Oleh: H. Triyo Rachmadi, S.Kep.
Ketika
mempertanyakan tentang apa (hakikat)
hukum itu, sebenarnya juga sudah masuk pada ranah filsafat hukum. Pertanyaan
tersebut sebenarnya juga dapat dijawab oleh ilmu hukum, akan tetapi jawaban
tersebut ternyata tidak memuaskan. Hal ini antara lain dapat berpijak dari
pendapat Van Apeldoorn yang
antara lain menyatakan bahwa ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak,
karena ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka[1].
Ia tidak melihat
hukum, ia hanya melihat apa yang dapat
dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat
dilihat, yang tersembunyi di dalamnya, dengan demikian kaidah-kidah hukum
sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangan ilmu hukumNorma (kaidah)
hukum tidak termasuk pada ranah kenyataan (Sein), tetapi berada pada
dunia nilai (Sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia
penyelidikan ilmu hukum.
Utrecht: “Filsafat
Hukum memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah hukum itu
sebenarnya? (persoalan: adanya dan tujuan hukum). Apakah sebabnya maka kita
mentaati hukum? (persoalan: berlakunya hukum). Apakah keadilan yang menjadi
ukuran untuk baik buruknya hukum itu? (persoalan: keadilan hukum). Inilah
pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum. Akan tetapi
bagi orang banyak tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya
melihat hukum sebagai suatu gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai suatu “gegebenheit”
belaka. Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata “ethisch
wardeoordeel”.
Ruang lingkup
Filsafat Hukum antara lain dapat ditilik dari perumusan pengertian tentang
Filsafat Hukum. Mencermati adanya berbagai perumusan yang variatif maka
tidaklah dapat dikatakan bahwa ruang lingkup Filsafat Hukum bersifat baku dan stagnant,
namun sebaliknya luwes dan berkembang. Namun demikian titik pangkalnya
tetap sama yakni tentang hakikat hukum yang paling mendalam atau hakiki.
Perkembangan
terletak pada hakikat hukum yang dapat dilihat dari berbagai perspektif antara
lain tentang tujuan hukum, keadilan, dasar mengikatnya hukum, atau mengapa
hukum ditaati dan sebagainya. Perkembangan ruang lingkup Filsafat Hukum
dapatlah ditengarai dengan pokok pikiran bahwa ruang lingkup Filsafat Hukum
sudah bergeser pada batasan ruang lingkup yang dibuat atau disepakati sebagai
masalah Filsafat Hukum oleh para filsuf masa lampau. Misalnya masalah dasar
yang menjadi perhatian filsuf masa lampau terhdap Filsafat Hukum terbatas pada
tujuan hukum (terutama masalah keadilan), hubungan hukum alam dan hukum
positif, hubungan negara dan hukum, dan sebagainya.
Pada masa kini
objek kajian atau ruang lingkup kajian Filsafat Hukum tidak hanya masalah
tujuan hukum saja, tetapi setiap permasalahan yang mendasar sifatnya yang
berkaitan dengan masalah hukum. Dengan kata lain bahwa Filsafat Hukum sekarang
tidak lagi Filsafat Hukumnya para ahli filsafat seperti di masa-masa lampau,
melainkan merupakan hasil pemikiran pula para ahli hukum (teoritisi maupun
praktisi) yang dalam tugas sehari-harinya banyak menghadapi permasalahan yang
menyangkut keadilan sosial di dalam masyarakat
Berkaitan dengan
hal tersebut Friedmann
menyatakan sebagai berikut.“Before the nineteenth century, legal theory was essentially a by product of philosophy,
religion, ethics, or politic. The great legal thinkers were primarily
philoshopers, churhmen, politicians. The decisive shift from the philpshoper’s
or politician’s to the lawyer’s legal philosophy is of fairly recent date. It
follows period of great developments in juristic research, technique and
professional training. The new era of legal philosophy arises mainly from the
confrontation of the professional lawyer, in his legal work, with problems of
social justice”
Socrates
yang melakukan dialog dengan Thrasymachus
(Sofinsft) berbendapat bahwa
ketika mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan
tidak berhak, jangan diserahkan semata-mata kepada orang perorangan atau kepada
mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim, tetapi hendaknya dicari
ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat,
melainkan keadilan itu hendaknya berlaku bagi seluruh masyarakat.
Plato juga
sudah membahas hampir semua masalah yang tercakup dalam Filsafat Hukum. Baginya
keadilan (justice), adalah tindakan yang benar, tidak dapat
diidentifikasikan dengan hanya kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah
suatu ciri sifat manusia yang mengkoordinasi dan membatasi pelbagai elemen dari
manusia terhadap lingkungannya agar memungkinkan manusia dalam keutuhannya
berfungsi dengan baik.
Plato
juga berpendapat bahwa hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought,
logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia menolak anggapan bahwa
otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang
memerintah (governing power).
Aristoteles tidak pernah mendefinisikan hukum secara
formal. Ia membahas hukum dalam berbagai konteks. Dengan cara yang lain Aristoteles mengatakan bahwa “Hukum
adalah suatu jenis ketertiban dan hukum yang baik adalah ketertiban yang baik,
akal yang tidak dipengaruhi oleh nafsu,
Aristoteles
juga menolak pandangan kaum Sofis
bahwa hukum hanyalah konfensi. Namun demikian
ia juga mengakui bahwa seringkali hukum hanyalah merupakan ekspresi dari
kemauan sesuatu kelas khusus dan menekankan peranan kelas menengah sebagai
faktor stabilisasi.
Dalam dunia pemikiran terhadap hukum, pada zaman ini
menimbulkan pula adanya pendapat bahwa rasio manusia tidak lagi dapat dilihat
sebagai suatu penjelmaan dari rasio Tuhan. Rasio manusia terlepas dari
ketertiban Ketuhanan. Dan rasio manusia yang berdiri sendiri ini merupakan
sumber satu-satunya dari hukum. Unsur logika
manusia merupakan unsur penting dalam pembentukan hukum.
Dalam hal ini
dibedakan 4 (empat) jenis hukum yaitu, pertama, Lex aeterna (hukum abadi, eternal law), suatu ekspresi
peraturan alam semesta secara rasional dari Tuhan; kedua, Lex divina (hukum ilahi, divine
law) yang membimbing manusia menuju tujuan supranaturalnya, hukum Tuhan diwahyukan
melalui kitab suci; ketiga, Lex
naturalis (hukum alam, natural law), membimbing manusia
manusia menuju tujuan alamiahnya, hasil partisipasi manusia dalam bentuk
kosmik; keempat,Lex human
(hukum manusia, human law), mengatur hubungan antara manusia dalam suatu
masyarakat tertentu dalam kerangka tuntutan-tuntutan khusus dalam masyarakat
tersebut (sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan).
BEBERAPA DEFINISI:
THOMAS KUHN:
“…Recognized scientific achievements that for a time provide model
problems and solutions to a community of practitioners”
LIEK WILARDJO:
“Sebagai model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya unuk
menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa
serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan”
ANGKASA:
“Pandangan Fundamental Dari Suatu Komunitas Ilmuwan Tentang Model Yang
Menunjukkan Pokok Persoalan Yang Mendasar, Teori Beserta Metode Pemecahannya“
Menunjukkan paradigma tertentu yang mendominasi ilmu pada waktu tertentu.
Sebelum adanya paradigma ini didahului dengan aktivitas yang terpisah-pisah dan
tidak terorganisir yang mengawali pembentukan suatu ilmu (pra-paradigmatik)
Bertolak dari gagasan Kuhn tentang paradigma dalam konteks perkembangan
ilmu seperti tersebut di atas, maka berikut ini dipaparkan paradigma (ilmu)
hukum, yang tampaknya juga berperan
dalam perkembangan hukum. Bermula dari gagasan tentang hukum alam yang
mendapatkan tantangan dari pandangan hukum yang kemudian (paradigma hukum alam
rasional), ilmu hukum kemudian telah berkembang dalam bentuk revolusi sains
yang khas.
Namun terdapat perbedaan dengan paradigma yang terdapat pada ilmu alam
(eksak), dimana kehadiran paradigma baru cenderung akan menumbangkan paradigma
lama. Dalam paradigma ilmu sosial (termasuk ilmu hukum) kehadiran suatu
paradigma baru di hadapan paradigma lama tidak selalu menjadi sebab tumbangnya
paradigma lama. Paradigma yang ada hanya saling bersaing, dan berimplikasi pada saling menguat, atau melemah.
Hukum alam memberikan dasar moral terhadap hukum, sesuatu yang tidak
mungkin dipisahkan dari hukum selama hukum diterapkan terhadap manusia. Potensi
hukum alam ini mengakibatkan hukum alam senantiasa tampil memenuhi kebutuhan
zaman manakala kehidupan hukum membutuhkan pertimbangan-pertimbangan moral dan
etika. Implikasinya hukum alam menjelma dalam konstitusi dan hukum-hukum
negara.
Paradigma Hukum Historis yang
berpokok pangkal pada Volksgeist tidak identik bahwa jiwa bangsa tiap
warganegara dari bangsa itu menghasilkn hukum. Merupakan sumber hukum adalah
jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu yang
menghasilkan hukum positif. Hal itu menurut
Savigny tidak terjadi dengan menggunakan akal secara sadar, akan tetapi
tumbuh dan berkembang di dalam kesadaran bangsa yang tidak dapat dilihat dengan
panca indera.
Oleh Bentham, teori itu secara analogis diterapkannya pada bidang hukum.
Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh
penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika
akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan
sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk, jika
penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya
memperbesar penderitaan.
Dengan demikian, paradigma
utilitarianis merupakan paradigma yang meletakkan dasar-dasar ekonomi
bagi pemikiran hukum. Prinsip utama pemikiran mereka adalah mengenai tujuan dan
evaluasi hukum.Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi
sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan
berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum.
Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan
pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.
Perbincangan tentang keadilan rasanya merupakan suatu kewajiban ketika
berbicara tentang filsafat hukum, mengingat salah satu tujuan hukum adalah
keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum
Memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat
beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian keadilan.
Namun untuk memahami tentang makna
keadilan tidaklah semudah membaca teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para
pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam tataran filosofis yang
perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam.
Penganut paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan dg
prinsip keadilan, shg dikenal antara lain Stoisisme norma hkm alam primer yg
bersifat umum menyatakan:Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya
(unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem
laedere)”. Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentuk
an oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam.
Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan hukum.
Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan ini
sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur kepastian hukum.
Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum jus, summa injuria; summa lex,
summa crux. Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras
akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya.
Dalam paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dilihat secara luas.
Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesauatu adil atau tidak adalah seberapa
besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa
yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif
ekonomi.”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar