Efektifitas
Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012 Pada Produksi IRTP
Kabupaten Kebumen
Triyo Rachmadi
Politeknik Dharma Patria Kebumen, Jl. Letjend. Soeprapto
No. 75 , Kebumen
E-mail: triyo.rachmadi@gmail.com
Abstrak.Keamanan
pangan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu industry rumah tangga pangan (IRTP). Sebagaimana
industri kecil pada umumnya. IRTP pun masih terbelit aneka permasalahan baik
yang menyangkut teknis maupun manajerial. Ketentuan mengenai ketentuan bahan
tambahan makanan yang diizinkan serta batas jumlah penggunaannya dan bahan
tambahan makanan yang dilarang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan
Makanan.
Penelitian
ini bertujuan mengetahui efektifitas pemberlakuan Permenkes RI Nomor 033 Tahun
2012. pada Pemeriksaan Laboratorium Bahan
Tambahan Pangan (BTP) Hasil Produksi Industri Rumah
Tangga Pangan (IRTP). Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis
sosiologis dengan sumber data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dengan
studi dokumen, observasi dan wawancara dengan informan. Lokasi penelitian di Sub
Bagian Kimia Kesehatan, UPTD Laboratorium Kesehatan Kabupaten Kebumen.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jumlah 769 IRTP tersebut telah diperiksa cemaran
bakteriologi pada sampel makanan hasil produksinya di Laboratorium Kesehatan
untuk mendapatkan izin produksi. Tetapi dari jumlah tersebut hanya 48 IRTP
yang rutin memeriksakan bahan tambahan pangan pada
sampel makanan hasil produsinya. Sedangkan sisanya yang berjumlah 721
IRTP atau 93,76 %
tidak terpantau oleh Dinas Kesehatan karena tidak memeriksakan secara rutin
bahan tambahan makanan pada sampel makanan hasil olahannya. Dari data tersebut dapat dipastikan
beberapa IRTP yang menghasilkan produksi
makanan belum memenuhi Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012. Peraturan ini ini tidak efektif dilaksanakan dikarenakan
kurangnya informasi dari pemilik IRTP selaku produsen makanan tentang Permenkes
ini, kurangnya kesadaran dari IRTP, kurang lengkapnya sarana dan fasilitas
Labotarorium Kesehatan sendiri
sebagai pelaksana pemeriksaan BTP. Selain itu, Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota
dan instansi terkait yang kurang memantau atau
mengontrol industri rumah tangga baik yang telah memiliki izin edar (PIRTP)
maupun yang belum memiliki PIRTP
Kata kunci: industri,
pangan, laboratorium.
ABSTRACT
Food safety is very important in a household food industry (IRTP). As a
small industry in general. IRTP was still entangled in various issues
concerning both technical and managerial. The provisions concerning the
provision of permitted food additives as well as limit the amount of usage and
banned food additives set out in the Regulation of the Minister of Health of
the Republic of Indonesia (Permenkes RI) Number 033 of years 2012 on Food Additives.
This study aims to determine the effectiveness of the implementation of
Permenkes RI Number 033 year 2012 On Food
Additives Laboratory (BTP) The results of Household Food Production Industry
(IRTP). This study uses socio-juridical approach to the source of primary data
and secondary data. The collection of data with the study of documents,
observation and interviews with informants. Location study in The Sub Division
of Health Chemical Laboratory, Health Laboratory.UPT.Kebumen.
The results showed that the number of IRTP 769 has been
examined bacteriological contamination in food samples of their products at the
Regional Health Laboratory to obtain production licenses. But of that number
only 48 IRTP who regularly check food additives in samples their food product
results. While the rest, amounting to 721 IRTP or 93,76% is not monitored by the Department of Health for not routinely checked on
a food additive food samples processed products. From these data it can be
ascertained some IRTP that produce food products do not same the the Regulation
of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 033 of years
2012. This regulation is not effectively implemented
due to lack of information from the owners IRTP as food producers on this
Permenkes, lack of awareness of the IRTP, incomplete infrastructure and
facilities Regional Health Labotarorium itself as the executor of BTP
examination. In addition, District Health Office/ City and other offices itself is less monitor or control both the domestic industry has had a
marketing.authorization.or.who.do.not.have.marketing.authorization.
Keywords: industry, food, laboratory.
Pendahuluan
Pangan
atau makanan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak
asasi setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu,
aman, bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam dan tersedia cukup
merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya
suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan
serta makin berperan dalam menungkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Untuk mencapai semua itu perlu diselenggarakan suatu sistem pangan yang
memberikan perlindungan baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang
mengkonsumsi pangan serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Untuk
mewujudkan sistem pengaturan, pembinaan dan pengawasan yang efektif di bidang
pangan serta melindungi masyarakat dari pangan yang dapat membahayakan
kesehatan diperlukan antara lain peraturan yang dimaksudkan sebagai landasan
hukum pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses
produksi, peredaran dan atau perdagangan pangan. Hal ini diwujudkan dengan
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Bagian
Keenam belas pasal 109 sampai dengan pasal 112 dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2012 tentang Pangan.
Dalam
rangka memberikan kepastian hukum yang dinamis. Perangkat hukum tersebut
hendaknya dapat menjangkau perkembangan yang akan terjadi dalam kurun waktu
mendatang. Pada kedua Undang-Undang tersebut di atas, tujuan pengaturan,
pembinaan dan pengawasan pangan antara lain tersedianya pangan yang memenuhi
persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia. Selain
itu Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai acuan dari berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pangan baik yang sudah ada maupun yang
akan ditetapkan.
Undang-Undang
ini memuat antara lain pokok-pokok persyaratan tentang keamanan, mutu dan gizi
pangan serta ketentuan label dan iklan pangan sebagai suatu sitem standarisasi
pangan yang bersifat menyeluruh serta tanggung jawab orang yang memproduksi,
menyimpan, mengangkut dan atau mengedarkan pangan serta sangsi hukum yang
sesuai agar mendorong pemenuhan atas ketentuan-ketentuan yang ditetapkan. Yang
diatur dalam Undang-Undang ini bersifat pokok-pokok yang akan dijabarkan lebih lanjut
oleh pemerintah, masing-masing menteri dari instansi yang terkait menetapkan
ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan wewenangnya.
Sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang makanan yang ada, semua
peraturan perundang-undangan di bidang pangan yang telah ada dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut. Namun
demikian semua peraturan peraturan atau keputusan Menteri ini perlu disesuaikan
dengan Undang-Undang tentang Kesehatan dan Undang-Undang tentang Pangan serta
peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang tersebut.
Ketentuan mengenai ketentuan bahan tambahan makanan yang diizinkan serta batas
jumlah penggunaannya dan bahan tambahan makanan yang dilarang ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 033 Tahun
2012 tentang Bahan Tambahan Makanan. Permenkes RI ini ditetapkan pada tanggal
12 Juli 2012.
Keamanan
pangan atau makanan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu industri
pangan, bahkan juga untuk Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP). Sebagaimana
industri kecil pada umumnya. IRTP pun masih terbelit aneka permasalahan baik
yang menyangkut teknis maupun manajerial. Jika ditelaah lebih lanjut, beberapa
masalah yang berkaitan dengan Keamanan pangan diantaranya:
(1) Masih
ditemukannya produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan
(penggunaan bahan tambahan yang dilarang, cemaran kimia berbahaya, cemaran
patogen, masa kadaluwarsa, dsb)
(2) Masih
banyaknya terjadi kasus keracunan karena makanan yang sebagian besar belum
dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya.
(3) Masih
rendahnya pengetahuan, ketrampilan dan tanggung jawab produsn pangan tentang
mutu dan keamanan pangan terutama pada industry kecil atau industri rumah
tangga.
(4) Masih
rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan terutama karena
terbatasnya pengetahuan dan rendahnya kemampuan daya beli untuk produk pangan
yang bermutu dan tingkat keamanannya yang tinggi.
Menurut Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan
Pangan, Deputi III-BPOM, District Food
Inspector, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah Dengan Balai Besar POM
Semarang,Semarang, Dinas Kesehatan Propinsi Dengan segala permasalahan dan
symptom yang ada, industri pangan berperan penting di dalam menunjang sektor
perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan industri pangan yang juga merupakan
asset pemerintah telah menyumbang output sebesar Rp. 145 triliun sejak tahun
2000 (sumber data: GAPMMI). Selain itu kontribusi industri pangan dalam
menciptakan lapangan pekerjaan telah membuka kesempatan bekerja pada sekitar
3.153 juta tenaga kerja Indonesia (sumber data: GAPMMI).
Peranan IRTP (Industri Rumah Tangga
Pangan) sendiri bagi perkembangan industri adalah bahwa IRTP telah menyumbang
eksport sekitar 3,56% dari total ekspor IKM/ Industri Kecil Menengah (sumber
data: Depperindag). Keunggulan industry rumah tangga pangan ini antara lain
dapat menyerap hasil pertanian (bahan baku) dalam negeri serta dapat diandalkan
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Beberapa potensi yang dimiliki IKM
(Industri Kecil Menengah) diantaranya:
(1) Jumlahnya
sangat besar yaitu memiliki sekitar 542.440 unit usaha (sumber data:
Depperindag)
(2) Berpotensi
untuk berkembang yaitu melalui proses
teknologi modern serta dukungan bahan baku yang tersedia cukup banyak.
(3) Pasar
yang dapat dijangkau oleh masyarakat Indonesia
(4) Aman
terhadap krisis ekonomi
(5) Mudah
dilakuakn oleh masyarakat karena hanya membutuhkan investasi yang relative
kecil (< 5 juta; tenaga kerja 3-4 orang) serta penggunaan teknologi proses
yang sederhana.
(6) Masing-masing
daerah memiliki keunggulan komoditi spesifik yang dapat dijadikan sebagai
keuntungan kompetitif (competitive
advantage).
Namun
sayang, kondisi IRTP di Indonesia kuranglah menguntungkan. Beberapa fakta yang
mendukung hal ini, diantaranya:
(1) Data
lengkap mengenai IRTP yang belum tersedia. Hal ini mencerminkan masih lemahnya
sistem informasi yang ada
(2) Kebanyakan
IRTP belum menerapkan CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik) dengan tepat.
Dalam
rangka menciptakan tata cara kerja yang efisien dan sesuai dengan tuntutan
keadaan mutakhir maka perlu dilakukan pemetaan tugas pokok dan fungsi setiap
pihak yang berhubungan dengan IRTP. Dalam hal ini Pemerintah Daerah dan
Kabupaten/ Kota memiliki kewenangan sebagai berikut:
(1) Menerbitkan
sertifikasi produksi pangan IRT
(2) Melakukan
penyuluhan dan pembinaan IRTP secara berkala
(3) Melakukan
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi IRTP (catatan: Balai POM dapat
melakukan pengawasan sarana produksi dan distribusi IRTP di wilayah
kewenangannya setiap saat secara acak)
Bila
ditemukan adanya produk yang tidak memenuhi ketentuan yang ada maka Kabupaten/
Kota c.q Dinas Kesehatan berwenang untuk:
(1) Melakukan
pengamanan produk IRTP di sarana setempat
(2) Melakukan
pelaporan kejadian pelanggaran kejadian ke balai POM setempat
(3) Verifikasi
oleh Balai POM
(4) Tindak
lanjut setelah mendapat verifikasi dari Balai POM oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota.
Sedangkan
bila diketahui bahwa produk IRTP yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut
ditemukan di Kabupaten / Kota lain maka Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota c.q
Dinas Kesehatan :
(1) Melakukan
pengamanan produk IRTP di sarana setempat
(2) Melakukan
pelaporan kejadian pelanggaran ke Balai POM terkait (Balai POM tempat kedudukan
IRTP yang bersangkutan termasuk “catchment
area”)
(3) Verifikasi
oleh Balai POM
(4) Tindak
lanjut setelah mendapat verifikasi dari Balai POM oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota tempat IRTP berada untuk menginstruksikan kepada IRTP yang
produknya TMS tersebut untuk menarik produknya dari peredaran atau menutup IRTP
tersebut.
Di
Kabupaten Kebumen, berdasarkan data dari UPTD
Laboratorium Kesehatan pada tahun 2018
telah berdiri beberapa Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) yang memproduksi
makanan olahan. Dari beberapa IRTP tersebut yang telah memeriksakan sampel makanan
hasil produksinya hanya berjumlah 769 IRTP. Jumlah 769 IRTP
tersebut telah diperiksa cemaran bakteriologi pada sampel makanan hasil
produksinya di Laboratorium Kesehatan untuk mendapatkan izin produksi. Tetapi
dari jumlah tersebut hanya 48
IRTP yang rutin memeriksakan bahan tambahan makanan pada sampel makanan hasil
produsinya. Ini berarti dari 769 IRTP produsen
makanan yang terdaftar dan berizin hanya 48 IRTP (6,24 %)
yang terpantau bahan tambahan makanan pada hasil produksi makanannya. Sedangkan
sisanya yang berjumlah 721 IRTP atau 93,76 %
tidak terpantau oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen karena
tidak memeriksakan secara rutin bahan tambahan makanan pada sampel makanan
hasil olahannya. Dari data tersebut dapat dipastikan beberapa IRTP yang menghasilkan
produk makanan belum memenuhi Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012.
Di dalam paper ini akan dijelaskan tentang:
(a) Bagaimana efektifitas Permenkes RI Nomor 033 Tahun
2012 pada produksi IRTP di Kabupaten Kebumen?
(b) Faktor-faktor
apa saja yang menghambat efektifitas
Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012 pada produksi IRTP di Kabupaten Kebumen?
Metode
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan empiris
atau yuridis sosiologis. Spesifikasi penelitian ini merupakan penelitian hukum
empiris kualitatif yang lebih memfokuskan pada spesifikasi penelitian
deskriptif. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yang diteliti yaitu:
(1) Variabel Independen (Variabel Bebas)
merupakan variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependen
(terikat) yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012
(2) Variabel Dependen (Variabel terikat)
merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel
independent (bebas). Dalam penelitian ini yaitu Pemeriksaan Bahan Tambahan
Pangan
(3) Variabel Pengganggu merupakan
variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga tidak akan mempengaruhi
variabel utama yang akan diteliti. Dalam
penelitian ini yaitu kehidupan keluarga dan nilai-nilai dalam lingkungan
masyarakat.
Lokasi
penelitian dilaksanakan di UPT Daerah Laboratorium Kesehatan Kabupaten Kebumen, Sub Bagian Kimia Kesehatan. Responden
yang dipilih sebagai informan adalah dari pihak birokrasi, masyarakat dan
pelaku usaha. Informan ditentukan dengan cara atau metode “Purposive Sampling”. Untuk pemilihan berikutnya digunakan metode Snow Ball Sampling. Sumber data dapat
berupa sumber data primer dan sumber data sekunder. Jenis alat pengumpul data
yang digunakan yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi
dan wawancara atau interview. Instrument yang digunakan adalah peneliti sendiri
digunakan pula instrument bantu lainnya berupa pedoman wawancara, blangko hasil
wawancara, daftar pertanyaan atau kuesioner, recorder, catatan lapangan dan kamera. Teknik Pengolahan data
menggunakan cara Koding Data, Editing Data dan Tabulasi Data. Metode penyajian
data dalam bentuk uraian teks
naratif dan matriks data yang disusun secara sistematis. Metode uji mutu data
dilakukan dengan cara Triangulasi. Metode Triangulasi yang digunakan adalah
jenis Triangulasi Sumber, Triangulasi Metode dan Triangulasi Waktu. Metode
analisis data dilakukan dengan kualitatif, Reduksi data dan Display data.
Hasil dan
Pembahasan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
(Permenkes RI) Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP),
peraturan ini telah
disahkan pada tanggal 12 Juli 2012. Peraturan ini berlaku sejak tanggal
diundangkan yaitu pada tanggal 27 Juli 2012. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam ketentuan ini adalah:
(1) Ada
27 golongan BTP yang ditetapkan dalam Permenkes RI ini
(2) Pada
Pasal 5 mengatur ketentuan penggunaan BTP pada kategori pangan dan batas
maksimum penggunaannya diatur oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM)
(3) Pada
pasal 13 ayat (3): label untuk produk dengan pemanis buatan wajib mencantumkan
tulisan “mengandung pemanis buatan, disarankan tidak dikonsumsi oleh anak di
bawah 5 (lima) tahun, ibu hamil dan ibu menyusui”
(4) Pasal
18: pengajuan izin khusus BTP dan penyesuaian produk terdaftar sebelum
diberlakukannya Permenkes Nomor 033 tahun 2012 tetap akan diproses berdasarkan
ketentuan Permenkes sebelumnya. Sedangkan Pangan yang telah memiliki izin edar
tetap harus menyesuaikan dengan ketentuan Permenkes ini paling lambat 1 (satu)
tahun sejak diundangkan.
(5) Pasal
20: Pencabutan peraturan terdahulu.
(6) Penggolongan
BTP Pemanis (sweetener)
Pemanis
(sweetener) adalah bahan tambahan
pangan berupa pemanis alami dan pemanis buatan yang memberikan rasa manis pada
produk pangan. Pemanis ini terdiri dari Pemanis alami (Natural Sweetener) dan pemanis buatan (artificial sweetener). Pemanis alami terdiri dari Sorbitol, Manitol, Isomalt, Glikosida
Steviol, Maltitol, Laktitol, Silitol dan Eritritol. Pada pemanis buatan terdiri dari Assesulfam-K, Aspartam, Asam Siklamat, Kalsium Siklamat, Natrium
Siklamat, Sakarin, Kalsium Sakarin, natrium sakarin, Sukralosa dan Neotam.
Bahan
Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan antara lain bahan pewarna, pengawet,
penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental. Dalam Permenkes nomor 033
Tahun 2012 ini melarang penggunaan BTP yang melampaui ambang batas maksimal
yang ditetapkan karena dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia yang
mengkonsumsi makanan tersebut. BTP lain yang dilarang antara lain asam borak
(boric acid) dan senyawanya.
Laboratorium
Kesehatan (Labkes) merupakan Unit
Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD) yang berada di bawah koordinasi Dinas
Kesehatan Kabupaten/ Kota yang berfungsi melaksanakan pelayanan laboratorium
kesehatan kepada masyarakat berupa pelayanan pemeriksaan laboratorium klinik
hematologi, kimia air makanan dan bakteriologi baik pada sampel manusia maupun
non manusia. Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1267 Tahun 2004 tentang Standar
Pelayanan Laboratorium Kesehatan Kabupaten/ Kota bahwa Labkes
terdiri dari Sub bagian Kimia Kesehatan, Sub Bagian Mikrobiologi, Sub Bagian
Imunologi dan Sub Bagian Patologi. Pada pemeriksaan makanan hasil produksi
IRTP, Labkes wajib melaksanakan pemeriksaan
bakteriologi dan BTP makanan. Pemeriksaan bakteriologi pada makanan berfungsi
untuk mengetahui cemaran bakteri pada makanan hasil olahan IRTP. Hasil
pemeriksaan ini sebagai syarat IRTP untuk mendapatkan izin edar atau Perizinan
Industri Rumah Tangga Pangan (PIRTP) dari Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan
Kantor Perizinan Kabupaten/ Kota setempat. Pada pemeriksaan BTP makanan di
Laboratorium Kesehatan Daerah berfungsi untuk mengetahui kadar bahan tambahan
pangan yang ada pada makanan seperti bahan pengawet, pemanis dan bahan-bahan
lain yang ada pada makanan. Pemeriksaan ini seharusnya dilaksanakan secara
rutin dan berkala 1 (satu) bulan sekali dengan cara setiap IRTP yang telah
memiliki PIRTP untuk mengirimkan sampel hasil produksi makanannya ke Laboratorium
Kesehatan. Di Laboratorium Kesehatan (Labkes) di Kabupaten Kebumen untuk
pemeriksaan BTP makanan hanya dapat melaksanakan pemeriksaan untuk mengetahui
ada atau tidaknya kandungan pengawet dan pemanis dikarenakan keterbatasan
peralatan, fasilitas dan reagen untuk pemeriksaan BTP. Untuk pemeriksaan BTP
pengawet hanya untuk mengetahui beberapa jenis pengawet yaitu Benzoat dan
Formalin.
Pada
Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan
belum dapat dilaksanakan dengan optimal di Kabupaten Kebumen. Dengan kata lain
Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012 ini
tidak efektif dilaksanakan dikarenakan kurangnya informasi kepada pemilik IRTP
selaku produsen makanan tentang Permenkes RI ini, kurangnya kesadaran dari
IRTP, kurang lengkapnya sarana dan fasilitas Labotarorium Kesehatan Daerah
sendiri sebagai pelaksana pemeriksaan BTP. Selain itu Permenkes ini dinilai
tidak efektif dikarenakan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan Kantor Perizinan
Kabupaten/ Kota sendiri yang kurang memantau atau mengontrol industri rumah
tangga baik yang telah memiliki izin edar (PIRTP) maupun yang belum memiliki
PIRTP. Sehingga sistem pengaturan, pengawasan, pemantauan dan pembinaan perlu
diperbaiki untuk dapat melaksanakan atau mengefektifkan Permenkes Nomor 033
tahun 2012 ini.
Di
Kabupaten Kebumen , berdasarkan data dari UPT Laboratorium Kesehatan sejak
tahun 2013 telah berdiri beberapa Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) yang
memproduksi makanan olahan. Dari beberapa IRTP tersebut yang telah memeriksakan
sampel makanan hasil produksinya hanya berjumlah 769
IRTP. Jumlah 769
IRTP tersebut telah diperiksa cemaran bakteriologi pada sampel makanan hasil
produksinya di Laboratorium Kesehatan untuk mendapatkan izin produksi. Tetapi dari
jumlah tersebut hanya 48
IRTP yang rutin memeriksakan bahan tambahan makanan pada sampel makanan hasil produsinya.
Ini berarti dari 769 IRTP produsen makanan yang terdaftar dan
berizin hanya 48 IRTP atau 6,24 %
yang terpantau bahan tambahan makanan pada hasil produksi makanannya. Sedangkan
sisanya yang berjumlah 721 IRTP atau 93,76%
tidak terpantau oleh Dinas Kesehatan karena tidak memeriksakan secara rutin
bahan tambahan makanan pada sampel makanan hasil olahannya. Dari IRTP yang diperiksa secara rutin
didapatkan data berdasarkan parameter pemeriksaan yaitu Boraks 8
sampel, Formalin 18 sampel, Rhodamin 8
sampel, Pewarna 4 sampel, pemanis 4
sampel, sehingga keseluruhan berjumlah 42
parameter pemeriksaan. Dari IRTP yang diperiksa secara rutin didapatkan data
berdasarkan parameter pemeriksaan yaitu Boraks 11 sampel, Formalin 33 sampel,
Rhodamin 6 sampel, Pewarna 6 sampel, pemanis 2 sampel, alcohol 1 sampel
sehingga keseluruhan berjumlah 59 parameter pemeriksaan. Dari data tersebut
dapat dipastikan beberapa IRTP yang menghasilkan produksi
makanan belum memenuhi Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012.
Peraturan yang dikeluarkan berisi harapan-harapan
yang seharusnya dilaksanakan oleh subyek hukum sebagai pemegang peran.
Bekerjanya harapan tersebut ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang
menentukan respon yang diberikan oleh pemegang peran antara lain:
(1) Hukum
itu sendiri.
Dalam
hal ini, hukum yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 33
tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.
(2) Sanksi-sanksi
yang terdapat di dalamnya.
Sanksi-sanksi yang terdapat dalan Permenkes Nomor 033 tahun 2012 tentang
bahan Tambahan Pangan adalah apabila IRTP yang tidak memeriksakan bahan makanan
hasil olahannya secara berkala di Labkesda dapat dikenai penarikan kembali
makanan hasil olahannya yang sudah beredar di pasar dan pencabutan izin atau
penutupan usaha IRTP. Sampai saat ini belum ada IRTP yang dikenai sanksi karena tidak memeriksakan
bahan makanan hasil olahannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan maupun dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Hal ini dikarenakan masih kurangnya sarana
prasarana dan sumber daya manusia untuk dapat memenuhi Permenkes RI nomor 033
Tahun 2012 ini.
(3) Aktifitas
dari lembaga pelaksana hukum.
Kegiatan lembaga
pelaksana hukum dalam Permenkes RI Nomor
033 tahun 2012 ini adalah:
(a) Dinas
Kesehatan Kabupaten Kebumen selaku lembaga yang menerbitkan sertifikasi
produksi pangan IRT, melakukan penyuluhan dan pembinaan IRTP secara berkala
serta melakukan pemeriksaan sarana produksi dan distribusi IRTP.
(b) Laboratorium
Kesehatan (Labkes) selaku sarana kesehatan yang memeriksa sampel bahan makanan
hasil olahan IRTP.
(c) Balai
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku lembaga pengawas di atas Dinas
Kesehatan Kabupaten Kebumen.
(4) Seluruh
kekuatan sosial, politik dan lainnya.
Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh reaksi yang ditimbulkan oleh pemegang peran terhadap pembuat undang-undang dan birokrasi. Sebaliknya, komponen birokrasi juga memberikan umpan balik terhadap pembuat undang-undang maupun pihak pemegang peran. Menurut Soerjono Soekamto, dalam proses penegakan hukum terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya. (Ishaq, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Faktor-faktor tersebut adalah:
(1) Hukumnya
sendiri, yang dibatasi pada undang-undang saja
(2) Penegak
hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum. Dalam hal ini
adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, Kantor Perizinan Terpadu Kabupaten
Kebumen, Laboratorium Kesehatan dan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
(3) Sarana
atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Dalam hal ini adalah sarana
prasarana laboratorium yang mendukung Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012 ini.
Sumber daya manusia yang terdapat dalam Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen baik
kualitas maupun kuantitasnya.
(4) Masyarakat,
termasuk dalam tingkat penegtahuannya.
(5) Kebudayaan,
yaitu hasil karya, cipta dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.
Faktor-faktor
tersebut dapat dijadikan barometer untuk dapat melihat faktor penghambat dan
pendorong di dalam bekerjanya hukum.
(a) Faktor
Hukum.
Dalam
praktek penyelenggaraan hukum kadang terjadi pertentangan antara kepastian
hukum dan keadilan. Hal ini disebabkan karena konsep keadilan bersifat abstrak
sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang ditentukan secara normatif.
Pada hakekatnya suatu kebijakan penyelenggaraan hukum mencakup law enforcement dan peace maintenance karena penyelenggaraan hukum merupakan proses
penyerasian antara nilai kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk
mencapai kedamaian.
Hukum
mempunyai unsur-unsur yaitu hukum
perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat dan hukum doktrin.
Idealnya, unsur-unsur hukum tersebut harus tidak saling bertentangan baik
secara vertical maupun horisintal antar perundang-undangan yang satu dengan
yang lain. Bahasa yang digunakan juga harus jelas, sederhana dan tepat karena
isinya merupakan pesan kepada masyarakat yang terkena peundang-undangan itu.
(b) Faktor
Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor
ini mencakup perangkat lunak dan perangkat keras. Contoh dari perangkat lunak
adalah pendidikan. Perangkat keras adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai
faktor pendukung dalam penegakan hukum. Contoh perangkat keras adalah sarana
pelayanan kesehatan yang mendukung upaya bekerjanya hukum. Dalam hal ini sarana
peralatan laboratorium untuk memeriksa sampel bahan makanan hasil olahan IRTP.
Peralatan di Labkesda Kebumen hanya untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya
bahan tambahan pangan pada sampel tersebut tetapi tidak dapat menentukan kadar
ukurannya seperti pada Permenkes Nomor 033 tahun 2012. Sumber daya manusia atau
ketenagaan dalam Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen yang masih kurang baik dalam
kualitas maupun kuantitasnya dalam mendukung Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012
ini.
(c) Faktor
Masyarakat
Penegakan
hukum berasal dari masyarakat yang bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Masyarakat memiliki kesadaran hukum. Permasalahan masyarakat
tentang hukum adalah derajat kepatuhan hukum yaitu kepatuhan hukum yang tinggi,
sedang atau kurang. Hal ini merupakan
salah satu indikator bekerjanya hukum. Sikap masyarakat yang tidak memahami dan
tidak mendukung dalam penyelenggaraan hukum menjadi salah satu faktor
penghambat bekerjanya hukum. yaitu lingkungan tempat hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Dalam hal
ini masyarakat sebagai pihak konsumen dan pengelola atau pemilik IRTP.
Masyarakat sebagai konsumen memiliki hak untuk mendapat perlindungan kesehatan
dari makanan yang dikonsumsinya. Pihak pemilik IRTP berkewajiban memeriksakan
sampel bahan makanan hasil olahannya ke Labkes Kabupatennya masing-masing pada
saat mengajukan persyaratan izin edar maupun pemeriksaan berkalanya. Di
Kabupaten Kebumen, sedikit sekali IRTP yang bersedia melakukan pemriksaan
sampel bahan makanan hasil olahannya di Labkes dikarenakan
kurang menegetahui adanya Permenkes Nomor 033
tahun 2012.
(d) Faktor
Kebudayaan
Kebudayaan
menurut Soerjono Soekanto, berfungsi sangat besar bagi manusia dan masyarakat
yaitu mengatur agar manusia mengerti seharusnya bertindak, berbuat dan
menentukan sikapnya bila berhubungan dengan orang lain. Kebudayaan adalah garis
pokok perilaku yang menetapkan peraturan mengenai sesuatu yang harus dilakukan
dan yang dilarang.
Simpulan
Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan (BTP) telah disahkan pada tanggal 12 Juli 2012. Peraturan
ini berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu pada tanggal 27 Juli 2012.
Peraturan ini mengatur tentang ketentuan penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP)
yang terdapat pada makanan hasil produksi olahan Industri Rumah Tangga Pangan
(IRTP). Bahan tambahan pangan yang diatur dalam Permenkes ini meliputi bahan
pengawet, pemanis dan bahan-bahan lain yang ditambahkan pada makanan hasil
olahan.
Permenkes RI ini menjadi tidak efektif bila
pada suatu daerah di Kabupaten/ Kota terdapat kekurangan fasilitas dan sarana
pendukung Laboratorium untuk pemeriksaan BTP di Laboratorium Kesehatan di
masing-masing Kabupaten/ Kota, kurangnya informasi atau sosialisasi dari Dinas
Kesehatan dan Badan Perizinan Penanaman Modal Terpadu Kabupaten/ Kota kepada pemilik IRTP, lemahnya sistem
pengaturan, pengawasan, pemantauan dan pembinaan dari instansi terkait kepada
semua IRTP selaku produsen makanan. Selain itu kurangnya kesadaran dari IRTP
sendiri yang tidak mendaftarkan hasil produksi makanannya ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota atau Badan Perizinan Penanaman Modal Terpadu Kabupaten/ Kota sehingga makanan hasil produksinya
tidak diperiksa secara berkala di Laboratorium Kesehatan.
Untuk dapat mengefektifkan Permenkes RI Nomor 033 Tahun
2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) ini
diperlukan pembenahan dan perbaikan sistem pengaturan, pengawasan, pemantauan
dan pembinaan baik dari Dinas Kesehatan maupun dari Badan Perizinan Penanaman Modal Terpadu Kabupaten/ Kota. Selain itu diperlukan
perhatian dari Pemerintah Daerah setempat kepada Laboratorium Kesehatan Daerah
untuk segera melengkapi fasilitas dan sarana Laboratorium yang mendukung
Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012 ini. Sosialisasi dan pemberian informasi
secara aktif dan berkala kepada pemilik IRTP sangat diperlukan untuk memberi
keamanan pangan hasil produksinya serta memberikan perlindungan kesehatan
kepada masyarakat yang mengkonsumsinya.
Daftar Pustaka
Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah
provinsi Jawa Tengah, Modul Diklat Pengawasan Pangan Daerah Distict Food
Inspector, 2018, BPSDM Daerah.
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan,
Deputi III-BPOM, 2013,
District Food Inspector, Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Tengah Dengan Balai Besar POM Semarang,Semarang, Dinas Kesehatan
Propinsi.
Sanapiah Faesal, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasinya, Malang, Yayasan Asih Asah Asuh, hal. 158
Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan.
Undang
Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 Tentang Bahan
Tambahan Pangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar