Triyo Rachmadi
Tanggung
jawab negara dalam ketersediaan Alat Pelindung Diri, Insentif dan sumber daya
pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kesehatan di masa pandemi covid-19 merupakan
bentuk perwujudan dari kewajiban negara mencapai tujuan nasional yaitu
melindungi segenap Bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Tanggung jawab
negara menjamin hak dan keadilan bagi warga negara termasuk tenaga kesehatan
yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan di masa Pandemi COVID-19. Tenaga
kesehatan memiliki hak rasa aman dan penghargaan dari negara berkaitan dengan
faktor resiko tertularnya infeksi serta beban kerja yang tinggi di masa
Pandemi.
Tujuan
paper ini untuk mengetahui tanggung jawab negara dalam ketersediaan Alat Pelindung Diri,
Insentif dan sumber daya pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kesehatan studi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/ PPU-XVIII/ 2020). Selain itu untuk
mengetahui faktor-faktor pendorong dan faktor-faktor yang menghambat dalam tanggung
jawab negara dalam ketersediaan Alat Pelindung Diri, Insentif dan sumber daya
pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kesehatan.
Metode yang digunakan dalam membuat
paper ini adalah studi pustaka. Pendekatan teori yang digunakan adalah Teori
Politik Negara dari Georg Willhem Friedrich Hegel dan Teori Keadilan dari John
Rawls. Kebijakan negara yang rasional telah diupayakan dengan memberikan
anggaran di bidang kesehatan sebesar 87,55 triliun Rupiah, menerbitkan beberapa
peraturan dalam menangani COVID-19 dan implementasinya. Insentif bagi tenga
kesehatan diberikan bagi tenaga kesehatan yang menangani COVID-19 serta
santunan kematiannya. Negara telah mendirikan beberapa laboratorium pemeriksaan
khusus COVID-19 di beberapa Kabupaten dan Kota sebagai bentuk tanggung jawab
negara dalam mengupayakan sumber daya pemeriksaan.
Negara
kesejahteraan (welfare state) mendapatkan kesejahteraannya dengan cara
menjadikan hak setiap warga negara sebagai alasan utama dalam membuat kebijakan
negara. Salah satu wujud dari kesejahteraan masyarakat adalah hak atas
kesehatan, Kesehatan masyarakat adalah pilar pembangunan suatu bangsa dan salah
satu kebutuhan dasar manusia
Kata
Kunci: Tanggungjawab, Negara, Tenaga Kesehatan
ABSTRACT
State
Responsibility for The Availability of Self Protective Equipmnet, Incentives
and Health Examination Resources for Health Personnel in The Pandemic Time
COVID-19 Approach to State Political Law and Justice Theory (Study at Decision
of Constitution Court Number 36/ PPU-XVIII/ 2020)
Triyo
Rachmadi,
Law
Faculty, Doctoral Program Study, Universitas Islam Indonesia
The
responsibility of the state in the availibility of personal protective
equipment, incentives and health examnation resources for health workers during
the Pandemic of COVID-19 is a manifestation of the state’s obligation to
achieve national goals, namely protecting the entire Indonesia Nation and
splilling Indonesian blood. The responsibility of the state guarantees rights
and justice for citizens, including heakth workers who worked in health care
facilities during The COVID-19 Pandemic. Health workers have the right to feel
safe and respect from the state regarding the risk factors for contact
infection and the high workload during The Pandemic.
The
purpose of this Paper is to determine the state’s responsibility in the
availibility of personal protective equipmnt, incentives and health examination
resources for health workers in the study at decision of Constitusional Court
Number 36/ PPU-XVIII/ 2020). Apart from that, this is to determine the driving
factors and constraining factors in the state responsibility in the
availibility of personal protective equipment, incentives and health
examinatioan resources for health workers.
The
method used in making this paper is litertaire study. The theorical approach
used is Georg Wilhem Friedrich Hegel’s State Political Theory and John Rawls’s
Theory of Justice. A rational state policy has been pursued by providing a
budget in health sector of 87.55 trillion Rupiah, issuing several regulation in
deealing with COVID-19 and their implementation. Incentives for health care are
provided for health workers who handle COVID-19 as well as compenstion for
their deaths. The state has establish several COVID-19 special examination
laboratories in several district and cities as a form of state responsibility
in seeking examinaton resources.
The
welfare state gets its welfare by making the rights of every citizen as the
main reason for making state policies. One form of community welfare is the
right to health. Public health is a pillar of the development of a nation and
one of the basic humman needs.
Keywords:
responsibility, state, health workers.
A. Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
World
Health Organization (WHO) telah menetapkan
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi global pada Rabu, 11 Maret
2020. Penetapan tersebut didasarkan pada sebaran 118 ribu kasus yang
menjangkiti di 114 negara. Pandemi
COVID-19 telah menjadi isu global yang menimbulkan permasalahan yang komplek
pada masyarakat di semua aspek kehidupan baik kesehatan, pendidikan, sosial,
politik dan bidang lain. Dampak Pandemi ini memunculkan kepanikan, ketidak
pastian dan ketidak percayaan kepada pemerintah. Kebijakan pemerintah kembali
diuji dengan berbagai respon dalam masyarakat. Kebijakan Publik yang bertujuan
untuk menyelamatkan masyarakat dan mencegah penularan yang lebih luas akibat
Pandemi COVID-19 ini dipenuhi beberapa pertimbangan-pertimbangan terutama dari
segi ekonomi. Bila tidak segera ditangani, Pandemi ini akan menurunkan ekonomi
nasional dengan banyaknya pengangguran, menurunnya pendapatan masyarakat dan
menurunnya daya beli masyarakat.
Data jumlah penderita yang terjangkit COVID-19 menurut World Health Organization (WHO) per
tanggal 2 April 2021 pada 223 negara berjumlah 128.540.982 orang terkonfirmasi dan 1.523.179 orang
meninggal dunia. Sedangkan secara nasional, Data jumlah penderita COVID-19 di
Indonesia 1.517.854
kasus atau bertambah 6.142 kasus. 121.222 kasus merupakan kasus aktif dengan
penurunan 1.302 kasus aktif (8,7%) dengan kasus sembuh berjumlah 1.355.578
orang atau bertambah menjadi 7.248 kasus sembuh (88,5%), 41.054 meninggal
dengan penambahan 196 kasus meninggal atau 2,7%. Dari 72.794 spesimen yang
diperiksa di laboratorium terdapat 62.623 kasus suspek COVID-19. [1].
Dari data tersebut, perkembangan penularan dan penyebaran COVID-19 semakin
berubah-ubah. Hal ini akan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam kebijakan publik
terutama pemerintah dalam mencegah penularan COVID-19 ini. Perubahan strategi
yang diambil pemerintah ini menimbulkan ketidak pastian dan keraguan dalam
masyarakat. Data yang dirilis dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
pada tanggal 30 Desember 2021 menyebutkan bahwa terdapat 507 orang tenaga
kesehatan yang meninggal dunia dikarenakan menderita COVID-19. Dari jumlah
tersebut banyak dari tenaga kesehatan yang bekerja di sarana pelayanan
kesehatan baik yang bertugas pada lokasi tracing, tracking, treatment maupun
screening menderita COVID-19. Sama halnya seperti warga negara atau masyarakat
Indonesia yang lainnya bahwa kelompok tenaga kesehatan termasuk dalam warga
negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban secara konstitusional.
Dalam menjalankan tugas profesinya di masa Pandemi
COVID-19 pada sarana pelayanan kesehatan baik di institusi pemerintah maupun
swasta memerlukan beberapa perlengkapan Alat Pelindung Diri (APD) untuk
melindungi dirinya sendiri maupun orang lain dari penularan dan penyebaran
COVID-19. Selain memiliki rasa kekhawatiran, ketakutan dan kecemasan akibat
dampak yang ditimbulkan dari penularan penyakit ini yang akan menjangkiti
dirinya maupun keluarganya, tenaga kesehatan juga memiliki ketakutan akan
ancaman terhadap perlakuan diskriminasi terhadap dirinya oleh masyarakat di
sekitarnya. Rasa kekhawatiran ini menjadi tidak biasa pada masa Pandemi
COVID-19. Rasa kekhawatiran pada tenaga kesehatan ini terbukti setelah
diperoleh informasi bahwa terjadi keterbatasan jumlah APD di semua daerah di
Indonesia. Di satu sisi sebagai tenaga profesi berkewajiban bekerja sesuai
sumpah dan janji profesi di sisi lain bekerja tanpa memakai APD merupakan
ancaman bagi dirinya sendiri untuk tertular olah pasien lain.
Dalam kondisi masalah kesehatan yang biasa, tenaga
kesehatan telah diberikan imbal jasa berupa gaji oleh institusi sarana
pelayanan kesehatan sesuai peraturan yang berlaku tetapi dalam kondisi luar
biasa seperti Pandemi, tenaga kesehatan memerlukan energi yang ekstra dan beresiko
tinggi dalam menjalankan pekerjaan profesinya. Dalam kondisi Pandemi ini,
tenaga kesehatan memerlukan tambahan imbalan jasa yang layak seperti insentif
sebagai bentuk penghargaan terhadap pengabdiannya membantu negara dalam
mengatasi penyebaran COVID-19.
Di Masa Pandemi COVID-19, diperlukan langkah yang cepat
dari masing-masing komponen Sistem Kesehatan Nasional yang ada. Salah satu
komponen Sistem Kesehatan nasional itu adalah sumber daya termasuk sumber daya
pemeriksaan kesehatan seperti sarana pemeriksaan uji laboratorium COVID-19. Untuk
mengetahui seorang pasien menderita COVID-19 maka wajib diperiksa sampel di
laboratorium. Setelah diketahui hasil pemeriksaan maka akan dapat ditegakkan
diagnosa dan diambil keputusan treatment lebih lanjut. Treatment yang menjadi
alternatif yang efektif adalah karantina atau isolasi mandiri di rumah selama 2
minggu sesuai dengan masa inkubasi virus Corona sebagai penyebab COVID-19 dan
karantina atau isolasi di rumah sakit. Menurut rekomendasi WHO bahwa diperlukan
minimal 1000 pemeriksaan sampel setiap minggu penderita COVID-19 untuk
diperoleh hasil yang valid dari kegiatan tracing dan screening menjaring
penderita COVID-19. Berdasarkan rekomendasi WHO tersebut maka diperlukan laboratorium
yang kompeten di setiap Kabupaten dan Kota di Indonesia. Tenaga kesehatan yang
berada di fasilitas kesehatan tingkat pertama mengalami resiko tinggi terkena
COVID-19 karena fasilitas kesehatan tingkat pertama diberikan peran untuk
melakukan pemeriksaan pasien dan terduga COVID-19 secara aktif. Demi melindungi
tenaga kesehatan semua pemeriksaan terhadap pasien yang terduga COVID-19
dilekukan dengan metode pemeriksaan yang paling akurat dan rekam jejak
pemeriksaan kesehatan tersebut harus dapat diakses atau diketahui tenaga
kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Karena proses pemeriksaan
COVID-19 yang lama dan berbelit-belit sehingga memperoleh hasil pemeriksaan
akhir. Tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama sering terlambat
mengetahui bahwa pasien yang pernah diperiksa terkena COVID-19.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, diperlukan
ketersediaan APD, insentif dan sumber daya pemeriksaan bagi tenaga kesehatan
pada masa Pandemi ini. Hal ini menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhi
kebutuhan dalam mencegah penularan dan penyebaran COVID-19 yang telah
ditetapkan sebagai wabah bencana nasional. Tanggung jawab negara ini telah menjadi
tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yang berbunyi Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 27 ayat (2), pasal 28D ayat
(1), pasal 34 ayat (3), Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular pasal 9 ayat (1), Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Kekarantinaan Kesehatan pasal 6 dan Undang Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan pasal 26 ayat (2) dan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan pasal 4 sampai 8 tenaga kesehatan sebagai warga negara dan
pasal 14 sampai 20 dan pasal 36 sampai 41.
Pada tanggal 29 Juni 2020, Masyarakat Hukum Kesehatan
Indonesia (MHKI) mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi yang mempermasalahkan
tanggung jawab negara pada masa Pandemi COVID-19 dengan tidak memasukkan pada
Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Undang
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, MHKI
juga mempermasalahkan tanggung jawab negara selama masa Pandemi COVID-19 tidak
dirasakan keadilannya pada tenaga kesehatan yang bekerja pada sarana pelayanan
kesehatan dengan keterbatasan APD, bantuan insentif yang berbelit-belit
persyaratannya dan keterbatasan sumber daya pemeriksaan kesehatan. Ketersediaan
APD yang selama ini diberikan pemerintah hanya dipergunakan pada ruangan khusus
perawatan COVID-19 di rumah sakit sedangkan di Puskesmas, Klinik dan pelayanan
kesehatan di lapangan tidak diberikan sehingga tenaga kesehatan membeli atau
mengadakan sendiri dengan biaya sendiri.
B.
Perumusan Masalah
Kesehatan
adalah hak fundamental setiap manusia, karena itu setiap individu, keluarga,
dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya. Pemerintah
bertanggung jawab mengatur dan melindungi hak atas kesehatan masyarakat secara
optimal. Tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan hak atas kesehatan
diwujudkan dalam bentuk penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang layak,
cepat serta mudah diakses oleh masyarakat, sebagaimana wujud dari welfare
state yang dianut di dalam UUD 1945
Tenaga Kesehatan sebagai
garda terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan
berkontribusi dalam mencegah penularan serta penyebaran COVID-19 memiliki hak
dan keadilan yang harus dilindungi negara. Selain sebagai warga negara, tenaga
kesehatan dalam menjalankan profesinya beresiko tinggi terpapar infeksi dan
berisiko tinggi menularkan kepada sesama tenaga kesehatan. Hal ini diperlukan
tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Berdasarkan latar belakang
masalah tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana Tanggung Jawab Negara Dalam
Memenuhi Ketersediaan Alat Pelindung Diri, Insentif dan Sumber Daya Pemeriksaan
Kesehatan Bagi Tenaga Kesehatan?
2.
Bagaimana Teori Hukum menjelaskan Tanggung
Jawab Negara Dalam Memenuhi Ketersediaan Alat Pelindung Diri, Insentif dan
Sumber Daya Pemeriksaan Kesehatan Bagi Tenaga Kesehatan?
C.
Metodologi
Penelitian
ini menggunakan metode doktrinal. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui proses tanggung
jawab negara dalam memenuhi ketersediaan alat pelindung diri, insentif dan
sumber daya pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kesehatan. Sumber data yang diperoleh berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
36/ PPU-XVIII/2020.
D.
Pembahasan
Dalam Teori Hukum Politik Negara pada pemikiran Georg
Wilhem Friedrich Hegel bahwa situasi yang rasional adalah aktual dan yang
aktual menjadi rasional. Kebijakan negara yang memerlukan pemikiran rasional
menggunakan akal untuk membedakan aktualitas dalam realitas di masyarakat.
Beberapa institusi negara akan menjadi lebih rasional dan lebih aktual. Seperti
dicontohkan pada kebijakan dua negara dengan satu negara memiliki kebijakan
yang rasional dan menjadi kebijakan yang aktual daripada kebijakan negara yang
lainnya.[2]Kebijakan pemerintah telah
berupaya memenuhi tanggung jawabnya. Perundang undangan di Indonesia telah
mengatur tanggung jawab negara terhadap pelayanan kesehatan seperti
ketersediaan APD, bantuan insentif maupun sumber daya pemeriksaan kesehatan
yaitu pada Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 27
ayat (2), pasal 28D ayat (1), pasal 34 ayat (3), Undang Undang Nomor 4 Tahun
1984 tentang Wabah Penyakit Menular pasal 9 ayat (1), Undang Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Kekarantinaan Kesehatan pasal 6 dan Undang Undang Nomor 36
tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pasal 26 ayat (2) dan Undang Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 4 sampai 8 tenaga kesehatan sebagai warga
negara dan pasal 14 sampai 20 dan pasal 36 sampai 41. Sehingga bila dikaitakan
dengan teori Hegel maka dapat dikatakan kebijakan negara di Indonesia adalah
rasional dan aktual atau ada. Tanggung jawab negara terhadap pelayanan
kesehatan telah diatur secara terperinci dalam Undang Undang Nomor 36 tahun
2009 tentang Kesehatan pada pasal 171 ayat (1), (2) dan (3) yaitu:
(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan minimal
sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar
gaji.
(2)Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota
dialokasikan minimal 10 % (sepuluh persen) dari anggaran pendapatn dan belanja
daerah di luar gaji.
(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat(2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannyasekurang-kurangnya
2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja
Negaradan anggaran pendapatan dan belanja daerah.”
Berdasarkan
Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 171 ayat (1),
(2) dan (3) tersebut, negara memiliki upaya tanggung jawab dalam pelayanan
kesehatan dengan memberikan 5% dari anggaran APBN dan 10% dari anggaran APBD di
Kabupaten dan Kota.
Dalam
masa Pandemi COVID-19, negara melalui Presiden Republik Indonesia mengeluarkan
Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian
Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini sesuai dengan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 12 yaitu:
“Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang”
Karena Pandemi COVID-19 telah menjangkiti hampir sebagian
masyarakat Indonesia dan telah mengganggu pertumbuhan ekonomi dan kesehatan
maka Presiden dapat menyatakan situasi Pandemi COVID-19 sebagai keadaan bahaya.
Pada Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pasal 22 juga berbunyi:
“Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang”
Karena situasi pada Pandemi COVID-19
maka Presiden dapat menggunakan haknya untuk mengeluarkan Perppu yaitu Perppu
Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Dalam permohonan uji materi yang
disampaikan Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia pada Mahkamah Konstitusi
berdasarkan kajian tentang Tanggung Jawab Negara terhadap ketersediaan Alat
Pelindung Diri, insentif dan sumber daya pemeriksaan kesehatan Bagi Tenaga
Kesehatan tersebut sudah dinilai cukup dan memadai sehingga Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 12 November 2020 mengeluarkan Putusan Menolak Permohonan Pemohon
dalam mengganti kata ‘dapat” menjadi ‘wajib” pada Undang Undang Nomor 4 tahun
1984 pasal 9 ayat (1) yang berbunyi:
“Kepada
para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan penghargaan atas risiko yang
ditanggung dalam melaksanakan tugasnya”.
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, kata “dapat” bermakna bisa atau kalau ada, sedangkan
kata “wajib” mengandung arti tugas, tanggung jawab dan keharusan yang tidak
dapat ditunda. Kedua pengertian kata ini menjadi permasalahan pada kondisi
Pandemi ini.
Dalam memenuhi salah satu kewajiban negara (state
obligation) pada pelayanan kesehatan bagi warga negara. Sebagai profesi
tenaga kesehatan, dilaksanakan dengan kompetensi khusus dan kualifikasi
tertentu. Tingginya tuntutan profesionalitas dalam pelaksanaan tugas dari tenaga
kesehatan tidak dapat dilepaskan dari profesi dimaksud berkaitan langsung
dengan upaya membantu manusia dalam menghadapi kondisi tertentu yang dapat
mengancam hak hidup seseorang atau orang banyak. Membantu manusia dengan
harapan agar seseorang atau orang yang berada dalam ancaman kesehatan atau
kondisi kesehatan tertentu terancam agar dapat kembali ke kondisi normal.
Harapan demikian merupakan tuntutan terhadap profesi tertentu yang dalam
situasi tertentu sangat mungkin berada di luar keadaan normal, terutama dalam
kondisi pandemi melawan COVID-19. [3]
Dalam batas penalaran yang wajar,
tuntutan profesionalitas kerja tenaga
kesehatan akan semakin meningkat ketika terjadi
pandemi. Mereka tidak saja dituntut profesional dalam melaksanakan tugas
profesinya melainkan juga harus siap dengan segala risiko, termasuk resiko
mempertaruhkan hak hidup mereka yang dapat berujung kematian. Lebih jauh,
tuntutan kerja seorang dokter dan tenaga medis lainnya dalam kondisi pandemi
juga tidak normal dan beberapa fakta membuktikan di luar nalar tanggung jawab
manusia lainnya. Bahkan dalam kondisi tertentu jauh melampaui batas kemampuan
fisiknya sebagai seorang manusia biasa, sehingga ancaman kematian pun akan
turut menjadi sebagai risiko yang sulit dihindari. Resiko tersebut tidak dapat
diposisikan hanya sebatas risiko kerja, melainkan risiko menghadapi ancaman
kesehatan luar biasa yang mengancam siapa saja, termasuk manusia yang
berprofesi sebagai tenaga kesehatan.
Tingginya tuntutan profesionalitas kerja
bagi tenaga kesehatan dengan risiko
kerja yang tidak dapat diperkirakan yang dapat berujung kematian, negara harus
memastikan bahwa jaminan dalam segala bentuknya terhadap mereka. Dalam hal ini,
misalnya, sebuah simposium internasional tentang COVID-19 bertajuk “COVID-19 Responses and State Obligations Concerning
the Right to Health” (2020) menyatakan bahwa protecting the rightto
health is in itself also a hard-legal obligation of States. Dalam
posisi tersebut, merely protecting public health in a general sense is not
enough. Pendapat tersebut sejalan dengan standar kewajiban negara yang
diatur dalam The
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR),
yang secara ekplisit menyatakan bahwa States must realize the right to
health not only within existing resources but ‘to the maximum of its available
resources’.
Bahwa
berdasarkan landasan berpikir sebagaimana diuraikan di atas, berkenaan dengan
kata “dapat” dalam Pasal 9 ayat (1) Undang
Undang Nomor 4 Tahun 1984 apabila tidak
dimaknai sebagai “wajib” adalah bertentangan dengan konstitusi, in casu jaminan
dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.
PadaPasal
34 ayat (3) UUD 1945 menempatkan tanggung jawab penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak sebagai tanggung jawab negara.
Ketentuan dimaksud berkaitan
dengan ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang memberikan jaminan bahwa
setiap orang berhak memperoleh layanan kesehatan dari negara. Salah satu bentuk
konkret penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dimaksud adalah menyediakan
tenaga kesehatan yang profesional. Penyediaan tenaga kesehatan yang profesional
juga bersangkut paut dengan peningkatan sumberdaya manusia dan penghargaan yang
diberikan kepada tenaga-tenaga kesehatan yang profesional dimaksud. Penghargaan
tersebut dapat berupa penghargaan secara materi maupun berupa penghargaan
non-materi. Dalam konteks penghargaan secara materi, negara berkewajiban
menyediakan gaji atau pendapatan yang sesuai dengan tuntutan kerja profesional kepada
setiap tenaga kesehatan.Tidak
dapat dibantah, warga negara yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan telah memperoleh hak dasarnya seperti
gaji sebagai imbalan
dari pekerjaannya. Hanya saja, dalam menjalankan tugas negara menghadapi
situasi pandemi COVID-19,
bagi mereka yang berprofesi sebagai tenaga
kesehatan berada di garis terdepan dalam
menghadapinya, negara tidak cukup hanya menghargai dengan memposisikan bahwa mereka
telah digaji. Demikian juga penilaian bahwa risiko menghadapi pandemi sebagai
sebatas risiko kerja, juga tidak proporsional dalam menilai tugas tenaga kesehatan ketika berjuang
melawan pandemi. Pemahaman tersebut
merupakan sesuatu yang tidak adil atas tugas yang dibebankan kepada para
petugas tertentu dengan penghargaan yang mereka terima. Sebab, dengan tingkat
resiko yang sangat tinggi, termasuk risiko kematian,
menjadi tidak masuk akal jika hanya dihargai hanya dengan sebatas gaji standar
yang biasa diterima. Dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya guna
menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya di saat pandemi, negara
juga mesti menyediakan insentif yang setara dengan tingkat risiko yang dihadapi
setiap warga negara yang menjalankan tugas negara dalam perang menghadapi
pandemi. Diperlukan pengawasan yang
jelas dalam pemberian insentif kepada tenaga kesehatan yang bekerja menangani
COVID-19. Di beberapa kabupaten dan kota, insentif yang telah diterima oleh
tenaga kesehatan harus terpaksa dikembalikan ke Kas Daerah dikarenakan
kekurangan persyaratan administrasi dalam dokumen pertanggung jawabannya. Hal
ini menambah beban tenaga kesehatan, insentif yang diberikan kepada tenaga
kesehatan disertai persyaratan yang rumit dan sulit dipenuhi oleh tenaga
kesehatan.
Rumusan
norma Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984 yang mengatur
subjek khusus yang melaksanakan tugas untuk menanggulangi tidak dapat
diposisikan sebagai norma yang berlaku bagi semua orang terlibat dalam
memberikan pelayanan kesehatan di masa pandemi. Dalam hal ini, makna protecting
public health in a general sense is not enough tanpa diikuti dengan Obligation of States,
terutama dalam menghadapi situasi pandemi. Subjek khusus sebagai bentuk obligation
of States dimaksud lebih ditujukan dengan frasa “para petugas tertentu”
yang menjalankan tugas penanggulangan wabah meliputi, yaitu: penyelidikan
epidemiologis; pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita,
termasuk tindakan karantina; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab
penyakit; penanganan jenazah akibat wabah; penyuluhan kepada masyarakat; dan
upaya penanggulangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984.
Artinya, frasa a quo tidak ditujukan kepada semua petugas, melainkan
hanya kepada mereka yang terdampak langsung dalam menanggulangi wabah.
Ketika subjek yang dituju dalam norma a
quo adalah subjek tertentu yang terdampak langsung dalam menanggulangi
wabah, memahami kandungan norma Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984sebagai fakultatif
terhadap petugas terdampak adalah bentuk nyata rendahnya komitmen negara
memenuhi kewajiban yang dimaktubkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3)
UUD 1945. Sebagai pekerjaan yang dapat menimbulkan resiko yang dapat saja
mempertaruhkan nyawa, kebijakan berbentuk fakultatif atau diskresioner adalah
kebijakan yang tidak menghargai derajat kemanusiaan. Mestinya dengan tingkat
dan beban risiko yang dihadapi, kebijakan negara terhadap mereka yang terdampak
karena melaksanakan penanggulangan wabah, termasuk wabah pandemi Covid-19,
tidak dapat ditempatkan sebagai kebijakan yang bersifat pilihan dan harus
bersifat imperatif. Sifat imperatif ini merupakan konsekuensi dari tanggung
jawab negara dalam memenuhi kewajiban konstitusionalnya menyediakan pelayanan
kesehatan yang layak bagi warga negara. Sekalipun pemerintah telah merumuskan
berbagai kebijakan dalam menjalankan diskresi norma Pasal 9 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984dalam menghadapi pandemi COVID-19, harus tetap disadari bahwa
kebijakan tersebut lahir dari norma yang bersifat fakultatif, bukanlah dari
norma yang bersifat imperatif. Boleh jadi dan amat mungkin, dalam hal norma a
quo dirumuskan dengan konstruksi imperatif, para petugas tertentu yang
merasa terancam dengan dampak pandemi Covid-19 akan bekerja dalam suasana yang
jauh nyaman karena lebih terlindungi.
Merujuk
pengesahan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984,
yaitu pada tanggal 22 Juni 1984, yang telah telah melewati 36 tahun, tentu
tidak adaptif lagi terhadap perkembangan wabah penyakit menular serta tanggung
jawab negara terhadap jaminan terhadap pelayanan kesehatan. Bahkan, bila dikaji secara
seksama substansi Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984,
terminologiPandemi belum
dikenal sama sekali. Selain itu, perihal tanggung jawab negara, Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984belum
menyentuh semangat tanggung jawab negara dalam jaminan fasilitas pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaktubkan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD
1945. Tidak hanya itu, semangat International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) bahwa States
must realize the right to health not only within existing resources but ‘to the
maximum of its available resources’ yang diratifikasi Indonesia pada 23
Februari 2006 pun belum optimal termaktub dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1984terutama semangat
dalam frasa ‘to the maximum of its available resources’ tersebut.
Hak warga negara menurut Hegel adalah termasuk dalam
moralitas, tugas dan tanggung jawab, niat dan kesejahteraan, kebaikan dan hati
nurani.[4] Sebuah negara atau
masyarakat yang tidak mengenali adanya warga negara adalah negara yang
mengingkari keadilan, kegagalan pengakuan ini disebut sebagai ketidak adilan.
Dari beberapa penjelasan di atas, bila negara belum memenuhi tanggung jawabnya terhadap
tenaga kesehatan dalam ketersediaan APD, insentif dan sumber daya pemeriksaan
kesehatan bagi tenaga kesehatan maka negara dianggap gagal dan tidak mengakui
tenaga kesehatan sebagai warga negara serta mengingkari keadilan seperti dalam
peraturan perundang undangan yang telah dibuat.
Menurut John Rawls, Dalam Teori Keadilan (Theory of Justice) menyebutkan bahwa Hak
dasar warga negara dapat dikatakan layak bila setiap hak yang dijamin
dilindungi sampai tingkat ambang batas rasa nyaman warga negaranya.[5] Bila negara telah memenuhi
tanggung jawabnya dalam menjamin serta melindungi hak dasar warga negara
sehingga warga negara merasa aman dan nyaman maka tanggung jawab negara telah
dilaksanakan dengan baik. Dalam situasi Pandemi COVID-19 ini, negara tidak
hanya memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi tenaga kesehatan dan
masyarakat yang dilayaninya saja tetapi negara juga menjamin, memastikan dan
mengawasi jalur distribusi ketersediaan APD, insentif dan sumber daya
pemeriksaan kesehatan sehingga tujuan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan dapat tepat sasaran tanpa ada yang menghalangi.
Faktor-faktor
yang mendorong tanggung jawab negara dalam memenuhi ketersediaan alat pelindung
diri, insentif dan sumber daya pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kesehatan
adalah adanya telah ada ketentuan dalam peraturan perundang undangan yang
mengatur tanggung jawab negara dan adanya anggaran. Disisi lain, negara telah menerbitkan
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) pada tanggal 31 Maret 2020 dan Peraturan Menteri
Kesehatan Republlik Indonesia Nomor 9 tahun 2020 tentang Pedoman Pembatan
Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease
2019 (COVID-19)dengan akhir
Maret 2020 kemudian dibentuk Gugus Tugas COVIV-19 dibawah Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) karena Covid-19 dianggap sebagai bencana non
alam nasional. Pada
awal Juli Gugus Tugas dibubarkan dan diganti dengan Komite Nasional Penanggulangan
COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Indonesia yang memiliki 2 Satuan Tugas (satgas),
yaitu Satgas Penanggulangan COVID-19 dan Satgas Pemulihan Ekonomi.
Berdasarkan Undang Undang No.36 tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan, Petugas kesehatan di bedakan menjadi Tenaga
Kesehatan dan asisten tenaga kesehatan (Pasal 9). Selanjutnya pada Pasal 11
ayat (1) tenaga kesehatan dikelompokkan menjadi: a) tenaga medis; b. tenaga
psikologi klinis; c. tenaga keperawatan; d. tenaga kebidanan; e. tenaga
kefarmasian; f. tenaga kesehatan masyarakat; g. tenaga kesehatan lingkungan; h.
tenaga gizi; i. tenaga keterapian fisik; j. tenaga keteknisian medis k. tenaga teknik
biomedika; l. tenaga kesehatan tradisional; dan m. tenaga kesehatan lain.
Dalam
pemberian insentif Negara menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/MENKES/447/2020 tanggal 23 Juli 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor Hk.01.07/Menkes/392/2020 Tentang Pemberian Insentif Dan
Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan Yang Menangani Corona Virus Disease 2019
(Covid-19). Dalam penanganan Covid-19 di Bidang Kesehatan telah menyediakan anggaran untuk tahun 2020
sebesar Rp. 87,55 Triliun dengan
rincian:
a.
Sebesar Rp.75 T untuk Tambahan Belanja Stimulus,
b.
Sebesar Rp 9,05T untuk Insentif Perpajakan,
c.
Sebesar Rp 3,5T untuk gugus tugas Covid
19 (BNPB),
Pendanaan
untuk pemberian insentif dan santunan kematian untuk tenaga kesehatan yang
menangani pasien COVID-19 diutamakan bersumber dari refocussing kegiatan/realokasi
anggaran tahun 2020 yang dilakukan dengan:
a.
Beban anggaran untuk kegiatan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
dialokasikan melalui Kementerian Kesehatan RI.
b.
Beban anggaran untuk kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah dialokasikan melalui
pengalihan penggunaan dana transfer khusus bidang kesehatan dan/atau APBD.Negara
telah mendirikan beberapa laboratorium khusus COVID-19 di kabupaten dan kota.
Faktor-faktor yang menghambat Tanggung
Jawab Negara Memenuhi Ketersediaan Alat Pelindung Diri, Insentif dan Sumber
Daya Pemeriksaan Kesehatan Bagi Tenaga Kesehatan adalah belum adanya sistem
pengawasan yang optimal dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah yang
menjamin dan memastikan distribusi telah tepat sasaran kepada tenaga kesehatan.
Jumlah angka morbiditas penderita COVID-19 semakin meningkat dengan
keterbatasan tempat tidur di rumah sakit akibat belum dilaksanakannya protokol
kesehatan yang optimal di masyarakat. Ketersediaan APD yang masih terbatas
hanya diperuntukkan bagi tenaga kesehatan yang khusus menangani COVID-19 saja
sedangkan bagi tenaga kesehatan yang lain yang tidak menangani COVID-19 tidak
diberikan padahal dalam masa Pandemi COVID-19 semua tenaga kesehatan beresiko
terpapar infeksi COVID-19 di semua tempat. Pemberian insentif bagi tenaga
kesehatan yang menangani COVID-19 belum memenuhi rasa keadilan dengan dihitung
hanya 14 hari kerja dalam satu bulan dan persyaratan administrasi yang rumit.
Selain itu ada kewajiban mengembalikan bantuan insentif tersebut dikarenakan
ada ketimpangan persyaratan administrasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Belum adanya sumber daya pemeriksaan kesehatan COVID-19 yang merata di seluruh
Kabupaten dan Kota.
E.
Kesimpulan
Kekuasaan
yang dimiliki oleh negara demokrasi merupakan pemberian dari masyarakat. Negara
demokrasi hanya merupakan mandataris dari masyarakat, masyarakat menyerahkan
kekuasaan dan hak-haknya kepada negara demokrasi, supaya penguasa negara
demokrasi mempunyai wewenang untuk menjalankan tugasnya melindungi hak-hak yang
dimiliki oleh masyarakat agar masyarakat mencapai kesejahteraan. Negara
mempunyai tanggungjawab untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kenyamanan dalam
kehidupan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan, tujuan tersebut sama
dengan tujuan negara kesejahteraan (welfare state).
Negara
kesejahteraan (welfare state) mendapatkan kesejahteraannya dengan cara
menjadikan hak setiap warga negara sebagai alasan utama dalam membuat kebijakan
negara. Kesejahteraan sosial dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945, merupakan
pengejawantahan konsep negara kesejahteraan (welvaart staat atau welfare
state), negara turut serta secara aktif untuk kesejahteraan rakyatnya (welfare
state), atau dikenal dengan nama verzorgingsstaat, atau disebutnya sociale
rechsstaat (negara hukum sosial), negara dituntut dan bertanggung jawab
untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Hal
ini diwujudkan dengan tipologi tripatrit yang merupakan kerangka yang secara khusus
membedakan kewajiban negara untuk “menghormati”, “melindungi”, dan “memenuhi”
setiap hak asasi manusia.
Kewajiban
negara untuk menghormati (respect) adalah kewajiban negatif untuk tidak
bertindak atau untuk menahan diri, kewajiban untuk melindungi (protect)
adalah kewajiban positif untuk melindungi individu terhadap tindakan tertentu oleh pihak
ketiga, dan memenuhi (fulfill) adalah untuk menyediakan atau memudahkan
layanan tertentu bagi setiap warga.Salah satu wujud dari kesejahteraan
masyarakat adalah hak atas kesehatan, Kesehatan masyarakat adalah pilar
pembangunan suatu bangsa dan salah satu kebutuhan dasar manusia yang begitu
pentingnya. Dengan masuknya hak kesehatan ke dalam konstitusi, maka hak atas
kesehatan secara resmi merupakan hak hukum positif yang dilindungi oleh
pemerintah dan pemerintah wajib untuk memenuhi hak kesehatan warga negaranya
melalui usaha-usaha yang nyata dan konkrit. Falsafah dasar dari jaminan hak
atas kesehatan sebagai HAM merupakan raison d’etre kemartabatan manusia
(human dignity). Kesehatan adalah hak fundamental setiap manusia. Karena
itu setiap individu, keluarga maupun masyarakat berhak memperoleh perlindungan
terhadap kesehatannya, dan pemerintah bertanggung jawab mengatur dan melindungi
agar masyarakat terpenuhi hak hidup sehatnya.Tanggung
jawab negara memenuhi ketersediaan alat pelindung diri, insentif dan sumber
daya pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kesehatan merupakan kewajiban negara dalam
memberikan jaminan dan melindungi hak tenaga kesehatan sebagai warga negara
dalam menjalankan pekerjaan profesinya di masa Pandemi COVID-19.
F.
Daftar
Pustaka
Amelin, Fred, 1991, Kapita
Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Amir, Amri, 1997, Bunga
Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta;
Effendi, Nasrul, 1997,
Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi Kedua, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC;
Hegel, G.W.F., Baur, Michael, 2015, Key Consept, Routledge Taylor and Franch
Groups, London and New York;
Heidegger, Martin, Hegel’s Phenomenology Spirit, Indiana University Press,
Indianapolis, USA
Ishaq, 2009, Dasar-Dasar
Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika;
Pippin, Roberts, etc., 2004, Hegel on Ethics
and Politic, Cambridge University Press;
Manan, Bagir, Magar, Kuntana, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia;
Notoatmojo,
Soekidjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan,
Rineka Cipta, Jakarta;
Rahardjo,
Satjipto, 1986, Hukum dan Masyarakat,
Angkasa, Bandung;
Suantra, I Nengah dkk, 2017, Ilmu
Negara, Uwais Inspirasi Indonesia, Denpasar;
Pogge,
Thomas, 2007, John Rawls, His Life and Theory of Justice, Oxford University
Press, USA;
Warassih, Esmi, 2011, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Cetakan II, Semarang, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro;
Widodo, Joko, 2001, “Good Governance”: Telaah Dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desntralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia,
Surabaya;
Permenkes
RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka
Percepatan Penanganan Corona Virus Disease -19 (COVID-19);
Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang
Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular;
Undang
Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan;
Undang
Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan;
Undang
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas
Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang;
Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular;
Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam
Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka
Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan
Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan
Ekonomi Nasional;
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2020 tentang Perubahan Postur Dan Rincian Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2020;
Peraturan
Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2020 Tentang Perubahan Postur Dan Rincian Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2020;
Peraturan
Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) Dan Pemulihan Ekonomi Nasional;
Keputusan
Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19);
Keputusan
Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional;
Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 tanggal 12 Oktober 2010 tentang
Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya
Penganggulangannya;
Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/392/2020 tanggal 30 Juni 2020 tentang
Pemberian Insentif Dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan Yang Menangani Corona
Virus Disease 2019 (Covid-19);
Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/446/2020 tentang Petunjuk Teknis Klaim
Penggantian Biaya Pelayanan Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu Bagi
Rumah Sakit Yang Menyelenggarakan Pelayanan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19);
Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/447/2020 tanggal 23 Juli 2020 tentang
Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Hk.01.07/Menkes/392/2020
Tentang Pemberian Insentif Dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan Yang
Menangani Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 382 tahun 2020 tentang Protokol
Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan
dan Pengendalian Corona Disease -19 (COVID-19)
[1]Komite Penanganan COVID-19
dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Data Sebarab dan Situasi Virus COVID-19 di
Indonesia <https://covid19.go.id.> accessed 2 April 2021
[2]Hegel, G.W.
F., Key Concept, halaman 77.
[3]Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 36/ PPU-XVIII/ 2020 halaman 129
[4]Ibid,
halaman 82
[5]John Rawls,
His Life and Theory of Justice, hal. 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar