Tulisan ini merupakan rangkaian kesimpulan dari beberapa
pemberitaan di media massa maupun di media sosial. Dalam kondisi Pandemi
COVID-19 yang berawal di Bulan Maret 2020 sampai sekarang belum memberikan
kepastian kapan berakhirnya. Dalam masa Pandemi COVID-19 ini semua aspek dan
bidang diuji baik dari sisi pendidikan, sisi ekonomi, sisi politik sampai
menuju sisi kesehatan. Beberapa catatan menorehkan ada dalam trend jumlah
kematian tenaga kesehatan di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara dibandingkan
dengan negara lain yang hanya memperoleh persentase sebesar 1%. Data dari
Ikatan Dokter Indonesia merilis sampai Bulan Juni 2020 tenaga dokter yang
terkonfirmasi COVID-19 sebanyak 38 orang. Sedangkan dari data resmi Persatuan
Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada laman Covid19.PPNI per tanggal 4 Agustus
2020 sebanyak 221 perawat terkonfirmasi tanpa gejala, 737 perawat kontak erat,
kasus suspek berjumlah 67 orang, kasus positif COVID-19 berjumlah 197 perawat,
yang dirawat 217 perawat, 24 perawat sembuh dan 49 perawat meninggal dunia
akibat COVID-19. Dari informasi tersebut ditambahkan catatan tentang ditutupnya
beberapa fasilitas pelayanan kesehatan misalnya, Puskesmas, dikarenakan
beberapa tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya terpapar COVID-19 sehingga
mau tidak mau harus melakukan karantina mandiri dengan menghentikan
pelayanannya selama 14 hari seperti Puskesmas di wilayah Bantul dan di
Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo. Tetapi, ada beberapa Kabupaten dan Kota
yang tetap memberlakukan pelayanan kesehatan walaupun di dalamnya terdapat
tenaga kesehatan yang terkonfirmasi COVID-19. Pada protokol kesehatan
penanganan dan pencegahan penyebaran COVID-19 yang diterbitkan oleh Kementerian
Republik Indonesia disebutkan bahwa bila seseorang yang terkonfirmasi atau
kontak erat dengan orang yang terkonfirmasi COVID-17 diwajibkan untuk melakukan
karantina selama 14 hari. Dalam realitas, Protokol kesehatan tersebut belum
berlaku sepenuhnya bagi tenaga kesehatan karena masih dibanyak ditemui di
beberapa wilayah di Indonesia mempekerjakan tenaga kesehatan yang kontak erat
dengan rekan sejawatnya yang terkonfirmasi COVID-19.
Keadilan
Utilitarianisme
Dalam teori Keadilan fenomena ini dapat digambarkan dalam
situasi keadilan Utilitarianisme yang digagas oleh tokoh dunia bernama Jeremy
Bentham di abad 17 (1748 – 1832) dan Teori Keadilan Libertarianisme. Terminologi Utilitarianisme berasal dari Bahasa Latin utilis, yang
berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest
happiness theory). Dalam Keadilan Utilitarianisme, konsep keadilan hanya dapat diperoleh atau
dinikmati oleh banyaknya jumlah masyarakat dalam wilayah tersebut. Dengan
bahasa lain, konsep keadilan utilitarianisme ini merupakan keadilan yang mampu menghasilkan pleasure atau
total utility terbesar bagi masyarakat. Teori Keadilan Utilitarianisme ini sama dengan fenomena
di masa Pandemi ini dengan diterbitkannya Protokol Kesehatan dan Kebijakan
Publik lainnya yang bermanfaat dan berguna bagi sebagian besar masyarakat
tetapi tidak dapat dimanfaatkan oleh sebagian kecil atau segelintir kelompok
lain dalam masyarakat, dalam hal ini adalah kelompok kecil dalam tenaga
kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan dengan
kompetensi yang dimilikinya berusaha dengan sekuat tenaga memberikan pelayanan
kepada masyarakat di masa pandemi ini. Tenaga kesehatan yang awalnya pernah
disebutkan sebagai garda terdepan dalam penanganan COVID-19 ini akhirnya
menjadi garda terakhir setelah trend perlahan mengalami kenaikan dalam kurva
COVID-19 ini. Dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
selain kompetensi, persyaratan dan perizinan yang diwajibkan dalam memberikan
pelayanan kesehatan juga memiliki hak dan kewajiban sebagai tenaga kesehatan
lainnya. Protokol Kesehatan banyak yang belum diberlakukan kepada tenaga
kesehatan yang bekerja sementara kewajiban tugas memberikan pelayanan kesehatan
tetap harus dijalankan. Belum lagi adanya pemberitaan di media tentang kasus
penolakan jenazah tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19 oleh masyarakat di
sekitar sehingga harus dimakamkan di tempat pemakaman lain, Kemudian
stigmatisasi oleh warga sekitar termasuk keluarganya yang menolak tenaga kesehatan untuk pulang ke rumah sampai ada kebijakan dari Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan untuk menyewa hotel berbintang bagi tenaga kesehatan yang tidak dapat pulang ke rumahnya. Beberapa gambaran peristiwa tersebut mencerminkan betapa dilematisnya keadilan yang harus diterima oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam penanganan COVID-19.
Keadilan dari tidak tersentuhnya protocol kesehatan sampai pada keadilan perlakuan dari masyarakat sekitar yang harus diterimanya.
Keadilan
Libertarianisme
Dalam Konsep keadilan Libertarianisme
yang digagas oleh tokoh dunia bernama Friedman pada tahun 1912 – 2006) yang
menganggap keadilan yang hakiki adalah keadilan yang dapat dirasakan manfaatnya
oleh masing-masing individu. Jadi konsep keadilan Libertarianisme ini bertolak belakang
dengan konsep keadilan Utilitarianisme tadi yang dapat dirasakan oleh sebagian besar
masyarakat. Terminologi Libertarianisme berasal
dari Bahasa Latin yang berarti liber
atau bebas merupakan klasifikasi filosofi politik yang
menjunjung tinggi kebebasan sebagai focus utama dan sebagai tujuan. Konsep ini berusaha
untuk memaksimalkan otonomi dan
kebebasan menggunakan hak dalam memilih, menekankan kebebasan politik, asosiasi
sukarela dan keutamaan penilaian individu. Dalam konsep keadilan Libertarianisme
ini, keadilan akan dirasakan sebagai kebahagiaan bagi setiap individu yang
mendapatkannya. Jadi, setiap individu memiliki rasa keadilannya sendiri-sendiri
dan relative bagi masing-masingnya. Arti relatif di sini adalah setiap individu
memiliki rasa keadilan yang berbeda-beda. Dalam masa Pandemi COVID-19 ini,
justru konsep keadilan Libertarianisme ada pada kelompok tenaga kesehatan yang
bekerja menangani COVID-19. Pada kelompok tenaga kesehatan ini merupakan kelompok
kecil dibandingkan dengan seluruh masyarakat atau seluruh pasien yang
ditanganinya. Dalam kelompok kecil ini, masing-masing tenaga kesehatan memiliki
rasa kebahagiannya sendiri terkait keadilan yang diperolehnya. Tenaga kesehatan
yang satu belum tentu sama dengan keadilan yang diperoleh oleh tenaga kesehatan
yang lain. Tenaga kesehatan yang bekerja pada lingkungan
dengan resiko tinggi terpapar beberapa infeksi terutama COVID-19 memerlukan
keadilan dalam melindungi haknya pribadi. Hak dalam arti sesuatu yang diterima
oleh individu yaitu pada tenaga kesehatan dapat berupa hak memperoleh jaminan
keamanan dan keselamatannya terkait pekerjaannya. Jaminan keamanan dan
keselamatan itu seperti tersedianya Alat Pelindung Diri (APD) yang cukup dan
layak, tersedianya asupan gizi yang cukup bagi tenaga kesehatan dan yang paling
utama adalah jaminan kesehatan apabila dirinya dan keluarganya telah terpapar COVID-19.
Kita pernah mendengar dan mengetahui di saat Pandemi COVID-19 pada awal Bulan
Maret yang lalu, begitu paniknya beberapa fasilitas kesehatan dan
tenagakesehatan yang bekerja di dalamnya dikarenakan sangat minimnya APD dan
tidak layaknya APD akibatnya APD terpaksa dipakai berulang. Sementara banyaknya
pasien yang terpapar masuk dan dirawat di Rumah Sakit. Saat itu, jaminan keamanan dan keselamatan tenaga saja
sangat terancam dan hak memperoleh keadilan jaminan tersebut hamper tidak
diperolehnya. Seiring berjalannya waktu Pandemi, banyak pihak dan masyarakat
yang memberikan donasinya berupa APD dan makanan bergizi kepada tenaga
kesehatan di fasilitas sarana pelayanan kesehatan. Dengan Pandemi COVID-19 ini,
standar, anggaran maupun pedoman dalam sarana kesehatan diuji, yang selama ini
dianggap berkualitas dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
harus dirombak total karena dianggap tidak menggambarkan pelayanan kesehatan
yang baik untuk masyarakat. Menurut dr. Andani Eka Putra, M,Sc. yang merupakan Kepala Laboratorium Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit
Infeksi Universitas Andalas, Padang dan Direksi Rumah Sakit Universitas
Andalas, Padang dalam penjelasannya di sebuah media televisi swasta
menyatakan bahwa selama ini banyak masyarakat yang gagal memahami dalam membaca
data jumlah pasien dan tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19. Selamaini,
dalam membaca data hanya melihat jumlah orang yang terkonfirmasi tanpa melihat jumlah
testing dan tracing yang dilakukan. Pemerintah di daerah Kabupaten dan Kota
sering menganggap bila jumlah orang yang terkonfirmasi sedikit berarti upaya menekan
COVID-19 telah berhasil, padahal jumlah testing dan tracingnya sangat sedikit.
Berdasarkan standar testing COVID-19 dari World
Health Organization (WHO), Testing pemeriksaan laboratorium dengan metode
Swab minimal dilakukan 1000 sampel per hari. Bila belum mencapai jumlah tersebut
berarti jumlah pasien terkonfirmasi yang ditemukan belum menggambarkan situasi
yang sebenarnya di daerah. Selain itu, lama waktu pemeriksaan minimal satu hari
sehingga bias langsung dilakukan treatment.
Communicative
Rasional Act
Dari Konsep keadilan Utilitarinisme dan Libertarianisme tersebut, ada solusi pemecahan masalah dalam menyelesaikan keadilan tenaga kesehatan di Masa Pandemi COVID-19 ini yaitu dengan memakai Konsep Teori Kritis yang digagas oleh tokoh dunia Jurgen Habermas dengan metode Communicative Rasional Act yaitu metode memberikan komunikasi dan konsensus baru pada beberapa pihak untuk memperbaiki standar, prosedur dan peraturan yang telah dibuat sebelumnya. Beberapa pihak disini diartikan pada unsur pemerintah atau state dan unsur masyarakat atau tenaga kesehatan. Lawan dari konsep Teori Kritis metode ini adalah Purpose Rasional Act yang dengan asas kepastian hukum menerapkan standar, prosedur dan peraturan yang telah dibuat tanpa melihat respon, hak-hak dan dampak yang diakibatkan dari penerapan peraturan tersebut di masyarakat. Communicative Rasional Act ini dibuat untuk mencegah konflik diantara dua pihak sehingga keadilan bagi seluruh komponen dalam masyarakat. Dalam hal keadilan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan disamping kewajibannya memberikan asuhan kesehatan bagi masyarakat juga diperhatikan hak-hak dan jaminan keamanan serta keselamatannya. Pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 327 Tahun 2020 tentang Penetapan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Akibat Kerja Sebagai Penyakit Akibat Kerja Yang Spesifik Pada Pekerjaan Tertentu dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) Nomor 278 Tahun 2020 tentang Pemberian bantuan Insentiv dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), sebenarnya dapat menjadi Communicative Rasional Act dalam menyelesaikan keadilan bagi tenaga kesehatan tetapi perlu ditambahkan juga turunan dari petunjuk teknisnya yang memudahkan para tenaga kesehatan memperoleh hak dan jaminan keamanannya. Yang paling penting adalah dalam memberikan hak-hak kepada para tenaga kesehatan tidak dibatasi pada jumlah tenaga kesehatan tetapi juga keseluruhan tenaga kesehatan yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam menangani COVID-19. Penerapan protokol kesehatan pada para tenaga kesehatan yang terkonfirmasi positif juga perlu dikaji dan dibahas ulang sehingga Communicative Rasional Act dapat menjadi jalan tengah bagi pemerintah dan para tenaga kesehatan sehingga keadilan bagi semua dapat terwujud.
*) Triyo Rachmadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar