Halaman

Jumat, 09 April 2010

TB Paru

Tuberculosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia, menurut laporan WHO (1999) diperkirakan 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara berkembang. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Demikian juga di Indonesia, yang menempati urutan ke 3 dalam jumlah penderita TB atau 10% dari penderita TB sedunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI Gerdunas TB, 2008).
Ancaman TB Paru yang lain adalah adanya Multiple Drug Resistance (MDR) yang terjadi karena penderita TB tidak patuh dalam mengkonsumsi Obat Anti TBC (OAT) secara teratur, hal ini disebabkan karena beberapa hal salah satunya adalah kurangnya pengetahuan tentang pengobatan TB Paru pada Pengawas Menelan Obat (PMO) dan penderita itu sendiri. Hal tersebut bisa terjadi tidak tuntasnya pengobatan TB Paru yang relatif lama dan kebosanan pada penderita dalam mengkonsumsi OAT, karena pengobatan TB memerlukan waktu yang relatif lama. Dengan demikian untuk mendukung keberhasilan pemerintah dalam penyakit TB, prioritas utama ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, penggunaan obat yang rasional dan paduan obat yang sesuai dengan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) (Gerdunas TB, 2005).
OAT yang tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh karena itu dikembangkan dan digunakan sejak 2003 OAT jenis FDC yaitu kombinasi OAT dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dengan jumlah kandungan masing-masing komponen sudah disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaan Obat Anti TBC jenis Fixed Dose Combination (OAT-FDC) atau Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dapat menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan kesalahan pemberian obat dan mengurangi efek samping (Rahmat, 2002).
Berdasarkan Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah tahun 2007 untuk TB Paru penemuan kasus baru BTA (+) tahun 2005 sebanyak 17.523 orang, tahun 2006 sebanyak 17.304 orang dan tahun 2007 tribulan II sebanyak 8.225 orang, diketahui jumlah kasus baru BTA (+) setiap tahun mengalami trend yang sama (stabil) (Hartanto, 2007).
Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen tahun 2008, penemuan kasus penderita TB dengan BTA (+) sejumlah 755 kasus dengan jumlah suspek 9.088 kasus, kasus BTA neg, Rontgen positif sejumlah 905 kasus. Angka kesembuhan berjumlah 679 kasus, Angka CDR 57%, proporsi angka BTA (+) 45%. Sedangkan berdasarkan profil Puskesmas Klirong I pada tahun 2008 sampai dengan sekarang jumlah pasien TB Paru BTA (+) sejumlah 31 kasus, BTA (–) Rontgen (+) sejumlah 11 kasus, pasien luar wilayah 18 kasus. BTA Rate 7,8 %, CDR 56%, Proporsi BTA (+) berjumlah 81 %, pengobatan lengkap 4 kasus, dan angka kesembuhan sebesar 80 %, walaupun angka kesembuhannya baik tetapi kepatuhan penderita berobat masih rendah karena masih tergantung kunjungan rumah dari PMO. Dari data tingkat kepatuhan pasien berobat di Puskesmas Klirong I pada tahun 2008 sejumlah 12 orang (50 %), pada tahun 2009 sejumlah 7 orang (38,8 %). Ketidakpatuhan pasien berobat di Puskesmas Klirong ini meliputi: ketidaktepatan pasien berkunjung untuk mengambil obat sesuai jadwal, menelan obat sesuai jumlah dan waktu minum obat yang ditentukan. Penderita akan meminum obat bila PMO datang berkunjung ke rumahnya dan mengambilkan obatnya ke Puskesmas. Ketidakpatuhan (mangkir) penderita menelan OAT selama 1 – 2 minggu masih bisa ditolerir dengan melanjutkan pengobatan yang terputus, sementara ketidakpatuhan menelan OAT selama lebih dari 2 minggu akan mengulangi pengobatan dari awal dengan tetap memeriksakan sputum di laboratorium (Gerdunas TB, 2005)
Mengingat masih adanya ketidakpatuhan dari penderita yang memungkinkan resiko pengobatan gagal dan default, maka penatalaksanaan Penyakit TB harus benar- benar dilaksanakan sesuai dengan kebijakan Program Pemberantasan Penyakit Tuberculosis (P2TB). Peran dan pengetahuan PMO sangat penting dalam rangka mencapai kepatuhan berobat dan penyembuhan penderita TB, sehingga pelaksanaan P2TB sangat diperlukan evaluasi untuk mengetahui kepatuhan dan kesembuhan dalam Program P2TB di wilayah kerja Puskesmas Klirong I. Hal tersebut tentunya sesuai dengan program pemerintah yang tujuannya adalah memutus rantai penularan penyakit TB, mencegah kekebalan kuman terhadap OAT (MDR) (Gerdunas TB, 2005) Peran perawat di puskesmas dalam hal ini adalah sebagai fasilitator dan memonitor PMO dalam melaksanakan pengobatan TB Paru kepada penderita. Perawat di Puskesmas tidak dapat memantau pengobatan TB kepada masing-masing penderita TB secara terus menerus, maka perawat memerlukan seorang PMO untuk membantu jalannya pengobatan TB demi keberhasilan Program P2TB. Berdasarkan keadaan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti pengetahuan PMO tentang pengobatan TB Paru jenis FDC dalam membantu perawat memonitor jalannya pengobatan pasien dan ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan menggunakan OAT.

Tidak ada komentar: