Oleh : Triyo Rachmadi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keadilan yang menjadi harapan masyarakat belum dapat
diwujudkan dengan baik oleh sistem yang dibentuk oleh otoritas yaitu
pemerintah. Keadilan masih menyisakan beberapa perdebatan tentang indikataor
dan tolok ukurnya. Kebijakan publik yang diwujudkan dalam produk hukum masih
belum memberikan keadilan bagi semua orang dalam masyarakat. Beberapa konsep
pendapat dari tokoh-tokoh ilmuwan dunia mulai dikaji kembali untuk dapat
diterapkan pada kehidupan masyarakat di Indonesia dengan beraneka ragam kultur
budaya, agama, suku dan bahasanya.
Beberapa konsep teori tentang keadilan dihadirkan mulai
dari aliran hukum kodrat, positivisme hukum, Utilitarianisme, Madzhab sejarah,
Socolegal Jurisprudence, Realisme Hukum sampai kepada Critical Legal Studies.
Dari beberapa konsep teori tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan yang
dapat menjadi literasi dan pertimbangan hukum dalam menyusun kebijakan publik
dalam mengatur kehidupan masyarakat.
Teori keadilan atau kebahagiaan dalam Utilitiarinisme
merupakan salah satu yang dapat dipertimbangkan dalam mewujudkan keadilan di
masyarakat. Teori ini dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill
sebagai tokoh utama dalam mengembangkan pemikiran ini. Jeremy Bentham
berpendapat bahwa keadilan akan terwujud bila sebanyak mungkin orang memperoleh
keadilan. Terminologi
Utilitarianisme berasal dari Bahasa Latin yaitu utilis,
yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah
ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest
happiness theory). Dalam Keadilan Utilitarianisme, konsep keadilan hanya dapat
diperoleh atau dinikmati oleh banyaknya jumlah masyarakat dalam wilayah
tersebut. Dengan bahasa lain, konsep keadilan utilitarianisme ini merupakan
keadilan yang mampu menghasilkan pleasure
atau total utility terbesar bagi masyarakat.
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
Tendensi hedonistis tampak pada pandangan filsuf Utilitarian(Jeremy Bentham dan John Stuart Mill). Tetapi dalam bentuk pemikiran modern sifat
individualistis dan egoistis dari hedonisme Yunani Kuno telah
ditinggalkan. Hedonisme yang menjiwai pemikiran modern itu telah mengakui
dimensi sosial sebagai faktor yang
tidak bisa diabaikan.
Secara garis besar, sistem etika yang berlaku di dunia dibagi menjadi 2 kelompok besar: system teleologis (terarah pada tujuan)atau al-‘amalbi‘itiba@r nata@ijih[1],dan system deontology (deon: apa yang harus dilakukan; kewajiban) atau al-‘amalbi‘itiba@rghardal-‘a@milminh[2]. Dalam sistem teleologis, baik tidaknya
perbuatan diukur berdasarkan konsekuensinya. Karena itu, sistem-sistem ini disebut juga sistem konsekuensialistis.. Sistem ini berorientasi pada tujuan perbuatan. Salah satu aliran etika
yang termasuk dalam sistem ini adalah Utilitarianisme. Dalam Utilitarianisme,
tujuan perbuatan moral adalah memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi
sebanyak mungkin orang. Sementara itu, sistem deontologi adalah sistem etika yang tidak mengukur baik tidaknya
suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan
perbuatan tersebut. Sistem ini tidak menyoroti
tujuan yang dipilih bagi perbuatan
atau keputusan seseorang, melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusannnya[3].
Beberapa pendapat dan kritikan ditujukan pada aliran
Utilitarianisme ini, baik John Stuart Mill sendiri maupun dari tokoh filsuf
yang lain karena aliran ini memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pemikirannya.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan
permasalahan yaitu:
a.
Bagaimana Aliran Utilitarinisme?
b.
Bagaimana kelebihan dan kekurangan Aliran Utilitarinisme?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Tokoh Utama Utilitarianisme
Pada abad ke-18, Eropa dan Amerika menyaksikan suatu gerakan umum yang
terarah pada pengakuan yang lebih besar pada hak-hak asasi manusia dan
kesetaraan sosial (sosial equality), nilai
individual, batas kemampuan
manusia dan hak dan kebutuhan pada pendidikan. Selama periode ini, yang
lebih dikenal Enlightenment, para
penguasa dan cendekiawan memiliki pendirian yang sama bahwa rasio manusia,
rasionalitas, memegang peran kunci bagi masa depan dalam kerangka pengembangan
ilmu pengetahuan dan perubahan sosial (sosial
Change). Periode ini juga disebut ‘The
Age of Reason’, bukan hanya
karena manusia bersikap rasional
saat itu, akan tetapi karena rasio merupakan impian (ideal) di bidang sosial,
sains maupun filsafat. Peradaban telah bergerak ke arah apresiasi terhadap
rasionalitas, namun yang lebih tepat dikatakan bahwa gerakan itu dimotivasi
oleh pemikiran pemikir-pemikir tertentu. Salah seorang penggeraknya adalah ahli
hukum dan filsuf Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832) dan John
Stuart Mill(1806-1873)[1]
1. Jeremy Bentham
Jeremy Bentham (1748-1832), merupakan filsuf utilitarian Inggris, ahli
ekonomi dan ahli hukum teoritis, yang
memiliki pengaruh besar dalam melakukan reformasi pemikiran pada abad ke-19
baik di Inggris maupun pada level Dunia. Dia dijuluki sebagai “Luther of the Legal World”(Luther dalam bidang Hukum), sebab pada
akhir abad ke-18 Masehi, sistem hukum Inggris yang
kuno, korup dan belum direformasi bisa dipandang sebagai agama nasional,
sementara ia tidak hanya berani
menentangnya, akan tetapi juga mencipta suatu stuktur hukum baru, yang menarik banyak penganut dan pada
akhirnya mengilhami terjadinya reformasi. Ia telah melakukan
kritik radikal dan rekonstruksi
terhadapsemuainstitusi Inggris baik di bidang
ekonomi, moral, agama, pendidikan,
politik maupun hukum[2].
Bentham dilahirkan pada 15 Februari 1748 di Red LionStreet,
Houndsditch, London sebagai putra dari seorang Pengacara. Dikatakan,
ia termasuk anak jenius, karena pada umur 3 tahun sudah bisa
membaca dengan penuh minat ‘History’ karya Paul de Rapin dan mulai
mempelajari bahasa Latin. Sebagian besar masa kecilnya dihabiskan dengan penuh
keceriaan di dalam
asuhan dua neneknya di pedesaan. Di Westminster School, iamemiliki
prestasi menonjol dalam bidang bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pada tahun 1760,
iamelanjutkan pendidikannya ke Queen
College, Oxford, di mana kecerdasaannya nampak melalui perkenalannya dengan
buku ‘Logic’ karya Robert Sunderland.
Setelah lulus, pada November tahun 1763, ia
memasuki studinya di Lincoln’
Inn dan bertindak sebagai siswa pada King’s
Bench, dimana ia bisa
mendengarkan dengan penuh gairah terhadap nasehat-nasehat Lord Mansfield pada Desember 1763[3].
Pada tahun 1788, Bentham bekerja keras untuk menemukan prinsip-
prinsip legislasi. Sebuah karya besar yang membuatnya dikenal selama
bertahun- tahun kemudian adalah “An
Introduction to the Principles of
Morals and Legislation”, yang diterbitkan
pada tahun 1789.Dalam buku ini,Bentham mendefinisikan prinsip
Utilitas.
Ketenaran karya ini menyebar
secara luas dan cepat. Bentham
mendapatkan kewarganegaraan Prancis pada tahun 1792, dan saran-sarannya
diterima dengan penuh hormat oleh Negara-negara Eropa dan Amerika.Demikian
pula, ada banyak tokoh dunia yang rajin berkoresponden dengannya; salah satu
dari mereka adalah Muhammed Ali.Pada
tahun 1817, iamenjadi anggota
majelis pada Lincoln’s Inn. Bentham
berambisi untuk menyiapkan buku
undang-undang baik untuk konsumsi dalam negeri maupun luar negeri. Kodifikasi
hukum merupakan fokus utama aktifitasya,
namun ia tampaknya meremehkan kesulitan-kesulitan
intrinsik dalam tugas ini dan kebutuhan akan perlunya keragaman
institusi yang diadaptasikan
pada tradisi dan peradaban
negera-negara yang berbeda. Pada tahun 1823, Bentham
membantu pendirian Westminster
Review (1824), jurnal utilitarian yang pertama, untuk menyebarkan
prinsip-prinsip radikalisme filosofis dan juga pendirian University
College.Bentham meninggal pada 6 Juni
1932 di Queen Square dalam umur 85 tahun.Sesuai dengan wasiatnya, tubuhnya
dibedah di hadapan rekan-rekannya.Kemudian, kerangkanya dikonstruksi dengan
dipenuhi lilin dan pakaiannya
dikenakan pada kerangka tersebut.
Patung Bentham tersebut disimpan di University College,London[4].
a) Pemikiran Utilitarianisme Jeremy Bentham
Pada masa Bentham, dunia feodal telah lenyap. Namun masyarakat terbagi
menjadi 3 lapisan : kelas atas, kelas menengah dan kelas buruh, dan
RevolusiIndustri baru dimulai. Keadaan masyarakat kelas bawah dalam
hirarki sosial sangat memilukan.
Hak-hak di bidang Peradilan bisa dibeli,
dalam arti, orang yang
tidak memiliki sarana untuk membelinya, maka tidak akan mendapatkan
hak-hak tersebut. Tidak ada undang-undang yang mengatur buruh anak sehingga
eksploitasi terhadap mereka terjadi di tempat
kerja. Hal itu tumbuh subur padamasa Bentham. Ia melihat hal itu sebagai
ketidakadilan yang memilukan sehingga mendorongnya menemukan cara terbaik untuk
merancang kembali (redesign) sistem yang
tidak adil
ini dalam bentuk aturan moral yang simple yang
bisa dipahami semua orang baik kaya maupun miskin. Bentham
mengatakan bahwa yang
baik (good) adalah yang menyenangkan (pleasurable),
dan yang buruk (bad) adalah yang menyakitkan (pain). Dengan kata lain, hedonisme
(pencarian kesenangan) adalah basis teori moralnya, yang biasa disebut Hedonistic utilitarianism. Nilai utama
adalah kebahagiaan atau kesenangan yang merupakan
nilai intrinsik. Sementara apa pun yang membantu pencapaian kebahagiaan atau
menghindari penderitaan adalah nilai instrumental. Oleh karena boleh jadi kita
melakukan sesuatu yang menyenangkan
dalam rangka mendapatkan sesuatu lain yang menyenangkan juga, maka
kesenangan memiliki dua nilai yaitu
intrinsik dan instrumental[5].
Menurut Bentham, Hukum Inggris yang berlaku saat
itu berantakan, karena tidak
disertai landasan logis atau ilmiah apa pun. Sebagian orang berpendapat hukum harus
didasarkan atas Alkitab atau kesadaran pribadi dan sebagian lain atas hak-hak
alami dan yang lain lagi atas akal sehat para hakim. Seluruh penjelasan ini
menurut Bentham adalah ‘tidak masuk akal ‘
dan ‘lemah’. Atas dasar itu, Bentham
menawarkan suatu hukum dan moralitas yang ‘ilmiah’
dengan cara yang sama seperti klaim sosiologi dan psikologi yang telah membuat
kajian tentang manusia menjadi ilmiah.[7]
Menurut Bentham, pada dasarnya
setiap manusia berada di bawah pemerintahan 2 penguasa yang berdaulat :
ketidaksenangan (pain) dan kesenangan
(pleasure). Menurut kodratnya,
manusia menghindari
ketidaksenangan dan mencari
kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika
ia memiliki kesenangan
dan bebas dari kesusahan. Oleh karena kebahagiaan merupakan tujuan utama
manusia dalam hidup, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh
dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang.
Moralitas suatu perbuatan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya
untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, bukan kebahagiaan individu yang egois sebagaimana dikemukakan
Hedonisme Klasik. Dengan demikian,
Bentham sampai pada prinsip utama utilitarianisme yang berbunyi : the
greatest happiness of the
greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Prinsip ini menjadi norma untuk
tindakan-tindakan pribadi maupun untuk kebijakan pemerintah untuk rakyat.[8]
Menurut Bentham, prinsip utilitarianisme ini harus diterapkan secara
kuantitatif. Karena kualitas kesenangan selalu sama, maka
satu-satunya aspek yang bisa berbeda adalah kuantitasnya.
Dengan demikian, bukan hanya the greatest number yang dapat diperhitungkan, akan tetapi
the
greatest happiness juga dapat
diperhitungkan. Untuk itu, Bentham mengembangkan Kalkulus Kepuasan (the hedonic calculus).Menurut Bentham ada faktor-faktor yang menentukan berapa banyak kepuasan dan kepedihan
yang timbul dari sebuah tindakan. Faktor-faktor tersebut adalah:
(1) menurut intensitas (intensity) dan lamanya (duration)
rasa puas atau sedih yang timbul
darinya. Keduanya merupakan sifat dasar dari semua kepuasan dan kepedihan ;
sejumlah kekuatan tertentu (intensitas)
dirasakan dalam rentang waktu tertentu menurut kepastian (certainty) dan kedekatan (propinquity) rasa puas atau sedih itu.
Contoh semakin pasti anda
dipromosikan , semakin banyak
kepuasan yang
anda dapatkan ketika memikirkannya, dan semakin dekat waktu kenaikan pangkat,
semakin banyak kepuasan yang dirasakan.
(2) menurut kesuburan (fecundity), dalam arti kepuasan akan
memproduk kepuasan-kepuasan lainnya, dan kemurnian (purity). Maksudnya kita perlu mempertimbangkan efek-efek yang tidak
disengaja dari kepuasan dan kepedihan. “Kesuburan” mengacu pada kemungkinan
bahwa sebuah perasaan tidak akan diikuti
oleh kebalikannya, tetapi justru akan tetap menjadi diri”murni”nya sendiri,
dalam arti kepuasan tidak akan mengarah kepada kepedihan atau pun sebaliknya
kepedihan tidak akan menimbulkan kepuasan.
(3) menurut jangkauan (extent) perasaan tersebut. Dalam arti
kita perlu memperhitungkan berapa banyak kepuasan dan kepedihan kita mempengaruhi orang lain. Contoh orang tua merasa puas
ketika anak berprestasi dan
merasa sedih ketika anak jatuh sakit.[9]
Perhitungan
ini akan menghasilkan saldo positif, jika kredit (kesenangan) melebihi debetnya
(ketidaksenangan). Salah satu contoh adalah cara Bentham memperhitungkan kadar
moral dari perbuatan minum minuman keras sampai mabuk. Hasil perhitungan itu
dapat digambarkan sebagai berikut:
Ketidaksenangan (debet) |
Kesenangan (kredit) |
Lamanya:
singkat Akibatnya:
- kemiskinan, -
nama buruk -
tidak sanggup bekerja Kemurnian
: dapat diragukan (dalam keadaan mabuk sering tercampur unsur
ketidaksenangan) |
Intensitas:
membawa banyak kesenangan Kepastian:
Kesenangan pasti terjadi.
Jauh/ dekat:
kesenangan timbul cepat |
Seandainya tidak ada segi negatif, niscaya keadaan
mabuk akan merupakan sesuatu yang secara moral baik. Tetapi
sebagai keseluruhan saldo adalah negatif dan menurut Bentham
malah sangat negatif , sehingga kemabukan harus dinilai secara moral sangat jelek.
Moralitas semua perbuatan dapat diperhitungkan dengan cara sejenis.[1]
Meskipun
kalkulasi-kalkulasi semacam ini dalam penerapannya akan menemui persoalan
kompleks[2],
namun, menurut Bentham, hanya dengan kalkulasi seperti ini
bisa diketahui dengan pasti
berapa banyak kebahagiaan yang
dihasilkan oleh tindakan seseorang bagi keseluruhan masyarakat (komunitas)23.
Menurutnya, mengejar kebahagiaan dengan
cara yang rasional dan teratur merupakan suatu hal yang melegakan. Kelogisannya membuat
kita percaya bahwa pengejaran itu akan berhasil jika kita mengarahkan pikiran
kita pada hal tersebut.
Kebahagiaan, ketika dijelaskan dengan sangat hati-hati, tampak dapat diraih,
sesuatu yang kita semua inginkan. Namun Bentham
memahami bahwa kita tidak dapat meluangkan begitu banyak waktu
untuk menghitung jumlah
kebahagiaan sehingga kita tidak pernah
melakukan hal-hal yang sebenarnya membuat kita bahagia.
Kenyataannya, Bentham tidak pernah membayangkan bahwa masyarakat umum akan
menggunakan “kalkulus kepuasaan” . Justru, ia memaksudkan perhitungan tersebut
sebagai alat bagi para politikus untuk membantu mereka mengesahkan peraturan
yang memaksimalkan level-level umum kebahagiaan. Sebagaimana dijelaskan Bentham,
maksud sebenarnya dari kalkulus itu adalah perundang-undangan yaitu membagi
kebahagiaan secara adil kepada seluruh komunitas (seperti Sinterklas membagikan mainan). Dengan
menyerahkan semua peraturan rumit ,formula kompleks dan kalkulus berat tersebut
kepada para politikus, kita dapat
meneruskan hidup dengan menjadi bahagia.[3]
Bila dilihat sepintas, gerakan utilitarianisme tampak sederhana,
tidak radikal. Karena siapapun akan
sepakat bahwa kita
harus melawan ketidaksenangan (pain) dan mempromosikan kesenangan (pleasure). Namun keradikalan prinsip ini
akan tampak ketika kita membandingkannya dengan gambaran tentang moralitas lama
; yakni semua rujukan ditujukan kepada Tuhan atau aturan-aturan moral abstrak “yang tertulis di surga”. Moralitas tidak lagi dipahami sebagai kepercayaan pada suatu aturan yang diberikan oleh yang ilahi
atau sejumlah perangkat aturan yang tidak
bisa diubah. Pokok moralitas dilihat sebagai kebahagiaan makhluk-makhluk di dunia ini, dan tidak lebih dari itu. Dan
kita diperbolehkan –bahkan dituntut- untuk melakukan apa yang perlu untuk
memperoleh kebahagiaan. Itulah , yang pada waktu
itu merupakan gagasan revolusioner. Para tokoh utilitarian adalah filsuf
sekaligus aktifis gerakan sosial. Mereka berkeinginan agar ajaran
mereka berbeda, tidak hanya dalam pemikiran, tetapi juga dalam praktek.[4]
Menurut Bentham, moralitas bukan sekedar soal menyenangkan hati Allah
atau soal kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan merupakan upaya untuk
sedapat mungkin memperoleh kebahagiaan hidup di dunia ini. Bentham berpendapat bahwa ada satu
prinsip moral yang utama, yakni ‘prinsip
utilitas’. Prinsip ini menuntut agar setiap kali kita menghadapi pilihan dari
antara tindakan- tindakan alternatif atau kebijakan sosial, kita mengambil satu
pilihan yang memiliki konsekuensi yang secara menyeluruh
paling baik bagi setiap orang yang terlibat didalamnya.[5]
1.
John Stuart Mill
Utilitarianisme diperhalus dan diperkokoh lebih lanjut oleh filsuf
Inggris terkemuka, John Stuart Mill (1806-1873).Mill merupakan anak dari James Mill, seorang filsuf dan ekonom
Inggris kenamaan.Ia dilahirkan pada tahun 1806 di London. James memiliki ambisi
yang besar untuk mengembangkan bakat dan intelektual
anaknya sebanyak dan secepat mungkin. John Stuart, anaknya, merespon kepedulian ayahnya yang
besar terhadap pendidikannya sehingga menjadikan dirinya sudah mendapatkan
pelajaran bahasa Yunani pada usia 3 tahun. Pada umur 12 tahun, Mill sudah cukup
akrab dengan sastra Yunani dan Latin Kuno serta sejarah dan matematika. Bahkan pada umur 13 tahun, ia sudah familiar dengan tulisan para
ekonom terkemuka Inggris seperti Adam Smith dan
David Ricardo. Selanjutnya, ia turut serta dalam ”Lingkaran Utilitarianis” yang terbentuk di sekitar Jeremy Bentham yang bersahabat dengan ayahnya, James, dan
yang tulisan-tulisannya kemudian
disuntingnya. Sejak tahun 1823, Mill bekerja sebagai pegawai di Indian
House Company. Mill bukan sekedar seorang professor di bidang filsafat,
namun ia juga seorang peneliti utama (Chief
Examiner) di East India Company, yang mengatur administrasi wilayah jajahan
India (ayahnya, James Mill pernah bekerja pada perusahaan
tersebut dan menjadi penulis suatu karya yang panjang lebar mengulas sejarah
India). Ada yang menuduh Mill
sebagai imperealis, karena ia mempublikasisikan
karyanya ‘On Liberty’ pada tahun 1859. Dua tahun sebelumnya,
pemerintahan Inggris diserang oleh suatu pemberontakan di India Utara yang dikenal
dengan ‘Sepoy Mutini’.Dalam
pemberontakan ini, ratusan pegawai Inggris di India serta anak dan isterinya
dibunuh oleh tentara infanteri India yang tergabung
dalam angkatan bersenjata Inggris-India. Pemberontakan ini merupakan akibat
dari perseteruan panjang dan kesalahpahaman
antara 2 kelompok kultural yang berbeda, setelah 100 tahun dominasi dan
eksploitasi Inggris di India. Setelah pemberontakan tersebut, India diambil
alih oleh Kerajaan Inggris dan ditetapkan sebagai bagian dari
kerajaan. Mill merasa ngeri dengan pemberontakan tersebut dan juga
dengan pengambil- alihan oleh Kerajaan Inggris sehingga dia mengajukan pensiun dini dan enggan turut serta dalam pemerintahan
baru ini. Tampaknya,
tujuan utama Mill kemudian adalah melanjutkan ide utilitarianisme dalam rangka
memaksimalkan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang dan meminimalisir penderitaan
dan kesakitan secara global. Karena itu, jika Mill condong kepada cara hidup Orang
Inggris, suatu cara hidup, yang menurutnya,
paling baik di muka Planet Bumi ini yang
selalu menawarkan akses menuju pendidikan yang baik bagi orang yang hidup pada abad ke-18, maka hal
itu bisa difahami. Cara hidup Inggris adalah budaya yang sangat beradab (civilized),
paling tidak, bagi kalangan atas dan kalangan menengah. Dengan demikian, bisa
disimpulkan bahwa Mill bukan hanya orang
yang sangat membanggakan
intelektualitas, akan tetapi juga seorang
pendidik yang ingin melihat
semua orang mendapatkan kesempatan-kesempatan baik yang sama dalam kehidupan
ini yang bisa ia dapatkan dan ia nikmati
sebanyak mungkin.[6]
Selama tahun 1865-68, ia menjadi anggota dalam Lower
House parlemen Inggris. Ia meninggal di Avignon
Prancis pada tahun 1873. Kesibukan Mill yang sangat intensif telah
menyebabkannya mengalami keambrukan karena sakit saraf pada tahun 1826. Namun krisis mental tersebut ternyata memiliki
efek positif bagi dirinya, karena dengannya ia mulai mampu membebaskan diri dari filsafat Jeremy Bentham dan mengembangkan fahamnya sendiri tentang
utilitarianisme.[7]
a)
Pemikiran
Utilitarianisme John Stuart Mill
Dalam bukunya, Utilitarianism (1864),
Mill mencoba menjelaskan dan memperbaiki
prinsip utilitarianisme sedemikian rupa sehingga lebih kuat dan kokoh. Mill mulai dengan merumuskan prinsip
kegunaan (utility) sebagai prinsip
dasar moralitas. Suatu tindakan harus dianggap benar sejauh
cenderung mendukung kebahagiaan, dan salah sejauh menghasilkan kebalikan
dari kebahagiaan. Yang dimaksud kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure) dan kebebasan dari perasaan
sakit (pain). Yang dimaksud
ketidakbahagiaan adalah perasaan sakit dan tiadanya kesenangan. Dengan
demikian, moralitas suatu tindakan
diukur , pertama, dari sejauh mana
diarahkan kepada kebahagiaan, dan kedua,
kebahagiaan sendiri terdiri atas perasaan senang dan kebebasan dari perasaan sakit.[8]
K. Bertens mencatat 2 (dua) pendapat penting dari Mill dalam dalam
upaya perumusan ulang terhadap utilitarianisme, pertama, ia mengkritik pandangan Bentham bahwa kesenangan
dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Sebaliknya, ia berpendapat
bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih
tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia harus dinilai lebih
tinggi daripada kesenangan hewan, dan kesenangan orang seperti Sokrates lebih bermutu daripada
kesenangan orang tolol. Tetapi kebahagiaan dapat diukur juga secara empiris,
yaitu kita harus berpedoman pada orang yang bijaksana dan berpengalaman dalam hal ini. Orang seperti itu dapat memberi
kepastian tentang mutu kebahagiaan. Kedua,
kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan
kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama.
Raja dan bawahan dalam hal ini harus
diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap
lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri :
“Everybody to count for one, nobody to count
for more than one”. Dengan demikian, suatu perbuatan dinilai baik manakala
kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang terlibat
dihitung dengan cara yang sama.[10]
Mill melakukan rancang ulang terhadap
utilitarianisme Bentham. Apa yang dipandang
penting Bentham, tidak lagi menjadi tujuan utama, disebabkan suatu kesadaran bahwa tanpa
pendidikan yang layak dan memadai bagi semua masyarakat, maka kesetaraan sosial
yang sejati tidak akan tercapai. Menurut Mill, utilitarianisme versi Bentham
memiliki beberapa kelemahan, karena ia didasarkan pada suatu sistem yang
mengidentifikasi ‘baik’ dengan kesenangan dan ‘buruk’ dengan kesakitan, tanpa
melakukan spesifikasi terhadap sifat kesenangan dan kesakitan tersebut. Versi
Bentham juga mengasumsikan bahwa manusia itu sangat rasional sehingga mereka
selalu mengikuti kalkulasi moral. Baginya,
gagasan bahwa pada dasarnya setiap manusia mencari kesenangan dan bahwa
kebajikan moral terletak pada pencapaian
kesenangan hanyalah separuh dari sejarah, Namun yang separuh tersebut seringkali disalahfahami. Orang yang
mendengar teori semacam ini menjulukinya sebagai teori yang hanya cocok untuk
diterapkan pada babi. Oleh karena orang menolak
utilitarianisme hanya sebagai pencarian kesenangan-kesenangan babi, maka mereka
menolak utilitarianisme sebagai teori moral yang tidak berharga. Menurut Mill,
semua teori moral yang menyokong
kebahagiaan (happiness) selalu
dituduh hanya membicarakan kepuasan remeh belaka, namun kritik tersebut tidak
pas jika diterapkan pada utilitarianisme.
Bahkan Epicurus pernah menyatakan bahwa ada banyak kesenangan dalam hidup ini selain kesenangan
fisik yang bisa membawa kita menuju kebahagiaan. Kebahagiaan bukan hanya
sebagai pemuasan keinginan fisik semata.[11]
Menurut Mill, kesenangan spiritual dan persahabatan intelektual adalah
lebih bernilai daripada kepuasan fisik. Dengan demikian, sebagian kesenangan
adalah lebih bernilai dan lebih tinggi daripada sebagian lainnya. Secara umum, manusia lebih
memilih kejayaan hidup mereka dan berjuang untuk menjalani
pengalaman-pengalaman sejatinya daripada memenuhi kepuasaan sesaat. Mill
berkata : “Lebih baik menjadi manusia yang tidak
puas daripada babi yang puas ; lebih
baik menjadi Sokrates yang tidakpuas daripada
menjadi seorang tolol yang puas”[12].
Meskipun kesenangan-kesenangan besar di dalam kehidupan menuntut suatu usaha,
—seperti seseorang harus belajar matematika
agar mengerti permainan pemecahan
problem matematika--, namun usaha
tetap bernilai, sebab kesenangan adalah lebih besar daripada jika seseorang
hanya duduk secara pasif saja.[13]
Yang menjadi pertanyaan adalah otoritas mana
yang berhak menetapkan bahwa sebagian kesenangan adalah lebih tinggi dan
sebagian yang lain lebih rendah. Menurut Mill, kita harus
merujuk kepada “otoritas-otoritas kebahagiaan” atau orang yang berpengalaman (authorities of happiness) untuk menemukan apa yang
seharusnya
diinginkan oleh setiap orang. Dengan demikian, pertama-tama harus dilakukan pendidikan secara umum
kepada masyarakat
tentang hal-hal yang membahagiakan. Ketika pendidikan semacam
ini telah dicapai, maka pilihan- pilihan dari orang-orang terdidik tersebut
adalah milik mereka sendiri, dan tidak seorang pun memiliki hak untuk turut campur di dalamnya. Betapapun juga, hanya ketika sudah
sampai pada tataran ini, suatu
masyarakat memiliki hak untuk menginformasikan kepada anak-anak kecil dan
anak-anak dewasa mereka mengenai apa
yang seharusnya mereka pilih. Konsep ini terkesan mirip paternalisme dan hal itu didukung John
Stuart Mill.[14]
Franz Magnis Suseno menegaskan bahwa Mill bejuang keras untuk mencoba
menjawab keberatan-keberatan yang ditujukan pada
utilitarianisme sebagaimana dikemukakan Bentham. Setidak-tidaknya,
Suseno mencatat 2 pembelaan penting yang dilakukan Mill terhadap utilitarianisme:
Pertama, Mill menolak tuduhan bahwa
utilitarianisme memandang nikmat jasmani sebagai tujuan hidup manusia.Ia
menegaskan bahwa nikmat itu ada pelbagai macam, bukan hanya nikmat jasmani
belaka. Selain nikmat jasmani, ada juga nikmat rohani, misalnya nikmat estetis
atau kebijaksanaan.Nikmat rohani lebih
luhur daripada nikmat jasmani. Demi nikmat lebih luhur, kita boleh saja
melepaskan nikmat yang lebih rendah. Mill mengungkapkan keyakinannya itu dalam
kalimat termasyurnya :“Lebih baik menjadi
manusia yang tidak puas daripada babi yang puas ; lebih baik menjadi Sokrates
yang tidak puas daripada menjadi seorang tolol yang puas”..
Kedua, Mill menolak tuduhan
bahwa utilitarianisme sebagai etika yang egois. Sebab yang sebenarnya dituntut Utilitarianisme bukan setiap orang
mengusahakan kebahagiaannya sendiri, melainkan agar ia mengusahakan kebahagiaan sebesar-besarnya dari semua orang yang terkena dampak
tindakan kita. Kebahagiaan si pelaku sendiri tidak diunggulkan, akan
tetapi justru termasuk dalam kalkulasi kebahagiaan semua orang. Bahkan
utilitarianisme menuntut agar seseorang mengorbankan nikmatnya sendiri, ketika
usaha mencapai nikmat diri tersebut akan menggagalkan nikmat lebih besar yang dapat dicapai orang lain.
Utilitarianisme mencari keuntungan untuk
semua orang yang
bersangkutan dengan suatu tindakan tertentu.[15]
Dalam utilitarianisme Mill tampak ada kontradiksi antara
sifat hedonistik, yang mengakui
nikmat sebagai nilai akhir, dan altruistik, yang membenarkan kemungkinan untuk
bertindak tidak egois dan bahkan menuntut
untuk berkorban demi orang lain. Untuk mengharmoniskan pertentangan
tersebut, Mill mengajukan teori Asosiasi Psikologis. Teori ini berdasarkan
pengandaian bahwa manusia secara kodrati bersifat sosial, dalam arti ia meminati
orang lain. Ia merasa nikmat apabila orang lain merasa nikmat. Lama-kelamaan
terjadi asosiasi psikologis antara gagasan tentang nikmat orang lain dan
kebahagiaannya sendiri. Oleh karena itu, ia tidak dapat membedakan antara nikmatnya sendiri dan nikmat orang
lain, melainkan merasa bahagia asalkan nikmat sebanyak mungkin orang dapat tercapai, bahkan
kalau itu juga berarti ia sendiri harus mengorbankan nikmatnya sendiri.[16]
b) Kriteria Utilitarianisme
Salah satu kekuatan Utilitarianisme adalah kenyataan bahwa mereka
menggunakan sebuah prinsip yang jelas dan rasional. Dengan mengikuti prinsip
ini, pemegang kekuasaan mempunyai pegangan jelas untuk membentuk
kebijaksanaannya dalam mengatur masyarakat. Kekuatan lainnya adalah orientasi
utama teori ini pada hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang mempunyai akibat buruk - karena umpamanya mencelakakan
orang lain - mempunyai peluang lebih besar untuk dianggap secara etis bernilai
buruk daripada perbuatan yang mempunyai
akibat baik (karena umpamanya membantu orang lain).[17]
Utilitarianisme klasik yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill dapat
diringkaskan dalam 3 (tiga) pernyataan :
Pertama, tindakan harus dinilai
benar atau salah hanya demi akibat- akibatnya (consequences). Hal lain tidak menjadi pertimbangan. Motif manusia
tidak penting, karena tidak bisa diukur atau diukur, berbeda dengan tindakan
yang bisa diukur.
Kedua, dalam mengukur
akibat-akibatnya, satu-satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau
ketidak-bahagiaan yang dihasilkan.Hal lain
tidak relevan.
Ketiga, kesejahteraan setiap
orang dianggap sama pentingnya. Tindakan yang
benar adalah yang menghasilkan pemerataan maksimal dari kesenangan
di atas ketidaksenangan, di mana kebahagiaan setiap orang dipertimbangkan
secara sama pentingnya.[18]
A. Sony Keraf merusmuskan tiga kriteria obyektif dalam kerangka etika
Utilitarianisme untuk menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan :
Kriteria pertama, adalah manfaat .Kebijaksanaan atau
tindakan yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya, kebijaksanaan atau
tindakan yang tidak baik adalah yang
mendatangkan kerugian tertentu.
Kriteria kedua, manfaat terbesar.Suatu kebijaksanaan
atau tindakan dinilai baik secara moral jika menghasilkan lebih banyak manfaat
dibandingkan dengan kerugian.Atau, tindakan yang baik adalah tindakan yang
menimbulkan kerugian terkecil.
Kriteria ketiga, bagi sebanyak mungkin orang. Suatu tindakan dinilai
baik secara moral hanya jika menghasilkan manfaat terbesar bagi sebanyak
mungkin orang atau suatu tindakan dinilai baik secara moral jika membawa
kerugian yang sekecil mungkin bagi sesedikit orang.[19]
Berdasarkan 3 kriteria obyektif di atas, Utilitarianisme dipandang
memiliki beberapa kelebihan :
Pertama, utilitarianisme menyediakan suatu rasionalitas dalam
mengambil tindakan maupun menilai tindakan. Ada suatu alasan yang
rasional atau masuk akal mengapa seseorang memilih suatu tindakan
tertentu, bukan yang lainnya. Etika ini menggambarkan apa yang seharusnya
dilakukan orang yang rasional dalam
mengambil keputusan dalam hidup
ini, termasuk keputusan
moral. Dengan demikian, keputusan
moral didasarkan pada kriteria yang
dapat diterima dan dibenarkan oleh siapa saja. Siapa saja dapat
menjadikannya sebagai rujukan kongkrit. Ada alasan kongkret mengapa suatu
tindakan lebih baik daripada yang lainnya dan bukan sekedar alasan
metafisik mengenai perintah
Tuhan atau agama.
Kedua, utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap
pelaku moral. Setiap orang diberi kebebasan dan otonomi sepenuhnya untuk
memilih suatu tindakan tertentu berdasarkan 3 kriteria obyektif dan rasional
tersebut di atas. Ia tidak lagi melakukan suatu tindakan karena mengikuti
tradisi, norma atau perintah tertentu, akan tetapi ia memilihnya berdasarkan
kriteria yang rasional. Orang tidak lagi merasa dipaksa-karena takut melawan
perintah Tuhan, takut akan hukuman, takut akan cercaan masyarakat dan lain
sebagainya- melainkan bebas memilih alternatif berdasarkan alasan-alasan yang diakuinya sendiri nilai objektifitasnya.
Ketiga, utilitarianisme memiliki nilai universal. Suatu
tindakan dipandang baik secara moral bukan hanya karena tindakan tersebut
mendatangkan manfaat terbesar
bagi orang yang melakukan tindakan tersebut, melainkan juga karena mendatangkan
manfaat terbesar bagi semua orang yang terkait. Dengan demikian,
Utilitarianisme tidak bersifat egoistis.[20] Etika ini tidak mengukur baik-buruknya
suatu tindakan berdasarkan kepentingan pribadi atau berdasarkan akibat baiknya
demi diri sendiri dan kelompoksendiri.[21]
Sementara itu, Franz Magnis-Suseno menyatakan bahwa tolok ukur untuk
menilai tindakan bermoral dalam Utilitarianisme terdiri atas empat unsur, yaitu
:
Pertama, Utilitarianisme mengukur moralitas suatu tindakan
atau peraturan berdasarkan akibat-akibatnya. Moralitas tindakan tidak melekat
pada tindakan itu sendiri. Apabila akibat yang diusahakan baik, maka tindakan
itu benar secara moral dan apabila tidak baik , maka
tindakan tersebut salah.
Kedua, akibat yang baik adalah akibat yang berguna (utility), dimana kegunaan tersebut
menunjang apa yang bernilai pada dirinya sendiri, yang baik pada dirinya
sendiri.
Ketiga, oleh karena yang
baik pada dirinya sendiri adalah kebahagiaan, maka tindakan yang benar
secara moral adalah yang menunjang kebahagiaan.Yang membahagiakan adalah nikmat
dan kebebasan dari perasaan tidak enak, karena itulah yang diinginkan manusia. Mengusahakan kebahagiaan sama dengan
mengusahakan pengalaman nikmat dan menghindari pengalaman yang menyakitkan.
Keempat, yang menentukan
kualitas moral suatu tindakan bukan kebahagiaan si pelaku sendiri atau
kebahagiaan kelompok, kelas atau golongan
tertentu, melainkan kebahagiaan
semua orang yang terkena dampak tindakan itu. Dengan demikian, utilitarianisme
tidak bersifat egois, melainkan menganut universalisme etis.[22]
Seorang utilitarian adalah seorang universalis ketat dalam arti ia
percaya adanya satu aturan moral universal, yang merupakan satu-satunya nilai
yang mungkin dan setiap orang harus merealisasikannya. Prinsip Utility atau prinsip
greatest-happiness menegaskan ketika memilih suatu tindakan, maka pilihlah selalu tindakan yang akan
memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan ketidakbahagiaan bagi jumlah paling
besar orang (when choosing a course
of action, always pick the one that will
maximize happiness and minimize unhappiness for the greatest number of people).
