga dia mengajukan pensiun dini dan enggan turut serta dalam pemerintahan baru ini. Tampaknya, tujuan utama Mill kemudian adalah melanjutkan ide utilitarianisme dalam rangka memaksimalkan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang dan meminimalisir  penderitaan  dan  kesakitan  secara global. Karena itu,  jika Mill condong kepada cara hidup  Orang  Inggris, suatu cara hidup, yang menurutnya, paling baik di muka Planet Bumi ini yang  selalu menawarkan akses menuju pendidikan yang baik bagi orang yang hidup pada abad ke-18, maka hal itu bisa difahami. Cara hidup Inggris adalah budaya  yang sangat beradab (civilized), paling tidak, bagi kalangan atas dan kalangan menengah. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Mill bukan hanya orang  yang sangat membanggakan intelektualitas, akan tetapi  juga  seorang  pendidik yang ingin melihat semua orang mendapatkan kesempatan-kesempatan baik yang sama dalam kehidupan ini yang bisa ia dapatkan dan ia nikmati  sebanyak mungkin.[6] Selama tahun 1865-68, ia menjadi anggota dalam Lower House parlemen Inggris. Ia meninggal di Avignon Prancis pada tahun 1873. Kesibukan Mill yang sangat intensif telah menyebabkannya mengalami keambrukan karena sakit saraf pada tahun 1826. Namun krisis mental tersebut ternyata memiliki efek positif bagi dirinya, karena dengannya ia mulai mampu membebaskan diri dari filsafat Jeremy Bentham dan mengembangkan fahamnya sendiri tentang utilitarianisme.[7]

a)      Pemikiran Utilitarianisme John Stuart Mill

Dalam bukunya, Utilitarianism (1864), Mill mencoba menjelaskan dan memperbaiki prinsip utilitarianisme sedemikian rupa sehingga lebih kuat dan  kokoh. Mill mulai dengan merumuskan prinsip kegunaan (utility) sebagai prinsip dasar moralitas. Suatu tindakan harus dianggap benar  sejauh  cenderung mendukung kebahagiaan, dan salah sejauh menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan. Yang dimaksud kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure) dan kebebasan dari perasaan sakit (pain). Yang dimaksud ketidakbahagiaan adalah perasaan sakit dan tiadanya kesenangan. Dengan demikian, moralitas  suatu tindakan diukur , pertama, dari sejauh mana diarahkan kepada kebahagiaan, dan kedua, kebahagiaan sendiri terdiri atas perasaan senang dan kebebasan  dari perasaan sakit.[8]

Mill mengakui adanya orang yang menginginkan selain kebahagiaan, misalnya keutamaan atau uang pada dirinya sendiri. Namun hal itu sama sekali  tidak membuktikan bahwa manusia menginginkan sesuatu  selain  kebahagiaan.  Mill berargumen, bahwa sejak semula manusia tidak menginginkan  keutamaan (atau uang dan sebagainya) demi dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai sarana untuk menjadi bahagia. Karena manusia  menyadari  bahwa  ia  hanya  dapat menjadi bahagia apabila ia memiliki keutamaan, maka ia mengusahakan agar ia memilikinya. Tetapi dengan  terus  mengejar  keutamaan,  lama-kelamaan keutamaan dikaitkan sedemikian erat dengan kebahagiaan itu sendiri sehingga seakan-akan menjadi bagian  dari  kebahagiaan.  Kebahagiaan,  menurut  Mill, terdiri dari beberapa komponen. Komponen-komponen  tersebut,  seperti keutamaan, diinginkan demi dirinya sendiri, tetapi tidak di luar kebahagiaan, melainkan sebagai bagian dari kebahagiaan. Dengan argumen yang serupa, Mill menanggapi tuduhan bahwa utilitarianisme tidak dapat menampung keadilan dan tidak menjamin hak orang lain. Menurut Mill jaminan terhadap hak-hak orang lain dan perlakuan adil kita kepada mereka justru merupakan prasyarat agar kita dapat merasa sejahtera. Tanpa itu tidak mungkin kita sejahtera,  selanjutnya  tidak mungkin kita bahagia. Atas dasar itu, menghormati terhadap hak orang lain serta kewajiban untuk bertindak dengan adil dituntut oleh prinsip kegunaan (utility).[9]

K. Bertens mencatat 2 (dua) pendapat penting dari Mill dalam  dalam  upaya perumusan ulang terhadap utilitarianisme, pertama,  ia  mengkritik pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya  dan ada  yang  lebih rendah. Kesenangan manusia harus dinilai lebih tinggi  daripada  kesenangan hewan, dan kesenangan orang seperti Sokrates lebih bermutu daripada kesenangan orang tolol. Tetapi kebahagiaan dapat diukur juga secara empiris, yaitu kita harus berpedoman pada orang yang bijaksana dan berpengalaman dalam hal ini. Orang seperti itu dapat memberi kepastian tentang mutu  kebahagiaan.  Kedua, kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang  terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan bawahan dalam hal ini harus  diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri : “Everybody to count for one, nobody to count for more than one”. Dengan demikian, suatu perbuatan dinilai baik manakala kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang  terlibat  dihitung  dengan cara yang sama.[10]

Mill melakukan rancang ulang terhadap  utilitarianisme  Bentham.  Apa yang dipandang penting Bentham, tidak lagi menjadi tujuan utama,  disebabkan suatu kesadaran bahwa tanpa pendidikan yang layak dan memadai bagi semua masyarakat, maka kesetaraan sosial yang sejati tidak akan tercapai. Menurut Mill, utilitarianisme versi Bentham memiliki beberapa kelemahan, karena ia didasarkan pada suatu sistem yang mengidentifikasi ‘baik’ dengan kesenangan dan ‘buruk’ dengan kesakitan, tanpa melakukan spesifikasi terhadap sifat kesenangan dan kesakitan tersebut. Versi Bentham juga mengasumsikan bahwa manusia itu sangat rasional sehingga mereka selalu mengikuti kalkulasi moral. Baginya,  gagasan bahwa pada dasarnya setiap manusia mencari kesenangan dan bahwa kebajikan moral terletak pada pencapaian kesenangan hanyalah separuh dari sejarah, Namun yang separuh tersebut seringkali disalahfahami. Orang yang mendengar teori semacam ini menjulukinya sebagai teori yang hanya cocok untuk diterapkan pada babi. Oleh karena orang menolak utilitarianisme hanya sebagai pencarian kesenangan-kesenangan babi, maka mereka menolak utilitarianisme sebagai teori moral yang tidak berharga. Menurut Mill, semua teori moral yang menyokong kebahagiaan (happiness) selalu dituduh hanya membicarakan kepuasan remeh belaka, namun kritik tersebut tidak pas jika diterapkan  pada utilitarianisme.  Bahkan Epicurus pernah menyatakan bahwa ada banyak kesenangan dalam hidup ini selain kesenangan fisik yang bisa membawa kita menuju kebahagiaan. Kebahagiaan bukan hanya sebagai pemuasan keinginan fisik semata.[11]

Menurut Mill, kesenangan spiritual dan persahabatan intelektual adalah lebih bernilai daripada kepuasan fisik. Dengan demikian, sebagian kesenangan adalah lebih bernilai dan lebih tinggi daripada sebagian lainnya. Secara umum, manusia lebih memilih kejayaan hidup mereka dan berjuang untuk menjalani pengalaman-pengalaman sejatinya daripada memenuhi kepuasaan sesaat. Mill berkata : “Lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada babi yang puas ; lebih baik menjadi Sokrates yang tidakpuas daripada menjadi seorang tolol yang puas”[12]. Meskipun kesenangan-kesenangan besar di dalam kehidupan menuntut suatu usaha, —seperti seseorang harus belajar matematika  agar  mengerti permainan pemecahan problem matematika--, namun usaha tetap bernilai, sebab kesenangan adalah lebih besar daripada jika seseorang hanya duduk secara pasif saja.[13]

Yang menjadi pertanyaan adalah otoritas mana yang berhak menetapkan bahwa sebagian kesenangan adalah lebih tinggi dan sebagian yang lain  lebih rendah. Menurut Mill, kita harus merujuk kepada “otoritas-otoritas kebahagiaan” atau orang yang berpengalaman (authorities of happiness) untuk menemukan apa yang seharusnya diinginkan oleh setiap orang. Dengan  demikian, pertama-tama harus dilakukan pendidikan secara umum kepada masyarakat tentang hal-hal yang membahagiakan. Ketika pendidikan semacam ini telah dicapai, maka pilihan- pilihan dari orang-orang terdidik tersebut adalah milik mereka sendiri, dan tidak seorang pun memiliki hak untuk turut campur di dalamnya. Betapapun juga, hanya ketika sudah sampai pada tataran ini, suatu masyarakat memiliki hak untuk menginformasikan kepada anak-anak kecil dan anak-anak dewasa mereka  mengenai apa yang seharusnya mereka pilih. Konsep ini terkesan  mirip paternalisme dan hal itu didukung John Stuart Mill.[14]

Franz Magnis Suseno menegaskan bahwa Mill bejuang keras untuk mencoba menjawab keberatan-keberatan yang ditujukan pada utilitarianisme sebagaimana dikemukakan Bentham. Setidak-tidaknya, Suseno mencatat 2 pembelaan penting yang dilakukan Mill terhadap utilitarianisme:

Pertama, Mill menolak tuduhan bahwa utilitarianisme memandang nikmat jasmani sebagai tujuan hidup manusia.Ia menegaskan bahwa nikmat itu ada pelbagai macam, bukan hanya nikmat jasmani belaka. Selain nikmat jasmani, ada juga nikmat rohani, misalnya nikmat estetis atau kebijaksanaan.Nikmat  rohani lebih luhur daripada nikmat jasmani. Demi nikmat lebih luhur, kita boleh saja melepaskan nikmat yang lebih rendah. Mill mengungkapkan keyakinannya itu dalam kalimat termasyurnya :“Lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada babi yang puas ; lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada menjadi seorang tolol yang puas”..

Kedua, Mill menolak tuduhan bahwa utilitarianisme sebagai etika yang egois. Sebab yang sebenarnya dituntut Utilitarianisme bukan setiap orang mengusahakan kebahagiaannya sendiri, melainkan agar ia mengusahakan kebahagiaan sebesar-besarnya dari semua orang yang terkena  dampak  tindakan kita. Kebahagiaan si pelaku sendiri tidak diunggulkan, akan tetapi justru termasuk dalam kalkulasi kebahagiaan semua orang. Bahkan utilitarianisme menuntut agar seseorang mengorbankan nikmatnya sendiri, ketika usaha mencapai nikmat diri tersebut akan menggagalkan nikmat lebih besar yang dapat dicapai orang lain. Utilitarianisme mencari keuntungan untuk  semua  orang  yang  bersangkutan dengan suatu tindakan tertentu.[15]

Dalam utilitarianisme Mill tampak ada kontradiksi  antara  sifat  hedonistik, yang mengakui nikmat sebagai nilai akhir, dan altruistik, yang membenarkan kemungkinan untuk bertindak tidak egois dan bahkan menuntut  untuk berkorban demi orang lain. Untuk mengharmoniskan pertentangan tersebut, Mill mengajukan teori Asosiasi Psikologis. Teori ini berdasarkan pengandaian bahwa manusia secara kodrati bersifat sosial, dalam arti ia meminati orang lain. Ia merasa nikmat apabila orang lain merasa nikmat. Lama-kelamaan terjadi asosiasi psikologis antara gagasan tentang nikmat orang lain dan kebahagiaannya sendiri. Oleh karena itu, ia tidak dapat membedakan antara nikmatnya sendiri dan nikmat orang lain, melainkan merasa bahagia asalkan nikmat sebanyak mungkin orang dapat tercapai, bahkan kalau itu juga berarti ia sendiri harus mengorbankan nikmatnya sendiri.[16]

b)     Kriteria Utilitarianisme

 

Salah satu kekuatan Utilitarianisme adalah kenyataan bahwa mereka menggunakan sebuah prinsip yang jelas dan rasional. Dengan mengikuti  prinsip  ini, pemegang kekuasaan mempunyai pegangan jelas untuk membentuk kebijaksanaannya dalam mengatur masyarakat. Kekuatan lainnya adalah orientasi utama teori ini pada hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang  mempunyai  akibat buruk - karena umpamanya mencelakakan orang lain - mempunyai peluang lebih besar untuk dianggap secara etis bernilai buruk daripada perbuatan yang  mempunyai akibat baik (karena umpamanya membantu orang lain).[17]

Utilitarianisme klasik yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill dapat diringkaskan dalam 3 (tiga) pernyataan :

Pertama, tindakan harus dinilai benar atau salah hanya demi akibat- akibatnya (consequences). Hal lain tidak menjadi pertimbangan. Motif manusia tidak penting, karena tidak bisa diukur atau diukur, berbeda dengan tindakan yang bisa diukur.

Kedua, dalam mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau ketidak-bahagiaan yang dihasilkan.Hal  lain  tidak  relevan.

Ketiga, kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya. Tindakan yang benar adalah yang menghasilkan pemerataan maksimal dari kesenangan di  atas ketidaksenangan, di mana kebahagiaan setiap orang dipertimbangkan secara sama pentingnya.[18]

A. Sony Keraf merusmuskan tiga kriteria obyektif dalam kerangka etika Utilitarianisme untuk menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan :

Kriteria pertama, adalah manfaat  .Kebijaksanaan  atau  tindakan  yang  baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu.

Kriteria kedua, manfaat terbesar.Suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral jika menghasilkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian.Atau, tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kerugian terkecil.

Kriteria ketiga, bagi sebanyak mungkin orang. Suatu tindakan dinilai baik secara moral hanya jika menghasilkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau suatu tindakan dinilai baik secara moral jika membawa kerugian yang sekecil mungkin bagi sesedikit orang.[19]

Berdasarkan 3 kriteria obyektif di atas, Utilitarianisme dipandang memiliki beberapa kelebihan :

Pertama, utilitarianisme menyediakan suatu rasionalitas  dalam  mengambil tindakan maupun menilai tindakan. Ada suatu alasan yang rasional atau  masuk  akal mengapa seseorang memilih suatu tindakan tertentu, bukan  yang  lainnya. Etika ini menggambarkan apa yang seharusnya dilakukan orang yang rasional  dalam mengambil keputusan dalam hidup  ini,  termasuk  keputusan  moral.  Dengan demikian, keputusan moral didasarkan pada kriteria yang dapat diterima dan dibenarkan oleh siapa saja. Siapa saja dapat menjadikannya sebagai rujukan kongkrit. Ada alasan kongkret mengapa suatu tindakan lebih baik daripada yang lainnya dan bukan sekedar alasan metafisik  mengenai  perintah  Tuhan  atau  agama.

Kedua, utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Setiap orang diberi kebebasan dan otonomi sepenuhnya untuk memilih suatu tindakan tertentu berdasarkan 3 kriteria obyektif dan rasional tersebut di atas. Ia tidak lagi melakukan suatu tindakan karena mengikuti tradisi, norma atau perintah tertentu, akan tetapi ia memilihnya berdasarkan kriteria yang rasional. Orang tidak lagi merasa dipaksa-karena takut melawan perintah Tuhan, takut akan hukuman, takut akan cercaan masyarakat dan lain sebagainya- melainkan bebas memilih alternatif berdasarkan alasan-alasan yang diakuinya sendiri nilai objektifitasnya.

Ketiga, utilitarianisme memiliki nilai universal. Suatu tindakan dipandang baik secara moral bukan hanya karena tindakan  tersebut  mendatangkan  manfaat terbesar bagi orang yang melakukan tindakan tersebut, melainkan juga karena mendatangkan manfaat terbesar bagi semua orang yang terkait. Dengan demikian, Utilitarianisme tidak bersifat egoistis.[20] Etika ini tidak mengukur baik-buruknya suatu tindakan berdasarkan kepentingan pribadi atau berdasarkan akibat baiknya demi diri sendiri dan kelompoksendiri.[21]

Sementara itu, Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa tolok ukur untuk menilai tindakan bermoral dalam Utilitarianisme terdiri atas empat unsur, yaitu :

Pertama, Utilitarianisme mengukur moralitas suatu tindakan atau peraturan berdasarkan akibat-akibatnya. Moralitas tindakan tidak melekat pada tindakan itu sendiri. Apabila akibat yang diusahakan baik, maka tindakan itu  benar  secara moral dan apabila tidak baik , maka tindakan tersebut salah.

Kedua, akibat yang baik adalah akibat yang berguna (utility), dimana kegunaan tersebut menunjang apa yang bernilai pada dirinya sendiri, yang baik pada dirinya sendiri.

Ketiga, oleh karena yang baik pada dirinya sendiri adalah kebahagiaan, maka tindakan yang benar secara moral adalah yang menunjang kebahagiaan.Yang membahagiakan adalah nikmat dan kebebasan dari perasaan tidak enak, karena itulah yang diinginkan manusia. Mengusahakan kebahagiaan sama dengan mengusahakan pengalaman nikmat dan menghindari pengalaman yang menyakitkan.

Keempat, yang menentukan kualitas moral suatu tindakan bukan kebahagiaan si pelaku sendiri atau kebahagiaan kelompok, kelas atau golongan  tertentu,  melainkan kebahagiaan semua orang yang terkena dampak tindakan itu. Dengan demikian, utilitarianisme tidak bersifat egois, melainkan menganut universalisme etis.[22]

Seorang utilitarian adalah seorang universalis ketat dalam arti ia percaya adanya satu aturan moral universal, yang merupakan satu-satunya nilai yang mungkin dan setiap orang harus merealisasikannya. Prinsip Utility atau prinsip greatest-happiness menegaskan ketika memilih suatu tindakan, maka pilihlah selalu tindakan yang akan memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan ketidakbahagiaan bagi jumlah paling besar orang (when choosing a course of  action, always pick the one that will maximize happiness and  minimize  unhappiness for the greatest number of people). Tindakan apa pun yang cocok dengan prinsip ini secara moral dipandang tindakan yang benar, dan tindakan apa pun yang tidak cocok dengan prinsip ini secara moral dipandang salah.  Dengan  cara ini, utilitarianisme menawarkan kriteria moral yang jelas dan simpel : Kesenangan adalah baik dan penderitaan adalah buruk ; sehingga apa pun yang menyebabkan kebahagiaan dan/atau mengurangi penderitaan adalah benar secara moral, dan apa pun yang menyebabkan penderitaan atau ketidakbahagiaan adalah salah secara moral. Dengan kata lain, Utilitarianisme hanya tertarik pada konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan kita : jika ia baik (good), maka tindakan itu benar (right); jika ia buruk (bad), maka tindakan itu  salah (false). Kaum utilitarian mengklaim bahwa prinsip ini bisa  menyediakan  jawaban  terhadap semua dilema kehidupan.[23]

Dalam perjalanannya, Utilitarianisme mendapatkan banyak kritikan dan keberatan. Salah satu aspek yang menimbulkan permasalahan adalah pengandaiannya bahwa setiap tindakan individual  harus  dievaluasi  dengan merujuk pada prinsip utilitas. Jika pada suatu situasi tertentu anda tergoda untuk berbohong, maka keliru-tidaknya perbuatan ini ditentukan oleh akibat-akibat yang ditimbulkannya. Pengandaian seperti ini seringkali menimbulkan banyak kesukaran. Sebab dalam hal ini, yang penting hasilnya baik , tanpa melihat bagaimana prosesnya.

Dalam merespon berbagai kritikan  dan  keberatan  yang  diajukan kepadanya di masa modern, Utilitarianisme melakukan serangkaian perbaikan dan modifikasi terhadap teorinya sehingga tindakan-tindakan individual tidak lagi  diadili dengan prinsip utilitas. Sebagai gantinya, yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah perangkat aturan mana yang paling baik menurut sudut pandang teori  utilitas. Aturan-aturan mana yang lebih baik dimiliki oleh suatu komunitas jika  ingin mengembangkan dirinya secara lebih cepat dan lebih maju. Sementara itu, tindakan-tindakan individual harus dinilai benar atau salah menurut ketentuan apakah ia bisa diterima atau tidak oleh aturan-aturan tersebut. Dengan demikian, dibedakan 2 macam utilitarianisme yaitu utilitarianisme perbuatan dan utilitarianisme aturan. Menurut Toulmin, filsuf  Inggris-Amerika,  prinsip  kegunaan tidak hanya diterapkan pada salah satu perbuatan  (sebagaimana dipikirkan dalam utilitarianisme klasik), melainkan diterapkan juga pada aturan- aturan moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita. Dari sekian banyak aturan moral, maka yang dipilih adalah aturan moral yang  menyumbangkan  paling banyak dan paling berguna untuk kebahagiaan paling banyak orang. Hanya aturan moral yang demikian itu yang layak dijadikan sebagai aturan moral. Dengan demikian, utilitarianisme diterapkan pada aturan moral,  tidak  pada  perbuatan moral satu demi satu.[24]

Bahkan Richard B. Brandt melangkah lebih jauh  dengan  mengusulkan  agar bukan aturan moral satu demi satu , melainkan suatu sistem aturan moral sebagai keseluruhan hendaknya diuji dengan prinsip kegunaan. Dengan demikian, perbuatan adalah baik secara moral , bila sesuai dengan aturan yang  berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.[25]

Sebagai contoh dibayangkan ada 2 masyarakat yang berbeda, yang satu berpedoman pada aturan moral, ”Jangan memberikan kesaksian palsu melawan orang yang tidak bersalah”, sedangkan yang lain tidak mengikuti aturan moral seperti itu. Dalam masyarakat yang mana, orang-orang kiranya bisa menjadi lebih baik?.Dari sudut pandang utilitarianisme, masyarakat yang pertama lebih disukai. Dengan demikian, aturan yang melawan perlakukan zalim terhadap orang yang tidak bersalah harus diterima. Dan dengan menggunakan aturan ini, maka utilitarianisme aturan menyimpulkan bahwa orang tidak boleh memberi kesaksian melawan orang yang tidak bersalah.[26] Dalam contoh yang lain, orang sebaiknya tidak bertanya,”apakah akan diperoleh kebahagiaan paling besar untuk paling banyak orang , jika seseorang menepati janjinya dalam situasi tertentu?”. Akan tetapi yang perlu ditanyakan adalah :” apakah aturan moral ’orang harus menepati janjinya’ merupakan aturan moral yang paling  berguna  bagi  suatu  masyarakat atau, sebaliknya, aturan moral ’orang tidak  perlu  menepati  janji’  menyumbangkan paling banyak untuk kebahagiaan paling banyak orang?”. Tanpa ragu-ragu , dapat dijawab oleh Utilitarianisme aturan bahwa aturan ’orang harus menepati janji’ pasti paling berguna dan karena itu diterima sebagai aturan moral. Dalam hal ini, prinsip kegunaan diterapkan atas aturannya , tidak atas perbuatan  satu demi satu.[27]

Contoh lain bisa diterapkan pada kasus mencontek dalam ujian akhir. Apakah aturan moral ‘mahasiswa dilarang mencontek’ merupakan aturan moral yang paling berguna bagi masyarakat atau sebaliknya aturan moral ‘mahasiswa boleh mencontek’ menyumbangkan paling banyak kebahagiaan paling  banyak untuk sebanyak mungkin orang?. Hasilnya, mencontek sebagai suatu aturan moral bukan saja membahayakan (siswa itu sendiri  karena  mungkin  saja  pencontekannya ketahuan), akan tetapi juga merupakan tindakan tidak bermoral (immoral) menurut utilitarianisme aturan. Sebab  banyak  akibat-akibat  buruk terjadi jika seseorang melakukan praktek mencontek. Para dosen dan mahasiswa akan menderita dan merugi dan masyarakat tidak akan mendapatkan sarjana-  sarjanayang diandalkan pengetahuan dan keterampilannya. Karena itu, adalah Aturan Emas (Golden Rule) yang perlu diperhatikan dalam hal ini :”Jangan melakukan tindakan tertentu jika anda tidak dapat membayangkannya sebagai suatu aturan tindakan bagi setiap orang” , sebab suatu aturan tindakan yang tidak sesuai dengan setiap orang , tidak akan memiliki akibat-akibat yang baik.[28]

A.      Utiltarianisme menurut Pakar Etika Muslim

 

Para pengkaji filsafat etika dari kalangan muslim kontemporer memiliki padangan yang cukup beragam tentang filsafat utilitarianisme. Namun mayoritas memberikan kritik mulai dari yang keras, agak keras sampai yang lunak. Pada bagian ini akan dikemukakan pandangan 5 pakar etika muslim. Mereka adalah MansurAli    Rajab, Ah{mad Amin,Taufiq al-T{awil, al-Saifi’i dan Zakariyya Ibra@hi@m.

Menurut Rajab, pandangan Utilitarianisme Bentham merupakan kelanjutan aliran Epikuros (341-270 SM) yang mengajarkan bahwa  kebahagiaan  dapat  dicapai melalui kenikmatan atau menghindari kesengsaraan.[29] Hal ini mudah didapatkan ketika manusia mampu membatasi keinginannya  dan  mencukupkan  diri pada nikmat ketenangan. Manusia seringkali menjerumuskan diri pada kesengsaraan dirinya yang tidak perlu dengan jalan menuruti ketamakan yang menipu dan kenikmatan inderawi yang lebih banyak menggiring mereka pada kesengsaraan daripada kenikmatan.[30]

Namun, Rajab menuturkan 3 keberatan yang ditujukan pada aliran utilitarianisme yaitu :

Pertama, membiarkan diri larut dengan kenikmatan kadang-kadang akan menggiring pada perilaku buruk

Kedua, aliran utilitarianisme menyatakan bahwa setiap manusia akan berupaya untuk mengunggulkan kenikmatannya masing-masing sehingga  dikhawatirkan  akan merugikan kenikmatan orang lain. Hal ini menganggu ketenangan dan stabilitas keamanan.

Ketiga, pada dasarnya utilitarianisme adalah aliran  Epikuros yang  telah melahirkan banyak kerusakan moral. Ia merupakan aliran manusia rendah.[31]

Atas dasar itu, Rajab sangat tidak setuju dengan pandangan utilitarianisme yang menyatakan bahwa motivasi tindakan manusia  adalah  memuaskan kenikmatan dan menghindari kesengsaraan. Ia juga  tidak  setuju  dengan  pandangan yang memandang kebahagiaan terdapat pada tindakan menghindari tuntutan materi dan kenikmatan hidup atau kezuhudan. Ia juga tidak sependapat dengan Sokrates yang melihat motivasi tindakan manusia pada akal. Menurutnya, yang tepat adalah pandangan Islam yang menyatakan bahwa motivasi yang mendorong seorang muslim untuk melakukan tindakan moral adalah untuk mendapatkan pahala dan menghindari siksa, sebagaimana diajarkan al-Qur’an , al- Sunnah dan para tokoh muslim. Iman kepada Allah yang ada pada diri seseorang merupakan penyebab adanya motivasi pahala dan siksa.[32]

Namun, Rajab kemudian melakukan otokritik pendapatnya.Menurutnya, motivasi pahala dan siksa tidak ubahnya dengan motivasi surga dan neraka. Ia menukil pendapat Zainal ‘Abidin ibn ‘Ali ibn Husain yang menyatakan bahwa orang yang beribadah berdasar motif mendapat surga bagaikan seorang pedagang yang mengejar keuntungan, sedangkan orang yang beribadah berdasar motif takut siksa bagaikan seorang budak yang takut pada tuannya, sedangkan orang yang beribadah kepada Allah hanya demi Dzat-Nya, bukan karena motif lain bagaikan orang yang merdeka. Meski pun demikian, Rajab menyimpulkan bahwa  yang  harus dijadikan pegangan dalam perilaku moral adalah  agama  Islam  atau keimanan kepada Allah. Hal ini berarti bahwa yang seharusnya menjadi motif  utama seseorang melakukan tindakan moral adalah semata-mata kewajiban yang telah diperintahkan oleh agama tanpa ada motif mendapatkan pahala atau menghindari siksa. Orang yang bahagia adalah orang yang mematuhi perintah  Allah sebagai kewajiban yang dimotivasi keimanan yang adapada dirinya.[33]

Amin mengkritik aliran Individualistic Hedonism. Sebab manusia tidak hidup sendiri, akan tetapi hidup bersama manusia lainnya dan membutuhkan bantuan mereka. Di samping  itu,  manusia  memiliki watak alami  yang terhunjam di kedalaman nuraninya untuk melakukan perbuatan baik  kepada  sesamanya, meski pun tidak memberikan manfaat apa pun baginya. Ajaran berbagai agama menyatakan perang terhadap tindakan egois dan menyerukan tindakan altruis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi yang mendukung hal itu.[34]

Demikian pula, Amin tidak setuju dengan Utilitarianisme atau Universal Hedonism, meski pun lebih baik daripada Individualistic Hedonism. Sebab aliran  ini menuntut manusia untuk mengkalkulasi kenikmatan dan kesengsaraan  yang akan timbul sebelum melakukan tindakan moral. Ia  menjadikan  ketetapan  tindakan moral berdasarkan proses kalkulasi. Dalam arti, suatu keutamaan bukan disebut utama karena dirinya sendiri, akan tetapi karena ia mampu memproduk kenikmatan terbesar. Hal ini menghilangkan  keindahan dan  kesakralan keutamaan. Menganut aliran ini menjadikan manusia bersikap statis dan tidak memiliki emosi kuat untuk melakukan keutamaan. Aliran ini memberikan hak kepada seseorang secara pribadi untuk mengkalkulasi kepuasan dan kesengsaraan. Padahal seorang pribadi boleh jadi keliru dalam  mengkalkulasi,  karena menyangkut kalkulasi jangka pendek dan jangka panjang secara  bersamaan. Banyak orang tertipu dalam kalkulasi kepuasan dan  kesengsaraan  ketika  ia  melihat ada manfaat untuk dirinya dalam suatu perbuatan tertentu, namun ia menyangka sebagai manfaat untuk orang banyak. Dengan begitu, ia rawan kekeliruan yang buruk sekali.[35]

Menurut Amin, pedoman moral yang menunjukkan yang baik dan buruk merupakan bagian dari watak dasar manusia, meski pun berbeda-beda menurut perbedaan lingkungan dan pendidikannya. Di dalam batin manusia ada perasaan wajib yang menyuruhnya untuk melakukannya dan mencegah menyalahinya.  Semua manusia merasakan hal itu tanpa menunggu kalkulasi terhadap  kepuasan dan kesengsaraan yang ditimbulkan suatu perbuatan. Setiap manusia bertanggung jawabdihadapansuarahatinya(d{ami@r)dandihadapanAllah.Allahtelah mengkaitkan pahala dan siksa dengan pedoman moral ini. Allah menjadikan surga sebagai pahala bagi perilaku adil, jujur, berani dan perilaku utama lainnya.Allah juga menjadikan neraka sebagai siksa bagi perilaku zalim, bohong dan perilaku rendah lainnya.Pedoman moral yang ada di dalam batin manusia inilah yang menyatukan manusia seluruhnya.Atas dasar pedoman moral ini, manusia dipuji, dicela, diberi balasan dan diberi hukuman.[36]

Menurut Amin, menjadikan batin manusia sebagai pedoman moral lebih sesuai dengan kemuliaan manusia dan kedudukannya di alam semesta. Dia bukan binatang yang mencari kenikmatan untuk dirinya dan untuk  orang  lain.  Ia  makhluk mulia yang selalu mencari kemuliaan dimana pun  berada dan  dituntut oleh suara batinnya untuk melakukannya. Yang menjadikan manusia tidak dapat mencapai keutamaan dalam perilaku moral adalah  kecintaan  yang  berlebih- lebihan kepada dirinya sendiri dan menutup diri dari suara batinnya karena  menuruti keinginan dirinya. Teladan ideal dalam hidup adalah manusia mencintai kebaikan disebabkan kebaikan itu sendiri, mencari keutamaan karena keutamaan itu sendiri, melakukan kewajiban karena kewajiban itu sendiri dan selalu mendengarkan suara hati dalam melakukannya.[37]

Menurut Taufiqal-T{awil, kenikmatan bukan tujuan,akan tetapi sarana untuk meraih tujuan yang lebih tinggi. Banyak orang rela berkorban dengan mengalami kesengsaraan demi kenikmatan orang lain atau demi prinsip dan keyakinan yang dianutnya. Hal itu bukan disebabkan adanya motivasi meraih kepuasan dari dalam dirinya, akan tetapi disebabkan dorongan watak alami dalam dirinya. Peradaban manusia dewasa ini menuntutnya untuk banyak melakukan tindakan altruism , meski tanpa menafikan kepentingan diri(egoism).[38]

Menurut T{awil, Bentham telah mencabut ciri utama kaedah moral dari ilmu etika dengan menghilangkan kata ‘seharusnya’ dari kamus etika . Menurut Bentham, filsafat moral tidak berkepentingan untuk menciptakan kaedah ideal  untuk mengatur perilaku manusia dan juga tidak hendak membentuk orang suci maupun kekasih Tuhan. Akan tetapi ia hendak mengkaji masyarakat secara ilmiah menggunakan pendekatan obesrvatif-empiris. Ia hendak mengarahkan semangat manusia untuk menciptakan kebahagiaan dalam masyarakat sebisa mungkin. Kalkulasi kenikmatan hanya ditujukan untuk mengukur seberapa kerja keras manusia dan kesuksesannya dalam dalam merealisasikan kepuasan dan menghindarkan kesengsaraan dengan pengukuran matematis yang sangat  cermat dan tepat. Individu yang baik selalu berupaya membentuk komunitas yang baik.

Bahkan kemaslahatan komunitas bertumpu pada motivasi individual atau kepentingan diri. Dengan demikian, Bentham berupa meluaskan kepentingan diri (egoism) sehingga dapat menjangkau prinsip kepentingan  orang  lain  (altruism) dan berbuat baik untuk mereka.[39]

Menurutnya, Baik Bentham maupun Mill tidak membedakan secara jelas antara Individualistic Hedonism dengan egoismenya dan Utilitarianism dengan altruismenya.Mereka mengkaitkan keduanya.Masing-masing dengan metodenya sendiri. Temuan kajian psikologi menunjukkan ketidaktepatan pandangan ini  karena akan menggiring pada pembedaan perilaku  moral  manusia  yang  timbul dari dorongan alami dari dirinya dan perilaku moral yang dituntut  suatu prinsip  atau kaedah moral tertentu. Seandainya tujuan utama hidup ini adalah mencari kepuasan dan terus menambahkan sebanyak mungkin, niscaya akan menimbulkan banyak kesengsaraan. Kenyataan empiris menunjukkan bahwa pemenuhan keinginan diri seringkali bertentangan dengan prinsip kewajiban dan prinsip moral tradisional. Utilitarianisme tidak cukup  sebagaipedoman  moral  yang mengarahkan perilaku manusia ke jalan yang benar. Kenikmatan  bukan sesuatu yang menjadikan perilaku manusia sesuai dengan prinsip  moral,  akan  tetapi prinsip moral yang membolehkan manusia untuk menikmati kenikmatan tertentu pada saat tertentu. Manusia tercerahkan adalah manusia yang merealisasikan tujuan dan cita-cita mulianya karena didorong rasa kewajiban, meski hidupnya sengsara dan tidak mendapatkan kenikmatan sedikitpun. Menurut T{awi@l, kaum Utilitarian memang hendak merealisasikan kebahagiaan untuk masyarakat umum. Namun kebahagiaan ini bertumpu pada pertarungan di antara banyak individu di dalamnya yang masing-masing menuntut pemenuhan kepuasan atau manfaat pribadinya.[40]

Dengan demikian,T{awil menolak kenikmatan dijadikan sebagai satu- satunya tujuan bagi perilaku moral manusia dan tolok ukur untuk menimbangnya. Karena tolok ukur ini berifat nisbi yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Namun kesimpulan ini tidak menghalanginya  untuk  mengakui  arti penting kepuasan sebagai unsur penting dalam kehidupan dan dasar utama  eksistensi manusia.[41]

T{awil menganggap keliru pandangan yang melihat pencarian kebahagiaan sebagai kewajiban moral. Sebab tujuan manusia menjadi mulia manakala ia menunaikan kewajiban yang ditetapkan oleh kemanusiaannya. Memang, sepintas lalu, kewajiban itu bertentangan dengan tabiat alami dan kepentingan dirinya. Namun melalui latihan dan pembiasaan, kewajiban itu akan menjadi tabiat alami. Manusia seharusnya melihat kebahagiaan di sela-sela  melakukan  kewajiban.  Tidak hanya melihat kewajiban di sela-sela kebahagiaan.Dengan  cara  ini, manusia dapat menunjukkan eksistensi di dirinya di tengah-tengah alam semesta dan memiliki hak untuk menjadi khalifah di bumi ini.[42]

Menurut Safii, Bentham senada dengan Hobbes yang beraliran materialistik dan empiris dalam melihat pengetahuan  dan  mengikuti  pandangannya dalam bidang etika yang menyatakan  bahwa  pada  dasarnya manusia mengejar kepuasan dan menghindari rasa sakit. Watak manusia pada dasarnya bersifat egois (keakuan), bukan mendahulukan kepentingan orang lain (altruis). Terbukti secara empiris, manusia tidak akan melakukan tindakan yang bermanfaat bagi orang lain , kecuali jika tindakan tersebut bermanfaat bagi dirinya secarapribadi.[43]

Namun Bentham memberikan warna yang berbeda  terhadap  filsafat Hobbes. Ia hendak mengukur puas dan rasa sakit dengan alat ukur yang sangat terperinci, yang dikenal dengan kalkulasi kepuasan. Menurutnya, akal manusia mampu mengukur berbagai kepuasan, membandingkannya dan memilih yang  paling bermanfaat. Ia menetapkan 7 kategori  untuk  mengukur  kelezatan. Kelezatan diukur dari beberapa sifat intrinsiknya, yaitu : intensitas, jangka waktu, tetapnya , kemudahan dicapai, kesuburan (kemampuannya memproduk kelezatan lainnya), bersih (sunyi dari sebab-sebab rasa sakit) dan memanjang (jangkauannya pada banyak orang).[44]

Namun ukuran yang paling penting adalah jangkauan kelezatan untuk sebanyak mungkin orang. Dalam hal ini, Bentham mengawinkan  manfaat individual dengan manfaat masyarakat secara umum. Menurutnya, seseorang secara pasti tidak mungkin dapat mendapatkan manfaat untuk dirinya  tanpa interaksi dengan masyarakat. Karena itu, mengejar  kelezatan  orang  lain merupakan sarana terbaik yang akan membantunya untuk meraih kelezatan  terbesar. Tindakan altruisme tidak lain adalah mengorbankan diri untuk meraih kelezatan dalam ukuran paling besar untuk diri sendiri melalui cara melayani kepentingan oranglain.[45]

Oleh karena Bentham seorang filsuf empiris, maka  kalkulasi  kepuasan  yang dipakai juga empiris. Manfaat adalah fenomena yang dapat ditimbang dan diukur.Ia mengkritik Epikuros yang melihat kelezatan dari sisi kualitas, padahal, menurutnya, yang terpenting adalah kuantitasnya.[46]

Safi’i tidak setuju dengan Bentham dalam hal ini. Menurutnya, seharusnya ukuran lezat dan rasa sakit dikembalikan kepada kualitas. Bagaimana mungkin mengukur nilai intrinsik suatu kelezatan tertentu dari sisi kuantitas dan tidak mungkin mengukur dua kelezatan dari satu kategori tertentu.Seperti mengukur kepuasan makan apel dan anggur. Demikian pula, tidak mungkin mengukur 2 kepuasan berbeda dari sisi kategori. Tidak cukup hanya mengunggulkan satu kepuasan di atas kepuasan lainnya dan menganggapnya sebagai kebaikan. Sebab umur, watak, adat kebiasaan dan perbedaan tempat tinggal memiliki peran penting dalam membentuk nilai kepuasan dalam diri seseorang. Semua ini harus diperhitungkan dalam kalkulasi kepuasan.[47]

Pandangan Bentham ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Jhon Stuart Mill. Banyaknya keberatan terhadap pandangan Bentham mendorong Mill untuk menyusun filsafat manfaat “Utilitarianism” dalam bentuk yang lebih mudah diterima orang. S{a@fi@ menambahkan 2 hal penting dalam kajian utilitarianisme, yaitu:

]

Kedua, Mill mengkalkulasi lezat dan rasa sakit  tidak  hanya  secara  kuantitatif, akan tetapi juga secara kualitatif. Menurutnya, kenikmatan  akal  lebih  kuat daripada kenikmatan fisik, karena lebih tahan lama dan sunyi dari unsur keletihan. Ada kelezatan yang kasar dan rendah dan ada pula  kelezatan yang  halus  dan luhur. Sebagian orang mendahulukan satu kelezatan  luhur  di  atas  banyak kelezatan rendah dan kasar. Sedikit sekali orang rela menjadi  binatang  yang rendah. Sebab orang yang berakal tidak mau menjadi orang  dungu.  Seorang  pelajar tidak suka menjadi orang bodoh. Seorang yang memiliki hati nurani tidak suka menjadi seorang egois yang rendah. Seorang Sokrates  tidak puas  adalah  lebih utama daripada babi yang puas. Manusia akan mendahulukan manfaat orang banyak daripada manfaat pribadinya. Sebab utilitarianisme mendorong manusia untuk berbuat demi orang lain sebagaimana ia juga suka orang lain berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri. Sikap altruisme yang merupakan syarat utama kehidupan sosial ini merupakan syarat utama manfaat individual.[49]

Menurut Safi’i, pandangan Mill yang mendahulukan kehidupan seorang filsuf, meski penuh dengan kesulitan dan keletihan daripada kehidupan seseorang yang dipenuhi dengan kepuasan jasmani merupakan pengakuan bahwa ada nilai- nilai lain di luar kelezatan dan kesenangan. Pandangan Mill ini meruntuhkan pendapatnya sendiri yang mengawinkan antara suara hati (conscience) dan kepuasan.[50]

Menurut Safi’i, upaya Mill untuk beralih dari manfaat individual (Individual hedonism) pada manfaat umum (utilitarianism atau universal  hedonism)  tidak dapat diterima. Sebab manfaat intrinsik merupakan akar dan parameter bagi aliran empirisme.Bagaimana mungkin mengandaikan seseorang mengorbankan kepentingannya sendiri dalam upaya merealisasikan kepentingan orang banyak. Tidak mungkin. Dalam hal ini, Mill cenderung pada ajaran agama  yang mewajibkan pemeluknya untuk bertindak secara ikhlas demi  kepentingan  orang lain sebagaimana ia juga bertindak secara ikhlas untuk mewujudkan kepentingan dirinya sendiri. Ia menukil kaidah emas yang diajarkan Nabi ‘Isa as : “Jangan perlakukan orang lain kecuali dengan cara yang engkau juga suka diperlakukan oleh mereka dan hendaknya engkau mencintai tetanggamu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri”. Dengan demikian,  pendidikan dan keyakinan memiliki pengaruh penting dalam pembentukan moral manusia. Atas dasar itu, menurut Safi’i, sesungguhnya Mill telah keluar dari aliran empirisme dan ada kontradiksi antara egoisme dan altruisme dalam pandangannya.[51]

Menurut Ibrahim , Ketika ulititarianisme dipandang sebagai aliran empiris, maka ‘kebaikan’ yang dikaji adalah ‘sesuatu yang bersifat inderawi’ atau tepatnya fenomena yang dapat diukur dan ditimbang.  Atas  dasar  itu,  Bentham mengalihkan ‘kebaikan’ pada kertas berharga atau potongan mata uang dan berupaya menempatkan ‘seluruh tindakan moral’ pada apa yang disebutkanya ‘kalkulasi kepuasan’. Ia mengkritik Epikuros karena mengkaji kebenaran dari sisi kualitas atau macamnya, padahal yang terpenting adalah mengkaji sisi kuantitas  dan ukurannya.[52]

Menurut Ibrahim, Bentham telah mengkaitkan kebaikan individu dengan kebaikan masyarakat dengan penjelasannya bahwa mengejar kepuasan orang lain merupakan sarana terbaik yang memungkinkan seorang individu untuk meraih bagian kepuasan terbesar yang dimungkinkan. Hal ini berarti manfaat individu terkait kuat dengan manfaat orang banyak (umum), selama ia tidak mampu meraih apa yang bermanfaat baginya tanpa berinteraksi dengan orang  laindan bekerjasama dengan mereka. Altruisme hanya berarti pengorbanan individu terhadap kepuasannya sendiri sekaligus untuk meraih kepuasan terbesar untuk dirinya melalui tindakan melayani kemaslahatan orang lain. Dengan katalain, keutamaan sosial adalah keutamaan  yang  mengkompromikan  antara  maslahah diri sendiri dan maslahah orang lain dalam  rangka  meraih  kepuasan  terbesar untuk diri seseorang tertentu.[53]

Dengan demikian, poros utama aliran utilitarianisme adalah  prinsip  realisasi tingkat kebahagiaan sebesar mungkin untuk jumlah manusia sebanyak mungkin (akbarqist{ mumkinminal-saa@ dahli@ akbaradadmum kinminal-na@s). Yang penting bukan kebahagiaan  individu,  akan  tetapi  ‘kemakmuran masyarakat’. Tidak diragukan prinsip semacam ini mengandaikan kemungkinan “pencarian kebahagiaan”, tidak untuk individu, akan  tetapi  untuk  masyarakat.  Atas dasar itu, tidak ada artinya kesadaran sosiaal dan hukum maupun keutamaan kecuali dengan  mempertimbangkan  ‘tujuan  kebahagiaan  masyarakat  ini’. Sebagai contoh, ‘negara’ hanya merupakan sarana/ alat untuk melayani  ‘kebahagiaan masyarakat’ atau ‘kemaslahatan umum’, yang merupakan tujuan tertinggi atau tujuan final. Kebahagian masyarakat secara umum (aghlabiyyah) merupakan barometer untuk mengukur atau mengevaluasi ‘lembaga’ maupun ‘perundangan’ apa pun. Dalam menangani persoalan apapun harus selalu dipertanyakan ‘seberapa banyak manfaat atau faedahnya dengan memandangnya sebagai alat atau sarana untuk meraih tujuan tersebut. Kalkulasi teliti, tanpa salah merupakan sarana yang dapat digunakan untuk memahami ‘nilai-nilai moral’, membandingkannya dan memprioritaskannya satu sama lain.[54]

Meski pun pandangan utilitarianisme memberikan perhatian besar pada kebahagian umum atau kemakmuran masyarakat, namun, menurut Ibrahim, pada dasarnya ia hanya menyibukkan diri pada kajian ‘sarana’ yang mengantar pada tujuan ini. Seolah-olah tujuan utama filsafat moral hanyalah melakukan aktifitas kalkulasi untuk mengukur berbagai bentuk kepuasan,  ukurannya,  jangka  waktunya, jumlah orang yang menikmatinya dan lain-lain. Tidak diragukan, percampuran jelas antara pemahaman ‘kebaikan’ dan  pemahaman  ‘manfaat’  adalah pendorong kaum utilitarian, yang dikomandani  Bentham,  untuk mengalihkan seluruh kehidupan moral pada aktifitas tak terhenti di balik ‘saranayang mengantar pada ‘manfaat’. Atas dasar itu, boleh jadi suatu ‘manfaat’ dikejar demi manfaat itu sendiri, tanpa memikirkan ‘tujuan’ , yang mana manfaat itu seharusnya ditujukan untuk tujuan tersebut. Hal ini berarti filsafat ulititarianisme, tegas Ibrahim, mengalihkan kehidupan kepada melulu hanya mengkaji ‘sarana’ tanpa berkepentingan untuk menemukan ‘tujuan’  yang  tersimpan  di  balik ‘sarana’ tersebut. Ketika seseorang melihat pada ‘sesuatu yang bermanfaat’ pada dirinya sendiri, maka seolah-olah ia pura-pura lupa bahwa ‘yang bermanfaat’ tersebut hanya bermanfaat ketika dijadikan ukuran untuk sesuatu lain yang  memiliki nilai ( di dalam dirinya sendiri), yang mana manfaat tersebut merupakan sarana atau alat menuju tujuan sesuatu yang lain tersebut. Barangkali hal ini merupakan sebab manusia modern menjadi ‘budak manfaat’. Ia hanya mengejar kepuasan dan manfaat semata, tanpa mempedulikan ‘tujuan’ yang hendak dicapainya yang berada di balik kelezatan dan manfaat tersebut. Tidak diragukan, manusia modern sangat memerlukan kesadaran tentang nilai-nilai  (emotional  value) , yaitu nilai-nilai yang terkandung di balik berbagi hal.[55]

Selanjutnya Jhon Stuart Mill melanjutkan proyek gurunya,  Bentham, melalui upaya mendudukan filsafat utilitarianisme pada asas empiris yang kokoh. Mill sepakat dengan Bentham bahwa suatu tindakan  moral  hanya  dipandang  ‘baik’ ketika merealisasikan derajat kelezatan sebesar  mungkin  untuk  jumlah orang sebanyak mungkin. Namun Mill memandang perlu mempertimbangkan ‘kualitas’ kebahagiaan atau macamnya, tidak cukup hanya memperhatikan ‘kuantitas’ belaka. Mill memandang perlu bertanya pada para pakar yang telah merasakan banyak kepuasan untuk membuktikan bahwa  ada  bentuk  kepuasan yang mulia dan tinggi derajatnya dan ada pula kelezatan yang rendah dan remeh. Tidak mungkin meletakkan kepuasan inderawi setara dengan kepuasan  akal. Bahkan boleh jadi yang paling utama bagi seseorang adalah menjadi manusia  celaka daripada menjadi babi yang penuh kepuasan. Mill mengkritik  Bentham yang lebih mengutamakan kepuasan individual (egoisme) dari pada  kepuasan umum (altruisme) dan menjadikan pelayanan untuk  kepentingan  orang  lain  semata sebagai ‘sarana’ untuk merealisasikan manfaat individual. Menurutnya, seseorang harus melayani kepentingan umum sebelum melayani kepentingan dirinya sendiri berdasar kaedah tindakan moral yang telah diterima umum secara niscaya.Yaitu :”Hendaknya kita memperlakukan orang lain dengan suatu cara yang kita ingin orang lain memperlakukan kita dan hendaknya kita mencintai orang dekat kita sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri”. Dengan demikian, Mill telah memandang ‘masyarakat’ lebih dahulu daripada ‘individu’ dari sisi tindakan moral. Ia juga mengakui prinsip ‘berkorban’ ketika hal itu dipandang memberikan manfaat untuk jumlah orang sebanyak mungkin. Di samping itu, Mill berpendapat bahwa parameter ‘baik’ bukan  merealisasikan  kebahagiaan  pelakunya, akan tetapi menjamin kebahagiaan terbesar yang akan kembali pada masyarakat.[56] yang memperhatikan ‘kuantitas’ belaka. Mill  memandang  perlu  bertanya pada para pakar yang telah merasakan banyak kepuasan  untuk  membuktikan bahwa ada bentuk kepuasan yang mulia dan tinggi derajatnya dan ada pula kelezatan yang rendah dan remeh. Tidak mungkin meletakkan kepuasan inderawi setara dengan kepuasan akal. Bahkan boleh jadi yang paling utama bagi seseorang adalah menjadi manusia celaka daripada menjadi babi yang penuh kepuasan. Mill mengkritik Bentham yang lebih mengutamakan  kepuasan  individual  (egoisme) dari pada kepuasan umum (altruisme) dan menjadikan  pelayanan  untuk kepentingan orang lain semata sebagai ‘sarana’ untuk merealisasikan manfaat individual. Menurutnya, seseorang harus melayani kepentingan umum sebelum melayani kepentingan dirinya sendiri berdasar kaedah tindakan moral yang telah diterima umum secara niscaya.Yaitu :”Hendaknya kita  memperlakukan  orang  lain dengan suatu cara yang kita ingin orang lain memperlakukan kita dan hendaknya kita mencintai orang dekat kita sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri”. Dengan demikian, Mill telah memandang ‘masyarakat’ lebih dahulu daripada ‘individu’ dari sisi tindakan moral. Ia juga mengakui prinsip ‘berkorban’ ketika hal itu dipandang memberikan manfaat untuk jumlah orang sebanyak mungkin. Di samping itu, Mill berpendapat bahwa parameter ‘baik’ bukan merealisasikan kebahagiaan pelakunya, akan tetapi menjamin kebahagiaan terbesar yang akan kembali pada masyarakat.

BAB IV

KESIMPULAN

erdasarkan tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh Utilitarianism pada abad ke 18 adalah David Hume (1711-1776), Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Dalam Utilitarianism lebih menonjolkan tendensi hedonistis. Sistem konsekuensialitas yang berorientasi pada tujuan perbuatan (Teleologis). Tujuan perbuatan moral adalah memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak orang. Konsep yang baik (good) adalah yang menyenangkan (pleasurable) dan yang buruk (bad) adalah yang menyakitkan (pain).  Nilai utama Utilitarianisme adalah kebahagiaan atau kesenangan yang merupakan nilai intrinsik, nilai yang membantu pencapaian kebahagiaan atau menghindari penderitaan adalah nilai instrumental.

Menurut David Hume, tindakan baik akan membuat banyak orang lain menjadi bahagia. Tujuan utama hukum adalah memajukan kepentingan para  warga  Negara  dan  bukan memaksakan perintah-perintah Tuhan atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.

Setiap manusia berada di bawah pemerintahan 2 penguasa yang berdaulat : ketidaksenangan (pain) dan kesenangan (pleasure). Menurut kodratnya, manusia menghindari  ketidaksenangan  dan mencari kesenangan.  Kebahagiaan tercapai jika  ia  memiliki  kesenangan  dan bebas dari kesusahan.  Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang.

Moralitas suatu perbuatan harus ditentukan dengan menimbang  kegunaannya  untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, bukan kebahagiaan individu yang egois sebagaimana dikemukakan Hedonisme Klasik.  Jeremy Bentham pada konsep Utilitarianisme berpendapat The  greatest  happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Prinsip utilitarianisme diterapkan secara kuantitatif.

Karena kualitas kesenangan selalu sama. Dalam Utilitarianisme dikenal Kalkulus Kepuasan (the hedonic calculus) untuk dapat menilai kualitas sebuah kepuasan seseorang. Faktor-faktor yang menentukan banyak kepuasan dan kepedihan yang timbul dari sebuah tindakan yaitu:

1. intensitas (intensity) dan lamanya (duration) rasa puas atau sedih yang timbul darinya. Kepastian (certainty) dan kedekatan (propinquity)

2. kesuburan (fecundity), kepuasan akan memproduk kepuasan lainnya, dan kemurnian (purity).

3. jangkauan (extent) perasaan tersebut (kepuasan dan kepedihan yang mempengaruhi  orang lain), jangka waktu dan bersih.

Menurut John Stuart Mill, Suatu tindakan harus dianggap benar  sejauh  cenderung mendukung kebahagiaan. Moralitas  suatu tindakan diukur , pertama, sejauh mana diarahkan kepada kebahagiaan, dan kedua, kebahagiaan sendiri yg terdiri atas perasaan senang dan kebebasan  dari perasaan sakit. Manusia tidak menginginkan kebahagiaan tetapi keutamaan (materi) sebagai sarana menuju kebahagiaan. Mill juga memberikan kritikan kepada Bentham bahwa jaminan terhadap hak-hak orang lain dan perlakuan adil merupakan prasyarat menuju sejahtera. Kualitasnya kebahagiaan dipertimbangkan, karena ada kesenangan yang lebih tinggi dan lebih rendah mutunya. Kebahagiaan menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang  terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang bertindak sebagai pelaku utama atau Everybody to count for one, nobody to count for more than one. Kesenangan spiritual dan persahabatan intelektual adalah lebih bernilai daripada kepuasan fisik. Kenikmatan bukan tujuan, akan tetapi sarana untuk meraih tujuan yang lebih tinggi. (Taufiq al-Tawil, Madhhab al-Manfa’ahal-‘Ammah)

Suatu perbuatan yang  mempunyai  akibat buruk berpeluang lebih besar dianggap secara etis bernilai buruk dan sebaliknya. Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya demi akibat- akibatnya (consequences).  Mengukur akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau ketidak-bahagiaan yang dihasilkan. Kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya

Beberapa kelebihan dari aliran Utilitarianisme ini adalah:

1. Utilitarianisme menyediakan suatu rasionalitas  dalam  mengambil tindakan maupun menilai tindakan.

2. Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral

3. Utilitarianisme memiliki nilai universal.

4. Utilitarinisme dapat digunakan untuk menilai Kebijakan (A.Sony Keraf)

Beberapa kekurangan dari aliran ini adalah:

1.        Utilitarianism tidak dapat digunakan pada aturan moral satu demi satu, melainkan pada suatu sistem aturan moral sebagai keseluruhan dengan prinsip kegunaan. (Ricard B. Brandt).

2.        Membiarkan diri larut dengan kenikmatan kadang-kadang akan menggiring pada perilaku buruk.

3.        Utilitarianisme menyatakan bahwa setiap manusia akan berupaya untuk mengunggulkan kenikmatannya masing-masing sehingga  dikhawatirkan  akan merugikan kenikmatan orang lain yang dapat menganggu ketenangan dan stabilitas keamanan.

4. Utilitarianisme adalah aliran  Epikuros yang  telah melahirkan banyak kerusakan moral (Mansur ‘Ali Rajab, Taamulat fi Falsafah al-Akhlaq)

5. Motivasi tindakan manusia pada akal, bukan pada mendapatkan pahala.

6. Menjadikan manusia bersikap statis dan tidak memiliki emosi karena memproduk kenikmatan terbesar yang menghilangkan  keindahan dan kesakralan keutamaan.(Ahmad Amin,Kitab al-Akhlaq).

7. Kemaslahatan komunitas bertumpu pada motivasi individual atau kepentingan diri.

8. Kenikmatan dijadikan sebagai satu- satunya tujuan bagi perilaku moral manusia dan tolok ukur untuk menimbangnya yang bersifat nisbi berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.

9. Utilitarianisme dengan manusia mengejar kepuasan dan menghindari rasa sakit adalah egois bukan altruis.

10. Utilitarianisme tidak mengukur kualitas kebahagiaan masing-masing orang.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq

 

Bentham, An Intoduction to Principles of Morals and Legislation.

 

Dave Robinson dan Christ Garratt, Mengenal Etika For Beginners (Bandung :  Mizan, 1998),

 

Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-1.

 

International Headquarters , Jeremy Bentham, The Encyclopedia Americana, Vol. 27 (Kanada, Grolier Incorporated, 1978.

 

James Rachels, Filsafat Moral (Yogyakarta : Kanisius, 2004),

 

K. Bertens, Etika.

 

Keraf, Sony, A,  Etika Bisnis : Tuntutan dan Relevansinya (Kanisius : Yogyakarta, 1998)

 

Mansur ‘Ali Rajab, Taamulat fi Falsafah al-Akhla.

 

Muhyial-Din Ahmad Safi, Bain Akhlaq al-Qur’an waal-Akhlaq‘Indaal-Falasifah (Kairo: Maktabahal-Iman, 2003).

 

Nina Rosenstand, The Moral of The Story : An Introduction to Ethics (New York : McGraw- Hill, 2005).

 

Philosopical Ethics : An Introduction to Moral Philosophy’, ed. Tom L. Beauchamp, (Boston : MacGrawHill, 2001)

 

Richard Schoch, The Secret Of Happiness (Jakarta : Hikmah, 2009),

 

Taufiqal-Tawil, Madhhabal-Manfa’ahal-‘Amm

 

The University Of Chicago , Jeremy Bentham, A New Survey Of Universal Knowledge : Encyclopaedia Britannica, Vol. 3 (Chicago : William Benthon Publisher, 1965).

 

Zakariyya Ibrahim, Al-Mushkilatal-Khuluqiyyah (Kairo:Maktabah Misr,t,th)