Oleh: H. Triyo Rachmadi, S.Kep., M.H.Kes.
Pembahasan “Politik Media dan Post-Truth” diuraikan dalam
tulisan ini. Sebuah kalimat, “Aktifkan kecurigaan tentang asal-usul post-truth.” Pernyataan itu dilontarkan
lantaran publik berusaha membawa pembahasan untuk lebih membidik isu di
belakang post-truth bukan sekadar
mempersoalkan post-truth itu sendiri.
Hal ini ditekankan karena selama ini banyak kesalahpahaman makna “truth” yang ada pada “post-truth”. Selama ini
banyak orang mengira post-truth sebagai
bentuk baru dari kebenaran. Namun, sejatinya post-truth tidak
berkaitan dengan kedudukan epistemik dari kebenaran. Post-truth adalah
persoalan politik. Maksudnya, politik kini tidak lagi diiringi dengan etika
politik dan hal ini menjadikan munculnya upaya kotor dalam berpolitik. Salah
satu munculnya ketiadaan etika politik adalah ketika kita temukan tidak
hidupnya suara oposisi. Problem pada post-truth diawali
ketika seseorang tidak mungkin berkonsensus dan pada titik inilah seseorang
tidak lagi memercayai kebijakan merupakan barang yang dihasilkan dari aktor
politik sebagai agen rasional.
Post-truth sebagai
paradigma baru memunculkan masalah pada politik. Masalah ini tentunya tidak
serta-merta dihasilkan oleh kehadiran post-truth. Akan tetapi
masalah muncul ketika ada lack of knowledge dari warga
negara, sehingga menjadi bahan untuk membawa banyak orang pada kondisi post-truth. Informasi yang
kita baca sejatinya perlu dibekali oleh fakta, tetapi ketika kita berbicara
fakta maka ada pembelaan melalui data-data yang seolah-olah identik dengan
kebenaran. “Selama ini orang tertipu oleh data, karena data dianggap
merepresentasikan kebenaran jadi hanya data yang mereka butuhkan untuk
memercayai bahwa hal itu benar, tetapi itulah post-truth, benar karena
yakin,”. Dalam memilah informasi, kita hanya membutuhkan ketahanan intelektual
dan hal ini tidak dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pembicaraan
orang Indonesia kebanyakan tidak bisa dibawa kepada ruang rasional sehingga
mereka menggunakan media sosial untuk menyalurkan kemarahannya. Sementara di
media sosial terdapat banyak produk post-truth seperti hoax, yang dihasilkan
dari kepentingan politik yang tidak mengacu pada etika politik. Stasiun
televisi di Indonesia dimiliki oleh tiga hingga empat orang. Informasi yang
beredar di televisi tergantung dari permintaan pemilik, hal ini membuat
hilangnya etika jurnalisme. Hoax bukan hanya
diproduksi dari suara oposisi, tetapi bisa juga diproduksi oleh pemerintah
dalam upaya mempertahankan kekuasaan.
Di musim tahun politik seperti sekarang, post-truth akan semakin
mudah menyerang orang-orang tanpa ketahanan intelektual. Media akan menggunakan post-truth sebagai alat
untuk promosi politik baik secara sehat maupun tidak. Kegelisahan akan
menurunnya kualitas pengetahuan melalui media menakutkan banyak orang, terutama
ketakutan akan masuk pada lingkar post-truth. Ketahanan
intelektual yang didasari oleh etika politik dapat digunakan untuk menghindari
post-truth. Sementara politik yang sehat dapat dimunculkan dengan kembali pada virtue dan truthfullness.
Published: 9 Mei 2020