Tindakan apa pun yang cocok dengan
prinsip ini secara moral dipandang tindakan yang benar, dan tindakan apa pun
yang tidak cocok dengan prinsip ini secara moral dipandang salah. Dengan
cara ini, utilitarianisme menawarkan kriteria moral yang jelas dan simpel : Kesenangan adalah baik dan penderitaan adalah buruk ;
sehingga apa pun yang menyebabkan kebahagiaan dan/atau mengurangi penderitaan
adalah benar secara moral, dan apa pun yang
menyebabkan penderitaan atau ketidakbahagiaan adalah salah secara moral.
Dengan kata lain, Utilitarianisme hanya tertarik pada konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan kita : jika ia
baik (good), maka tindakan itu benar
(right); jika ia buruk (bad), maka tindakan itu salah (false).
Kaum utilitarian mengklaim bahwa prinsip ini
bisa menyediakan jawaban
terhadap semua dilema kehidupan.[23]
Dalam perjalanannya, Utilitarianisme mendapatkan banyak kritikan dan
keberatan. Salah satu aspek yang menimbulkan permasalahan adalah pengandaiannya
bahwa setiap tindakan individual
harus dievaluasi dengan merujuk pada prinsip utilitas. Jika
pada suatu situasi tertentu anda tergoda untuk berbohong, maka keliru-tidaknya
perbuatan ini ditentukan oleh akibat-akibat yang ditimbulkannya. Pengandaian
seperti ini seringkali menimbulkan banyak kesukaran. Sebab dalam hal
ini, yang penting hasilnya baik , tanpa melihat bagaimana prosesnya.
Dalam merespon berbagai kritikan
dan keberatan yang
diajukan kepadanya di masa
modern, Utilitarianisme melakukan serangkaian perbaikan dan modifikasi terhadap
teorinya sehingga tindakan-tindakan individual tidak lagi diadili dengan prinsip utilitas. Sebagai
gantinya, yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah perangkat aturan mana yang
paling baik menurut sudut pandang teori
utilitas. Aturan-aturan mana yang
lebih baik dimiliki oleh suatu komunitas jika
ingin mengembangkan dirinya secara lebih cepat dan lebih maju. Sementara itu, tindakan-tindakan individual harus
dinilai benar atau salah menurut ketentuan apakah ia bisa diterima atau tidak oleh
aturan-aturan tersebut. Dengan demikian, dibedakan 2 macam utilitarianisme
yaitu utilitarianisme perbuatan dan utilitarianisme aturan. Menurut Toulmin,
filsuf Inggris-Amerika, prinsip
kegunaan tidak hanya diterapkan pada salah
satu perbuatan (sebagaimana dipikirkan
dalam utilitarianisme klasik), melainkan diterapkan juga pada aturan- aturan
moral yang mengatur perbuatan-perbuatan kita. Dari sekian banyak aturan moral,
maka yang dipilih adalah aturan moral yang
menyumbangkan paling banyak dan
paling berguna untuk kebahagiaan paling banyak orang. Hanya aturan moral yang
demikian itu yang layak dijadikan sebagai aturan moral. Dengan demikian, utilitarianisme
diterapkan pada aturan moral, tidak
pada perbuatan moral satu demi
satu.[24]
Bahkan Richard B. Brandt melangkah lebih jauh dengan
mengusulkan agar bukan aturan
moral satu demi satu , melainkan suatu sistem aturan moral sebagai keseluruhan
hendaknya diuji dengan prinsip kegunaan. Dengan demikian, perbuatan adalah baik
secara moral , bila sesuai dengan aturan yang
berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi suatu masyarakat.[25]
Sebagai contoh dibayangkan ada 2 masyarakat yang berbeda, yang satu
berpedoman pada aturan moral, ”Jangan
memberikan kesaksian palsu melawan orang yang tidak bersalah”, sedangkan
yang lain tidak mengikuti aturan moral seperti itu. Dalam masyarakat yang mana,
orang-orang kiranya bisa menjadi lebih baik?.Dari sudut pandang utilitarianisme, masyarakat yang
pertama lebih disukai. Dengan demikian, aturan yang melawan
perlakukan zalim terhadap orang yang tidak bersalah harus diterima. Dan dengan menggunakan
aturan ini, maka utilitarianisme aturan menyimpulkan bahwa orang tidak boleh
memberi kesaksian melawan orang yang tidak bersalah.[26]
Dalam contoh yang lain, orang
sebaiknya tidak bertanya,”apakah akan
diperoleh kebahagiaan paling besar untuk paling banyak orang , jika seseorang
menepati janjinya dalam situasi tertentu?”.
Akan tetapi yang perlu ditanyakan adalah :”
apakah aturan moral ’orang harus menepati janjinya’ merupakan aturan
moral yang paling berguna bagi
suatu masyarakat atau,
sebaliknya, aturan moral ’orang tidak
perlu menepati janji’
menyumbangkan paling banyak untuk kebahagiaan paling banyak orang?”.
Tanpa ragu-ragu , dapat dijawab oleh Utilitarianisme aturan bahwa aturan ’orang
harus menepati janji’ pasti paling berguna dan karena itu diterima sebagai
aturan moral. Dalam hal ini, prinsip kegunaan diterapkan atas aturannya , tidak
atas perbuatan satu demi satu.[27]
Contoh lain bisa diterapkan pada kasus mencontek dalam ujian akhir.
Apakah aturan moral ‘mahasiswa dilarang
mencontek’ merupakan aturan moral yang paling
berguna bagi masyarakat atau sebaliknya aturan moral ‘mahasiswa boleh mencontek’
menyumbangkan paling banyak kebahagiaan paling
banyak untuk sebanyak mungkin orang?. Hasilnya, mencontek sebagai suatu
aturan moral bukan saja membahayakan (siswa itu sendiri karena
mungkin saja pencontekannya ketahuan), akan tetapi juga
merupakan tindakan tidak bermoral (immoral)
menurut utilitarianisme aturan. Sebab
banyak akibat-akibat buruk terjadi jika seseorang melakukan
praktek mencontek. Para dosen dan mahasiswa akan menderita dan merugi dan
masyarakat tidak akan mendapatkan sarjana-
sarjanayang diandalkan
pengetahuan dan keterampilannya. Karena itu, adalah Aturan Emas (Golden Rule) yang perlu diperhatikan
dalam hal ini :”Jangan melakukan tindakan tertentu jika anda tidak dapat
membayangkannya sebagai suatu aturan tindakan bagi setiap orang” , sebab suatu aturan
tindakan yang tidak sesuai dengan setiap orang , tidak akan memiliki
akibat-akibat yang baik.[28]
A. Utiltarianisme menurut Pakar Etika Muslim
Para pengkaji filsafat etika dari kalangan muslim kontemporer memiliki
padangan yang cukup beragam tentang filsafat utilitarianisme. Namun mayoritas
memberikan kritik mulai dari yang keras, agak keras sampai yang lunak. Pada
bagian ini akan dikemukakan pandangan 5 pakar etika muslim. Mereka adalah Mansur‘Ali
Rajab, Ah{mad Amin,Taufiq al-T{awil, al-Saifi’i dan Zakariyya Ibra@hi@m.
Menurut Rajab, pandangan Utilitarianisme Bentham merupakan kelanjutan
aliran Epikuros (341-270 SM) yang mengajarkan
bahwa kebahagiaan dapat
dicapai melalui kenikmatan atau menghindari kesengsaraan.[29]
Hal ini mudah didapatkan ketika
manusia mampu membatasi keinginannya
dan mencukupkan diri pada nikmat ketenangan. Manusia
seringkali menjerumuskan diri pada kesengsaraan dirinya yang tidak perlu dengan jalan menuruti
ketamakan yang menipu dan kenikmatan inderawi yang lebih banyak menggiring
mereka pada kesengsaraan daripada kenikmatan.[30]
Namun, Rajab menuturkan 3 keberatan yang ditujukan pada aliran utilitarianisme
yaitu :
Pertama, membiarkan diri larut dengan kenikmatan
kadang-kadang akan menggiring pada perilaku buruk
Kedua, aliran utilitarianisme menyatakan bahwa setiap
manusia akan berupaya untuk mengunggulkan kenikmatannya masing-masing sehingga dikhawatirkan
akan merugikan kenikmatan orang lain. Hal ini menganggu ketenangan dan stabilitas keamanan.
Ketiga, pada dasarnya utilitarianisme adalah aliran Epikuros yang telah melahirkan banyak kerusakan moral. Ia merupakan
aliran manusia rendah.[31]
Atas dasar itu, Rajab sangat tidak setuju dengan pandangan
utilitarianisme yang menyatakan
bahwa motivasi tindakan manusia
adalah memuaskan kenikmatan dan
menghindari kesengsaraan. Ia juga tidak setuju
dengan pandangan yang memandang
kebahagiaan terdapat pada tindakan menghindari tuntutan materi dan kenikmatan
hidup atau kezuhudan. Ia juga tidak sependapat dengan Sokrates yang melihat
motivasi tindakan manusia pada akal. Menurutnya, yang tepat adalah pandangan Islam yang menyatakan bahwa motivasi
yang mendorong seorang muslim untuk melakukan tindakan moral adalah untuk mendapatkan pahala dan menghindari siksa, sebagaimana diajarkan
al-Qur’an , al- Sunnah dan para tokoh muslim. Iman kepada Allah yang ada pada
diri seseorang merupakan penyebab adanya motivasi pahala dan siksa.[32]
Namun, Rajab kemudian melakukan otokritik pendapatnya.Menurutnya,
motivasi pahala dan siksa tidak ubahnya dengan motivasi surga dan neraka. Ia menukil pendapat Zainal
‘Abidin ibn ‘Ali ibn Husain yang menyatakan bahwa orang yang beribadah berdasar
motif mendapat surga bagaikan seorang pedagang yang mengejar keuntungan, sedangkan orang yang beribadah
berdasar motif takut siksa bagaikan seorang budak yang takut pada tuannya,
sedangkan orang yang beribadah kepada Allah hanya demi Dzat-Nya, bukan karena motif
lain bagaikan orang yang merdeka. Meski pun demikian,
Rajab menyimpulkan bahwa yang harus dijadikan pegangan dalam perilaku moral
adalah agama Islam
atau keimanan kepada Allah. Hal ini berarti bahwa yang seharusnya
menjadi motif utama seseorang melakukan
tindakan moral adalah semata-mata kewajiban yang telah diperintahkan oleh agama
tanpa ada motif mendapatkan pahala atau menghindari siksa. Orang yang bahagia
adalah orang yang mematuhi perintah
Allah sebagai kewajiban yang dimotivasi keimanan yang adapada dirinya.[33]
Amin mengkritik aliran Individualistic
Hedonism. Sebab manusia tidak hidup sendiri, akan tetapi hidup bersama
manusia lainnya dan membutuhkan bantuan mereka. Di samping itu,
manusia memiliki watak alami yang terhunjam di kedalaman nuraninya untuk
melakukan perbuatan baik kepada sesamanya, meski pun tidak memberikan manfaat apa pun baginya. Ajaran berbagai agama menyatakan perang terhadap
tindakan egois dan menyerukan tindakan altruis. Banyak ayat al-Qur’an dan
Hadits Nabi yang mendukung hal itu.[34]
Demikian pula, Amin tidak setuju dengan Utilitarianisme atau Universal Hedonism, meski pun lebih baik daripada Individualistic Hedonism. Sebab
aliran ini menuntut manusia untuk
mengkalkulasi kenikmatan dan kesengsaraan yang akan timbul sebelum melakukan tindakan
moral. Ia menjadikan ketetapan
tindakan moral berdasarkan proses kalkulasi. Dalam arti, suatu keutamaan
bukan disebut utama karena dirinya sendiri, akan tetapi karena ia mampu
memproduk kenikmatan terbesar. Hal ini menghilangkan keindahan dan kesakralan keutamaan. Menganut aliran ini menjadikan
manusia bersikap statis dan tidak memiliki emosi kuat untuk melakukan
keutamaan. Aliran ini memberikan hak kepada seseorang secara pribadi
untuk mengkalkulasi kepuasan dan kesengsaraan.
Padahal seorang pribadi boleh jadi keliru dalam
mengkalkulasi, karena menyangkut
kalkulasi jangka pendek dan jangka
panjang secara bersamaan. Banyak orang
tertipu dalam kalkulasi kepuasan dan
kesengsaraan ketika ia
melihat ada manfaat untuk
dirinya dalam suatu perbuatan tertentu, namun ia menyangka sebagai manfaat
untuk orang banyak. Dengan begitu, ia rawan kekeliruan yang buruk sekali.[35]
Menurut Amin, pedoman moral yang menunjukkan yang baik dan buruk
merupakan bagian dari watak dasar manusia, meski pun berbeda-beda menurut perbedaan lingkungan dan
pendidikannya. Di dalam batin manusia
ada perasaan wajib yang menyuruhnya untuk melakukannya dan mencegah menyalahinya.
Semua manusia merasakan hal itu tanpa menunggu kalkulasi terhadap kepuasan dan kesengsaraan yang ditimbulkan suatu perbuatan. Setiap
manusia bertanggung jawabdihadapansuarahatinya(d{ami@r)dandihadapanAllah.Allahtelah mengkaitkan pahala dan siksa
dengan pedoman moral ini. Allah menjadikan surga sebagai pahala bagi perilaku
adil, jujur, berani dan perilaku utama lainnya.Allah juga menjadikan neraka
sebagai siksa bagi perilaku zalim, bohong dan perilaku rendah lainnya.Pedoman
moral yang ada di dalam batin manusia inilah yang menyatukan manusia
seluruhnya.Atas dasar pedoman moral ini, manusia dipuji, dicela, diberi balasan
dan diberi hukuman.[36]
Menurut Amin, menjadikan batin manusia sebagai pedoman moral lebih sesuai
dengan kemuliaan manusia dan kedudukannya di
alam semesta. Dia bukan binatang yang mencari kenikmatan untuk dirinya
dan untuk orang lain.
Ia makhluk mulia yang selalu
mencari kemuliaan dimana pun berada dan dituntut oleh suara batinnya untuk
melakukannya. Yang menjadikan manusia tidak dapat mencapai keutamaan dalam
perilaku moral adalah kecintaan yang
berlebih- lebihan kepada dirinya sendiri dan menutup diri dari suara
batinnya karena menuruti keinginan
dirinya. Teladan ideal dalam hidup adalah manusia mencintai kebaikan disebabkan
kebaikan itu sendiri, mencari keutamaan karena keutamaan itu sendiri, melakukan
kewajiban karena kewajiban itu sendiri dan selalu mendengarkan suara hati dalam
melakukannya.[37]
Menurut Taufiqal-T{awil, kenikmatan bukan tujuan,akan tetapi sarana
untuk meraih
tujuan yang lebih tinggi. Banyak orang rela berkorban dengan mengalami
kesengsaraan demi kenikmatan orang lain atau demi prinsip dan keyakinan yang
dianutnya. Hal itu bukan disebabkan adanya motivasi meraih kepuasan dari dalam
dirinya, akan tetapi disebabkan dorongan watak alami dalam dirinya. Peradaban
manusia dewasa ini menuntutnya untuk banyak melakukan tindakan altruism , meski
tanpa menafikan kepentingan diri(egoism).[38]
Menurut T{awil, Bentham telah mencabut ciri utama kaedah moral dari ilmu etika dengan
menghilangkan kata ‘seharusnya’ dari
kamus etika . Menurut Bentham, filsafat moral tidak berkepentingan untuk
menciptakan kaedah ideal untuk mengatur
perilaku manusia dan juga tidak hendak membentuk orang suci maupun kekasih
Tuhan. Akan tetapi ia hendak mengkaji masyarakat secara ilmiah menggunakan
pendekatan obesrvatif-empiris. Ia hendak mengarahkan semangat manusia untuk
menciptakan kebahagiaan dalam masyarakat sebisa mungkin. Kalkulasi kenikmatan
hanya ditujukan untuk mengukur seberapa kerja keras manusia dan kesuksesannya
dalam dalam merealisasikan kepuasan dan menghindarkan
kesengsaraan dengan pengukuran matematis yang sangat cermat dan tepat. Individu yang baik selalu berupaya membentuk
komunitas yang baik.
Bahkan kemaslahatan komunitas bertumpu pada motivasi individual atau
kepentingan diri. Dengan demikian, Bentham berupa meluaskan kepentingan diri (egoism) sehingga dapat menjangkau
prinsip kepentingan orang lain (altruism) dan berbuat baik untuk mereka.[39]
Menurutnya, Baik Bentham maupun Mill tidak membedakan secara jelas antara
Individualistic Hedonism dengan
egoismenya dan Utilitarianism dengan
altruismenya.Mereka mengkaitkan keduanya.Masing-masing dengan metodenya
sendiri. Temuan kajian psikologi menunjukkan ketidaktepatan pandangan ini karena akan menggiring pada pembedaan
perilaku moral manusia
yang timbul dari dorongan alami
dari dirinya dan perilaku moral yang dituntut suatu prinsip
atau kaedah moral tertentu. Seandainya tujuan utama hidup ini adalah mencari kepuasan dan terus
menambahkan sebanyak mungkin, niscaya akan menimbulkan banyak kesengsaraan.
Kenyataan empiris menunjukkan bahwa pemenuhan keinginan diri seringkali
bertentangan dengan prinsip kewajiban dan prinsip moral tradisional. Utilitarianisme
tidak cukup sebagaipedoman moral yang mengarahkan perilaku manusia ke jalan yang
benar. Kenikmatan bukan sesuatu yang menjadikan perilaku manusia sesuai
dengan prinsip moral, akan
tetapi prinsip moral yang membolehkan manusia untuk menikmati kenikmatan
tertentu pada saat tertentu. Manusia
tercerahkan adalah manusia yang merealisasikan tujuan dan cita-cita mulianya
karena didorong rasa kewajiban, meski hidupnya sengsara dan tidak mendapatkan kenikmatan sedikitpun. Menurut T{awi@l, kaum Utilitarian memang hendak
merealisasikan kebahagiaan untuk masyarakat umum. Namun kebahagiaan ini
bertumpu pada pertarungan di antara banyak individu di dalamnya yang masing-masing
menuntut pemenuhan kepuasan atau manfaat pribadinya.[40]
Dengan demikian,T{awil menolak kenikmatan dijadikan sebagai satu-
satunya
tujuan bagi perilaku moral manusia dan tolok ukur untuk menimbangnya. Karena tolok ukur ini
berifat nisbi yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Namun
kesimpulan ini tidak menghalanginya
untuk mengakui arti penting kepuasan sebagai unsur penting
dalam kehidupan dan dasar utama
eksistensi manusia.[41]
T{awil menganggap keliru pandangan yang melihat pencarian kebahagiaan sebagai kewajiban moral. Sebab tujuan
manusia menjadi mulia manakala ia menunaikan kewajiban yang ditetapkan oleh kemanusiaannya. Memang, sepintas lalu,
kewajiban itu bertentangan dengan tabiat alami dan kepentingan dirinya. Namun
melalui latihan dan pembiasaan, kewajiban itu akan menjadi tabiat alami.
Manusia seharusnya melihat kebahagiaan di sela-sela melakukan
kewajiban. Tidak hanya melihat
kewajiban di sela-sela kebahagiaan.Dengan
cara ini, manusia dapat
menunjukkan eksistensi di dirinya di tengah-tengah alam semesta dan memiliki
hak untuk menjadi khalifah di bumi ini.[42]
Menurut Safi’i, Bentham senada dengan Hobbes yang beraliran materialistik dan empiris dalam melihat pengetahuan dan
mengikuti pandangannya dalam
bidang etika yang menyatakan bahwa pada
dasarnya manusia mengejar kepuasan dan menghindari rasa sakit. Watak
manusia pada dasarnya bersifat egois
(keakuan), bukan mendahulukan kepentingan orang lain (altruis). Terbukti secara
empiris, manusia tidak akan melakukan tindakan yang bermanfaat bagi orang lain
, kecuali jika tindakan tersebut bermanfaat bagi dirinya secarapribadi.[43]
Namun Bentham memberikan warna yang berbeda terhadap
filsafat Hobbes. Ia hendak mengukur puas dan rasa sakit dengan alat ukur
yang sangat terperinci, yang dikenal dengan kalkulasi kepuasan. Menurutnya,
akal manusia mampu mengukur berbagai kepuasan, membandingkannya dan memilih
yang paling bermanfaat. Ia menetapkan 7
kategori untuk mengukur
kelezatan. Kelezatan diukur dari beberapa sifat intrinsiknya, yaitu :
intensitas, jangka waktu, tetapnya , kemudahan dicapai, kesuburan (kemampuannya
memproduk kelezatan lainnya), bersih (sunyi dari sebab-sebab rasa sakit) dan
memanjang (jangkauannya pada banyak orang).[44]
Namun ukuran yang paling penting adalah jangkauan kelezatan untuk
sebanyak mungkin orang. Dalam hal ini, Bentham mengawinkan manfaat individual dengan manfaat masyarakat
secara umum. Menurutnya, seseorang secara pasti tidak mungkin
dapat mendapatkan manfaat untuk dirinya
tanpa interaksi dengan masyarakat. Karena itu, mengejar kelezatan
orang lain merupakan sarana
terbaik yang akan membantunya untuk
meraih kelezatan terbesar. Tindakan
altruisme tidak lain adalah mengorbankan diri untuk meraih kelezatan dalam
ukuran paling besar untuk diri sendiri melalui cara melayani kepentingan
oranglain.[45]
Oleh karena Bentham seorang filsuf empiris, maka kalkulasi
kepuasan yang dipakai juga empiris. Manfaat adalah fenomena yang dapat ditimbang dan diukur.Ia mengkritik Epikuros yang melihat kelezatan dari sisi kualitas,
padahal, menurutnya, yang terpenting
adalah kuantitasnya.[46]
Safi’i tidak
setuju dengan Bentham dalam hal ini. Menurutnya, seharusnya ukuran lezat
dan rasa sakit dikembalikan kepada kualitas. Bagaimana mungkin mengukur
nilai intrinsik suatu kelezatan tertentu dari sisi kuantitas dan tidak mungkin
mengukur dua kelezatan dari satu kategori tertentu.Seperti mengukur kepuasan
makan apel dan anggur. Demikian pula, tidak mungkin mengukur
2 kepuasan berbeda dari sisi kategori. Tidak cukup hanya mengunggulkan satu
kepuasan di atas kepuasan lainnya dan menganggapnya sebagai kebaikan. Sebab
umur, watak, adat kebiasaan dan perbedaan tempat tinggal memiliki peran penting dalam membentuk nilai
kepuasan dalam diri seseorang. Semua ini harus diperhitungkan dalam kalkulasi
kepuasan.[47]
Pandangan Bentham ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Jhon Stuart
Mill. Banyaknya keberatan terhadap pandangan Bentham mendorong Mill untuk menyusun filsafat manfaat “Utilitarianism” dalam bentuk yang lebih
mudah diterima orang. S{a@fi@ menambahkan 2 hal penting dalam kajian utilitarianisme,
yaitu:
Kedua, Mill mengkalkulasi lezat dan rasa sakit tidak
hanya secara kuantitatif, akan tetapi juga secara
kualitatif. Menurutnya, kenikmatan
akal lebih kuat daripada kenikmatan fisik, karena lebih
tahan lama dan sunyi dari unsur keletihan. Ada kelezatan yang kasar dan rendah dan ada pula
kelezatan yang
halus dan luhur. Sebagian orang mendahulukan satu
kelezatan luhur di
atas banyak kelezatan rendah dan
kasar. Sedikit sekali orang rela menjadi
binatang yang rendah. Sebab orang
yang berakal tidak mau menjadi orang
dungu. Seorang pelajar tidak suka menjadi orang bodoh.
Seorang yang memiliki hati nurani tidak suka menjadi seorang egois yang rendah.
Seorang Sokrates tidak puas adalah lebih
utama daripada babi yang puas.
Manusia akan mendahulukan manfaat orang banyak daripada manfaat pribadinya.
Sebab utilitarianisme mendorong manusia untuk berbuat demi orang lain sebagaimana ia juga suka orang lain berbuat sesuatu untuk dirinya
sendiri. Sikap altruisme yang merupakan syarat utama kehidupan sosial ini
merupakan syarat utama manfaat individual.[49]
Menurut Safi’i, pandangan Mill yang mendahulukan kehidupan seorang filsuf, meski penuh dengan kesulitan dan keletihan daripada
kehidupan seseorang yang dipenuhi dengan kepuasan jasmani merupakan pengakuan
bahwa ada nilai- nilai lain di luar kelezatan dan kesenangan. Pandangan Mill
ini meruntuhkan pendapatnya sendiri yang mengawinkan antara suara hati (conscience) dan kepuasan.[50]
Menurut Safi’i, upaya Mill untuk beralih dari manfaat individual (Individual hedonism) pada manfaat umum (utilitarianism atau universal hedonism) tidak dapat diterima. Sebab manfaat intrinsik
merupakan akar dan parameter bagi aliran empirisme.Bagaimana mungkin
mengandaikan seseorang mengorbankan kepentingannya sendiri dalam upaya
merealisasikan kepentingan orang banyak. Tidak mungkin. Dalam hal
ini, Mill cenderung pada ajaran
agama yang mewajibkan pemeluknya untuk
bertindak secara ikhlas demi
kepentingan orang lain
sebagaimana ia juga bertindak secara
ikhlas untuk mewujudkan kepentingan dirinya sendiri. Ia menukil kaidah emas
yang diajarkan Nabi ‘Isa as : “Jangan perlakukan orang lain kecuali dengan
cara yang engkau juga suka diperlakukan oleh mereka dan hendaknya engkau
mencintai tetanggamu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri”. Dengan
demikian, pendidikan dan keyakinan memiliki pengaruh penting dalam
pembentukan moral manusia. Atas dasar itu, menurut Safi’i, sesungguhnya Mill telah keluar dari aliran empirisme dan ada kontradiksi antara egoisme dan altruisme dalam pandangannya.[51]
Menurut Ibrahim , Ketika ulititarianisme dipandang sebagai aliran
empiris, maka ‘kebaikan’ yang dikaji adalah ‘sesuatu yang bersifat inderawi’ atau tepatnya fenomena yang dapat
diukur dan ditimbang. Atas dasar
itu, Bentham mengalihkan ‘kebaikan’ pada kertas berharga atau
potongan mata uang dan berupaya
menempatkan ‘seluruh tindakan moral’ pada
apa yang disebutkanya ‘kalkulasi kepuasan’. Ia mengkritik
Epikuros karena mengkaji kebenaran dari sisi kualitas atau macamnya, padahal
yang terpenting adalah mengkaji sisi kuantitas
dan ukurannya.[52]
Menurut Ibrahim, Bentham telah mengkaitkan kebaikan individu dengan
kebaikan masyarakat dengan penjelasannya bahwa mengejar kepuasan orang lain
merupakan sarana terbaik yang memungkinkan seorang individu untuk meraih bagian
kepuasan terbesar yang dimungkinkan.
Hal ini berarti manfaat individu terkait kuat dengan manfaat orang banyak
(umum), selama ia tidak mampu meraih apa yang bermanfaat baginya tanpa
berinteraksi dengan orang laindan bekerjasama dengan mereka. Altruisme
hanya berarti pengorbanan individu terhadap kepuasannya sendiri sekaligus untuk
meraih kepuasan terbesar untuk dirinya melalui tindakan melayani kemaslahatan
orang lain. Dengan katalain, keutamaan sosial adalah
keutamaan yang mengkompromikan antara
maslahah diri sendiri dan maslahah
orang lain dalam rangka meraih
kepuasan terbesar untuk diri
seseorang tertentu.[53]
Dengan demikian, poros utama aliran utilitarianisme adalah prinsip
realisasi tingkat kebahagiaan sebesar mungkin untuk jumlah manusia
sebanyak mungkin (akbarqist{ mumkinminal-sa’a@ dahli@ akbar‘adadmum kinminal-na@s). Yang penting bukan kebahagiaan individu,
akan tetapi ‘kemakmuran masyarakat’. Tidak diragukan
prinsip semacam ini mengandaikan kemungkinan “pencarian kebahagiaan”, tidak
untuk individu, akan tetapi untuk
masyarakat. Atas dasar itu, tidak
ada artinya kesadaran sosiaal dan hukum maupun keutamaan kecuali dengan mempertimbangkan ‘tujuan
kebahagiaan masyarakat ini’. Sebagai contoh, ‘negara’ hanya
merupakan sarana/ alat untuk melayani
‘kebahagiaan masyarakat’ atau ‘kemaslahatan umum’, yang merupakan tujuan tertinggi atau
tujuan final. Kebahagian masyarakat secara umum
(aghlabiyyah) merupakan
barometer untuk mengukur atau mengevaluasi ‘lembaga’ maupun ‘perundangan’ apa
pun. Dalam menangani persoalan apapun harus
selalu dipertanyakan ‘seberapa banyak manfaat atau faedahnya dengan
memandangnya sebagai alat atau sarana untuk meraih tujuan tersebut. Kalkulasi
teliti, tanpa salah merupakan sarana yang dapat digunakan untuk memahami
‘nilai-nilai moral’, membandingkannya dan memprioritaskannya satu sama lain.[54]
Meski pun pandangan
utilitarianisme memberikan perhatian besar pada
kebahagian umum atau kemakmuran masyarakat, namun, menurut Ibrahim, pada
dasarnya ia hanya
menyibukkan diri pada kajian ‘sarana’
yang mengantar pada tujuan ini.
Seolah-olah tujuan utama filsafat moral hanyalah melakukan aktifitas kalkulasi
untuk mengukur berbagai bentuk kepuasan,
ukurannya, jangka waktunya, jumlah orang yang menikmatinya dan
lain-lain. Tidak diragukan, percampuran jelas antara pemahaman ‘kebaikan’ dan pemahaman
‘manfaat’ adalah pendorong kaum utilitarian, yang dikomandani Bentham,
untuk mengalihkan seluruh kehidupan moral pada aktifitas tak terhenti di balik ‘sarana’ yang mengantar
pada ‘manfaat’. Atas dasar itu, boleh
jadi suatu ‘manfaat’ dikejar demi
manfaat itu sendiri, tanpa memikirkan ‘tujuan’
, yang mana manfaat itu seharusnya
ditujukan untuk tujuan tersebut. Hal ini
berarti filsafat ulititarianisme, tegas Ibrahim, mengalihkan kehidupan kepada
melulu hanya mengkaji ‘sarana’ tanpa
berkepentingan untuk menemukan ‘tujuan’ yang tersimpan di
balik ‘sarana’ tersebut.
Ketika seseorang melihat pada ‘sesuatu yang
bermanfaat’ pada dirinya
sendiri, maka seolah-olah ia pura-pura
lupa bahwa ‘yang bermanfaat’ tersebut hanya bermanfaat ketika dijadikan ukuran
untuk sesuatu lain yang memiliki nilai (
di dalam dirinya sendiri), yang mana manfaat tersebut merupakan
sarana atau alat menuju tujuan sesuatu yang
lain tersebut. Barangkali hal ini merupakan sebab manusia modern menjadi
‘budak manfaat’. Ia hanya
mengejar
kepuasan dan manfaat semata, tanpa
mempedulikan ‘tujuan’ yang hendak
dicapainya yang berada di balik
kelezatan dan manfaat tersebut. Tidak diragukan, manusia modern sangat
memerlukan kesadaran tentang nilai-nilai
(emotional value) , yaitu nilai-nilai yang terkandung
di balik berbagi hal.[55]
BAB IV
KESIMPULAN
erdasarkan tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh Utilitarianism pada abad ke 18 adalah David Hume (1711-1776), Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Dalam Utilitarianism lebih menonjolkan tendensi hedonistis. Sistem konsekuensialitas yang berorientasi pada tujuan perbuatan (Teleologis). Tujuan perbuatan moral adalah memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan bagi sebanyak orang. Konsep yang baik (good) adalah yang menyenangkan (pleasurable) dan yang buruk (bad) adalah yang menyakitkan (pain). Nilai utama Utilitarianisme adalah kebahagiaan atau kesenangan yang merupakan nilai intrinsik, nilai yang membantu pencapaian kebahagiaan atau menghindari penderitaan adalah nilai instrumental.
Menurut
David Hume, tindakan
baik akan membuat banyak orang lain menjadi bahagia. Tujuan utama hukum adalah
memajukan kepentingan para warga Negara
dan bukan memaksakan perintah-perintah
Tuhan atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.
Setiap manusia berada di bawah pemerintahan 2 penguasa yang
berdaulat : ketidaksenangan (pain) dan kesenangan (pleasure).
Menurut kodratnya, manusia menghindari
ketidaksenangan dan mencari
kesenangan. Kebahagiaan tercapai
jika ia
memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik
atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak
mungkin orang.
Moralitas
suatu perbuatan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya
untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, bukan kebahagiaan individu yang
egois sebagaimana dikemukakan Hedonisme Klasik. Jeremy
Bentham pada konsep Utilitarianisme berpendapat The greatest
happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah
orang terbesar). Prinsip utilitarianisme diterapkan secara kuantitatif.
Karena
kualitas kesenangan selalu sama. Dalam Utilitarianisme dikenal Kalkulus Kepuasan (the
hedonic calculus) untuk dapat menilai kualitas sebuah
kepuasan seseorang. Faktor-faktor yang menentukan banyak kepuasan dan
kepedihan yang timbul dari sebuah tindakan yaitu:
1. intensitas (intensity) dan lamanya (duration)
rasa puas atau sedih yang timbul darinya. Kepastian (certainty) dan
kedekatan (propinquity)
2. kesuburan (fecundity), kepuasan akan memproduk
kepuasan lainnya, dan kemurnian (purity).
3. jangkauan (extent) perasaan tersebut (kepuasan dan kepedihan yang mempengaruhi orang lain), jangka waktu dan bersih.
Menurut John Stuart Mill, Suatu tindakan harus dianggap
benar sejauh cenderung mendukung kebahagiaan. Moralitas suatu tindakan diukur , pertama, sejauh
mana diarahkan kepada kebahagiaan, dan kedua, kebahagiaan sendiri yg terdiri atas perasaan
senang dan kebebasan dari perasaan sakit. Manusia tidak
menginginkan kebahagiaan tetapi keutamaan (materi) sebagai sarana menuju
kebahagiaan. Mill juga memberikan kritikan kepada Bentham bahwa jaminan terhadap hak-hak
orang lain dan perlakuan adil merupakan prasyarat menuju sejahtera. Kualitasnya kebahagiaan
dipertimbangkan, karena ada kesenangan yang lebih tinggi dan lebih rendah mutunya. Kebahagiaan menjadi norma
etis adalah kebahagiaan semua orang yang
terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang
bertindak sebagai pelaku utama atau Everybody to count for one, nobody to count for more
than one. Kesenangan
spiritual dan persahabatan intelektual adalah lebih bernilai daripada kepuasan
fisik. Kenikmatan
bukan tujuan, akan tetapi sarana untuk meraih tujuan yang lebih tinggi. (Taufiq al-Tawil, Madhhab al-Manfa’ahal-‘Ammah)
Suatu perbuatan yang
mempunyai akibat buruk berpeluang lebih besar
dianggap secara etis bernilai buruk dan sebaliknya. Tindakan harus dinilai
benar atau salah hanya demi akibat- akibatnya (consequences). Mengukur akibat-akibatnya,
satu-satunya yang penting hanyalah jumlah kebahagiaan atau ketidak-bahagiaan
yang dihasilkan. Kesejahteraan setiap orang dianggap sama pentingnya
Beberapa
kelebihan dari aliran Utilitarianisme ini adalah:
1. Utilitarianisme menyediakan suatu rasionalitas dalam
mengambil tindakan maupun menilai tindakan.
2. Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral
3. Utilitarianisme memiliki nilai universal.
4. Utilitarinisme dapat digunakan untuk menilai Kebijakan
(A.Sony Keraf)
Beberapa
kekurangan dari aliran ini adalah:
1.
Utilitarianism tidak dapat digunakan pada aturan moral satu demi
satu, melainkan pada suatu sistem aturan moral sebagai keseluruhan dengan prinsip
kegunaan. (Ricard B. Brandt).
2.
Membiarkan diri larut dengan kenikmatan kadang-kadang akan
menggiring pada perilaku buruk.
3.
Utilitarianisme menyatakan bahwa setiap manusia akan berupaya
untuk mengunggulkan kenikmatannya masing-masing sehingga dikhawatirkan
akan merugikan kenikmatan orang lain yang dapat menganggu ketenangan dan stabilitas
keamanan.
4. Utilitarianisme adalah aliran
Epikuros yang telah melahirkan
banyak kerusakan moral (Mansur ‘Ali Rajab, Taamulat fi Falsafah al-Akhlaq)
5. Motivasi tindakan manusia pada akal, bukan pada mendapatkan pahala.
6. Menjadikan manusia bersikap statis dan tidak memiliki emosi karena memproduk kenikmatan
terbesar yang menghilangkan keindahan dan kesakralan keutamaan.(Ahmad Amin,Kitab al-Akhlaq).
7. Kemaslahatan komunitas bertumpu pada motivasi individual atau
kepentingan diri.
8. Kenikmatan dijadikan sebagai satu- satunya tujuan bagi
perilaku moral manusia dan tolok ukur untuk menimbangnya yang bersifat nisbi berbeda antara
satu orang dengan orang lainnya.
9. Utilitarianisme dengan manusia mengejar kepuasan dan
menghindari rasa sakit adalah egois bukan altruis.
10. Utilitarianisme tidak mengukur kualitas kebahagiaan
masing-masing orang.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq
Bentham,
An Intoduction to Principles of Morals and Legislation.
Dave
Robinson dan Christ Garratt, Mengenal Etika For Beginners (Bandung
: Mizan, 1998),
Frans Magnis Suseno, 13
Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-1.
International
Headquarters , Jeremy Bentham, The Encyclopedia Americana, Vol. 27
(Kanada, Grolier Incorporated, 1978.
James Rachels, Filsafat
Moral (Yogyakarta : Kanisius, 2004),
K. Bertens, Etika.
Keraf, Sony, A, Etika Bisnis : Tuntutan dan Relevansinya (Kanisius : Yogyakarta, 1998)
Mansur ‘Ali
Rajab, Taamulat fi Falsafah al-Akhla.
Muhyial-Din Ahmad Safi, Bain Akhlaq al-Qur’an waal-Akhlaq‘Indaal-Falasifah (Kairo: Maktabahal-Iman, 2003).
Nina Rosenstand, The Moral
of The Story : An Introduction to Ethics (New York : McGraw- Hill, 2005).
Philosopical Ethics : An
Introduction to Moral Philosophy’, ed. Tom L. Beauchamp, (Boston : MacGrawHill, 2001)
Richard Schoch, The
Secret Of Happiness (Jakarta : Hikmah, 2009),
Taufiqal-Tawil, Madhhabal-Manfa’ahal-‘Amm
The University Of Chicago ,
Jeremy Bentham, A New Survey Of Universal Knowledge : Encyclopaedia
Britannica, Vol. 3 (Chicago : William Benthon Publisher, 1965).
Zakariyya Ibrahim, Al-Mushkilatal-Khuluqiyyah
(Kairo:Maktabah Misr,t,th)