STIMULAN SUSUNAN SARAF PUSAT
Oleh : Triyo Rachmadi,S.Kep.
I. TINJAUAN UMUM
Bab ini merangkan dua golongan obat yang bekerja terutama pada susunan saraf pusat (SSP). Golongan pertama yaitu stimulan psikomotor, menimbulkan eksitasi dan euforia, mengurangi perasaan lelah dan meningkatkan aktivitas motorik. Kelompok kedua, obat-obat psikomotomimetik atau halusinogen, menimbulkan perubahan mendasar dalam pola pemikiran dan perasaan, dan sedikit berpengaruh pada sambungan otak dan sumsum tulang belakang.
|
|
|
|
| |||
| |||
|
|
· Amfetamin
· Kafein
· Kokain
· Metilfenidat
· Nikotin
· Teobromin
· Teofilin
Ringkasan Stimulan SSP
II. STIMULAN PSIKOMOTOR
A. Metilxantin
Metilxantin termasuk teofilin yang terdapat dalam daun teh, teobromin dalam coklat dan kafein. Kafein, stimulan yang paling banyak digunakan di dunia, terdapat dengan kadar tinggi dalam kopi, dan juga dalam teh, minuman kola, permen coklat dan cocoa.
1) Mekanisme kerja : Metilxantin dapat bekerja melalui berbagai mekanisme, translokasi kalsium ekstraseluler, meningkatkan siklik adenosin monofosfat (cAMP) dan siklik guanosin monofosfat (cGMP) dengan akibat penghambatan fosfodiesterase dan reseptor adenosin.
2) Kerja
a) Sistem saraf pusat : kafein yang terdapat dalam satu sampai dua cangkir kopi (100 sampai 200 mg) dapat menyebabkan penurunan rasa letih dan meningkatkan kesiagaan mental akibat rangsangan pada korteks dan daerah lain di otak. Konsumsi 1,5 gram kafein (12 sampai 15 cangkir kopi) menimbulkan ansietas dan gemetar. Medula spinalis hanya dapat dipacu kafein dalam dosis yang sangat tinggi (2-5 g)
b) Sistem Kardiovaskular : kafein dosis tinggi bersifat inotropik dan kronotropik pada jantung. (Catatan : peningkatan kontraktilitas dapat berbahaya pada pasien dengan anginapektoris. Percepatan denyut jantung dapat memacu kontraksi ventrikel yang prematur pada orang lainnya).
c) Fungsi diuretik : kafein bekerja sebagai diuretika ringan yang meningkatkan produksi natrium, klorida dan kalium urin.
d) Mukosa lambung : karena semua metilxantin memacu sekresi asam hidroklorat (HCI) mukosa lambung, penderita tukak lambung seharusnya dilarang mendapatkan minuman yang mengandung metilxantin.
3) Penggunaan dalam terapi : kafein dan derivatnya melemaskan otot polos bronkiolus. Sebelumnya teofilin merupakan terapi asama, dan sekarang sebagian besar telah digantikan oleh b-agonis dan kortikosteroid.
4) Farmakokinetik : Metilxantin per oral mudah diabsorbsi. Kafein tersebar luas ke seluruh tubuh termasuk otak. Obat dapat melewati plasenta ke janin dan disekresikan ke dalam ASI. Semua metilxantin dimetabolisme dalam hati dan metabolitnya kemudian dikeluarkan dalam urin.
5) Efek samping : kafein dosis sedang menyebabkan insomnia, ansietas dan agitasi. Dosis tinggi diperlukan untuk memerlihatkan toksisitas berupa muntah dan konvulsi. Dosis letal sekitar 10 g untuk kafein (kira-kira 100 cangkir kopi) yang menimbulkan aritmia jantung; kematian karena kafein sangat tidak mungkin. Letargi, iritabel dan sakit kepala terjadi pada pengguna yang secara rutin minum lebih dari 600 mg kopi per hari (sekitar 6 cankir kopi/hari) dan kemudian mendadak berhenti.
B. Nikotin
Nikotin adalah zat aktif dalam tembakau. Meskipun obat ini sekarang tidak lagi digunakan dalam terapi (kecuali dalam terapi penghentian merokok) nikotin tetap penting karena nomor dua sesudah kafein digunakan paling banyak sebagai stimulan SSP dan kedua dari alkohol sebagai obat yang paling banyak disalahgunakan. Kombinasi dengan ter dan karbon monoksida yang ditemukan dalam asap rokok, nikotin merupakan faktor risiko serius untuk penyakit paru dan kardiovaskular, pelbagai kanker dan penyakit lainnya.
1. Mekanisme kerja : Pada dosis rendah, nikotin menyebabkan stimulasi ganglion dengan depolarisasi. Pada dosis tinggi, nikotin menyebabkan penghambatan ganglionik. Reseptor nikotini terdapat dalam SSP tempat kerja serupa terjadi.
2. Kerja :
a. SSP : nikotin sangat larut dalam lipid dan dengan mudah melewati sawar otak darah. Dengan merokok atau memberikan dosis nikotin yang rendah akan menyebabkan euforia ringan dan meningkatkan kesadaran, serta relaksasi dan memperbaiki atensi, daya belajar, menyelesaikan masalah dan waktu reaksi. Nikotin dosis tinggi menyebabkan paralisis pernafasan pusat dan hipotensi hebat karena paralisis medula.
b. Efek perifer : efek perifer nikotin cukup kompleks. Stimulasi ganglion simpatik dan medula adrenal meningkatkan tekanan darah dan nadi. Penggunaan tembakau berbahaya pada pasien hipertensi. Banyak pasien dengan penyakit vaskular perifer mengalami eksaserbasi gejala setelah merokok. Sebagai contoh, vasokonstriksi akibat nikotin dapat menurunkan alirah darah koroner, mempengaruhi pasien angina. Stimulasi ganglia parasimpatik juga meningkatkan aktivitas motorik pencernaan. Pada dosis tinggi, tekanan darah turun dan aktivitas saluran pencernaan dan otot kandung kemih berhenti akibat penghambatan nikotin pada ganglia parasimpatik.
3. Farmakokinetik : Nikotin sangat larut lipid. Akibatnya absorbsi mudah terjadi pada mukosa mulut, paru, mukosa pencernaan dan kulit. Nikotin melewati plasenta dan dikeluarkan dalam air susu ibu yang menyusui. Rokok umumnya mengandung 6-8 mg nikotin; dosis letal akut adalah 60 mg. Lebih dari 90% nikotin diisap dari asap yang diabsorbsi. Bersihan nikotin menyangkut metabolisme dalam paru dan hati, dan eksresi urin. Toleransi terhadap efek toksik nikotin terjadi cepat, sering dalam hari-hari setelah penggunaan dimulai.
4. Efek samping : efek nikotin pada SSP termasuk iritasi dan tremor. Nikotin dapat juga menyebabkan kram pencernaan, diare dan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Selain itu, merokok meningkatkan metabolisme beberapa obat. (Catatan : belum diketahui yang mana dari 3.000 komponen dalam asap rokok berperan dalam fenomena ini meskipun benzopyren juga tersangkut).
5. Sindrom putus obat : Seperti dengan obat lain dalam golongan ini, nikotin merupakan substansi adiktif; ketergantungan fisik pada nikotin terjadi cepat dan hebat. Penghentian ditandai dengan iritabel, ansietas, gelisah, sulit konsentrasi, sakit kepala dan tidak bisa tidur. Nafsu makan terganggu dan sakit perut sering terjadi. (Catatan : Program penghentian rokok yang menyatukan terapi farmakologi dan perilaku paling berhasil menolong orang untuk berhenti merokok. Patch transdermal dan permen karet yang mengandung nikotin telah menunjukkan pengurangan gejala putus nikotin dan menolong perokok menghentikan rokok. Sebagai contoh, konsentrasi nikotin dalam darah yang diperoleh dari permen karet adalah setengah dari kadar puncak yang diobservasi dengan merokok.
C. Kokain
Kokain adalah obat yang sangat adiktif, tidak mahal, mudah diperoleh, yang sekarang disalahgunakan setiap hari oleh lebih dari 3 juta penduduk di AS.
1. Mekanisme kerja : Mekanisme kerja utama efek kokain di pusat ataupun perifer adalah menghambat ambilan balik norepinefrin, serotonin dan dopamin kembali ke terminal presinaptik tempat transmiter tersebut dilepaskan. Penghambatan ini memperkuat dan memperpanjang kerja katekolamin pada SSP dan susunan saraf perifer. Sebagian, pemanjangan efek dopaminergik paling banyak terjadi pada sistem yang membawa kenikmatan dalam otak (sistem limbik), menghasilkan rasa gembira yang berlebihan akibat pengaruh kokain. Penggunaan kronik akan menghabiskan dopamin. Kekosongan ini akan menimbulkan siklus visius, ingin mendapatkan kokain yang akan menghilangkan depresi berat untuk sementara.
2. Kerja :
a. SSP : Efek kokain pada tingkah laku merupakan akibat dari rangsangan kuat pada korteks dan sambungan otak. Kokain meningkatkan kesadaran mental dan memberikan perasaan sehat, dan euforia yang serupa dengan yang disebabkan oleh amfetamin. Seperti amfetamin, kokain dapat menimbulkan halusinasi, delusi dan paranoid. Kokain memacu aktivitas motorik dan pada dosis tinggi menyebabkan tremor dan bangkitan kejang yang diikuti depresi pernapasan dan vasomotor.
b. Sistim sarf simpatik : Di perifer, kokain memperkuat kerja norepinefrin dan menghasilkan sindrom ”melawan atau lari” (fight or flight) yang khas untuk stimulasi adrenergik. Ini ada hubungannya dengan takikardia, hipertensi, dilatasi pupil dan vasokonstriksi perifer.
3. Penggunaan dalam terapi : kokain bekerja sebagai anestetik lokal yang merupakan kegunaan kokain dalam terapi secara rasional; kokain diberikan setempat sebagai anestetik lokal selama tindakan bedah mata, telinga, hidung dan tenggorokan. Kerja anestetik lokal kokain ini disebabkan hambatan saluran natrium yang diaktifkan oleh voltase, suatu interaksi dengan saluran kalium menambah kemampuan kokain untuk menyebabkan aritmia jantung. (Catatan : kokain adalah satu-satunya anestesi lokal yang menyebabkan vasokonstriksi. Efek ini menyebabkan nekrosis dan perforasi pada septum hidung yang kelihatan pada orang-orang yang mengendus tepung kokain secara kronis).
4. Farmakokinetik : kokain digunakan sendiri dengan mengunyah, mengendus dengan hidung, merokok dan suntikan intravena. Efek puncak terjadi setelah 15-20 menit sehabis mengendus tepung kokain dan menurun setelah 1-1,5 jam. Efek yang cepat tetapi berjangka pendek diperoleh setelah suntikan intravena kokain atau merokok bentuk basa bebas (“crack”). Karena terjadinya efek sangat cepat, kemungkinan takar lajak dan ketergantungan paling besar dengan suntikan intravena dan mengisap crack.
5. Efek samping
a. Ansietas : respons toksik atas pemasukan kokain dapat mempercepat reaksi ansietas termasuk hipertensi, takikardia, berkeringat dan paranoid.
b. Depresi : seperti obat stimulan lain, stimulan kokain pada SSP diikuti oleh periode depresi mental. Pecantu yang menghentikan pemakaian kokain memperlihatkan depresi emosional dan fisik serta agitasi.
c. Penyakit jantung : kokain dapat memacu terjaidnya kejang dan aritmia jantung yang fatal. Diazepam intravena barangkali diperlukan untuk mengobati kejang akibat kokain propranolol untuk aritmia jantung.
D. Amfetamin
Amfetamin menunjukkan efek neurologi dan klinik yang amat mirip dengan yang terjadi pada kokain.
1. Mekanisme kerja : seperti halnya dengan kokain, efek amfetamin pada SSP dan SSP (perifer) bersifat tidak langsung; artinya tergantung pada peningkatan kadar transmiter pada ruang sinap. Amfetamin memberikan efek ini karena melepaskan depot intraselular katekolamin. Karena amfetamin juga menghambat monoamin oksidase (MAO), kadar katekolamin yang tinggi mudah dilepaskan ke dalam ruang sinaps. Meskipun ada perbedaan mekanisme kerja, efek amfetamin pada tingkah laku sama dengan kokain.
2. Efek :
a. Susunan saraf pusat : penyebab utama efek amfetamin barangkali karena pelepasan dopamin bukan norepinefrin. Amfetamin memacu sumbu serebrospinalis keseluruhan, korteks, batang otak (sambungan otak) dan medula. Ini meningkatkan kesiagaan, berkurangnya keletihan, menekan nafsu makan dan insomnia. Pada dosis tinggi dapat terjadi kejang. Karena efek stimulan pada SSP, amfetamin dan derivatnya digunakan dalam terapi depresi, hiperaktivitas pada anak, narkolepsi dan pengatur nafsu makan.
b. Susunan saraf simpatik : selain kerjanya pada SSP, amfetamin mempengaruhi sistem adrenergik, memacu reseptor secara tidak langsung melalui pelepasan norepinefrin.
3. Penggunaan dalam terapi : Faktor-faktor yang membatasi penggunaan amfetamin dalam terapi termasuk ketergantungan psikologik dan fisiologik yang sama dengan kokain, dan terjadinya toleransi sampai efek euforia dan anoreksia dengan penggunaan kronis. (Catatan : toleransi yang rendah terhadap efek toksin SSP (misalnya kejang) dapat terjadi).
a. Sindrom kurang atensi : beberapa anak bersifat hiperkinetik dan kurang mampu terlibat dalam suatu aktivitas untuk lebih dari hanya beberapa menit. Amfetamin dan terakhir derivat amfetamin, metilfenidat, menghilangkan beberapa masalah tingkah laku yang ada hubungannya dengan sindrom ini, dan mengurangi hiperkinesia yang diperlihatkan anak-anak tersebut. Atensinya diperpanjang menyebabkan mereka berfungsi lebih baik di lingkungan sekolahnya.
b. Narkolepsi : metilfenidat digunakan untuk pengobatan narkolepsi, suatu penyakit dengan kinginan tidur yang luar biasa.
4. farmakokinetika : Amfetamin diabsorbsi sempurna dalam saluran pencernaan, dimetabolisme hati dan dikeluarkan dalam urine. Penyalahgunaan amfetamin sering menggunakan obat dengan suntikan intravena atau merokok.
PENEKANAN SUSUNAN SARAF PUSAT
OBAT-OBAT ANSIOLITIK DAN HIPNOTIK
Oleh : Drs. Muji Pramono, M.Si, Apt.
I. TINJAUAN UMUM
Ansietas adalah suatu ketegangan yang tidak menyenangkan, rasa takut, gelisah, rasa takut yang mungkin timbul dari penyebab yang tidak diketahui. Keadaan ansietas ini merupakan gangguan mental yang sering dijumpai. Gejala ansietas berap serupa dengan takut (seperti takikardia, berkeringat, gemetar, palpitasi) dan aktivasi simpatik. Episode ansietas ringan merupakan pegnalaman hidup yang biasa dan tidak memerlukan pengobatan. Tetapi jika gejala ansietas cukup berat, kronis, mengganggu aktivitas sehari-hari, perlu diobati dengan obat anti-ansietas (kadang-kadang disebut ansiolitik atau tranquilizer minor) dan/atau bentuk lain terapi psikologik/tingkah laku. Karena semua obat anti ansietas menyebabkan sedasi, obat yang sama dalam klinik sering berguna sebagai ansiolitik dan hipnotik (menyebabkan tidur).
| |
|
· Alpazolam
· Klordiazepoksid
· Klonazepam
· Klorazepat
· Diazepam
· Lorazepam
· Quazepam
· Midazolam
· Estazolam
· Flurazepam
· Temazepam
· Triazolam
| |
|
· Buspiron
· Hidroksizin
· Zolpidem
Ringkasan Obat-obatan Hipnotik dan Ansiolitik
| |
|
· Flumazenil
| |
|
· Amobarbital
· Fenobarbital
· Pentobarbital
· Sekobarbital
· Tlopental
| |
|
· Antihistamin
· Kloralhidrat
· Etanol
Ringkasan Obat-obatan Hipnotik dan Ansiolitik
II. BENZODIAZEPIN
Benzodiazepin merupakan ansiolitik yang paling banyak digunakan. Obat ini telah menggantikan barbiturat dan meprobamat dalam pengobatan ansietas karena Benzodiazepin lebih efektif dan aman. Pada waktu ini, terdapat sekitar 20 derivat Benzodiazepin.
A. Cara kerja
Pengikatan GABA (sam gama aminobutirat) ke reseptornya pada membran sel akan membuka saluran klorida, meningkatkan efek konduksi klorida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan pembentukan kerja-potensial. Benzodiazepin terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari membran sel, yang terpisah tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor Benzodiazepin terdapat hanya pada SSP dan lokasinya sejajar dengan neuron GABA. Pengikatan Benzodiazepin memacu afinitas reseptor GABA untuk neurotransmiter yang bersangkutan, sehingga saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron (Catatan : Benzodiazepin dan GABA secara bersama-sama akan meningkatkan afinitas terhadap sisi ikatannya tanpa perubahan jumlah total sisi tersebut). Efek klinik berbagai Benzodiazepin tergantung pada afinitas ikatan obat masing-masing pada kompleks saluran ion, yaitu kompleks GABA reseptor dan klorida.
B. Efek
Benzodiazepin bukan antipsikotik atau analgetik dan tidak mempengaruhi SSA. Semua Benzodiazepin memperlihatkan efek berikut :
1. Menurunkan ansietas : pada dosis rendah, Benzodiazepin bersifat ansiolitik. Diperkirakan dengan menghambat secara selektif saluran neuron pada sistem limbik otak.
2. Bersifat sedatif dan hipnotik : semua Benzodiazepin yang digunakan untuk mengobati ansietas juga mempunyai efek sedatif. Pada dosis yang lebih tinggi, Benzodiazepin tertentu menimbulkan hipnotis (tidur yang terjadinya secara artifisial).
3. Antikonvulsan : beberapa Benzodiazepin bersifat antikonvulsan dan digunakan untuk pengobatan epilepsi dan gangguan kejang lainnya.
4. Pelemas otot : Benzodiazepin melemaskan otot skelet yang spastik, barangkali dengan cara meningkatkan inhibisi presinaptik dalam sumsum tulang.
C. Penggunaan dalam terapi
Beberapa Benzodiazepin mempunyai perbedaan kecil dalam kemampuan-nya sebagai ansiolitik, antikonvulsan dan sedatif. Lama kerja hanya berbeda diantara kelompok obat sehingga pertimbangan farmakokinetik kadang-kadang perlu ketika memilih obat.
1. Gangguan ansietas : Benzodiazepin digunakan untuk pengobatan ansietas yang menyertai depresi dan skizofren. Obat-obat ini jangan digunakan untuk stress normal dalam kehidupan sehari-hari, tetapi hanya untuk ansietas yang lebih hebat, berkepanjangan dan kemudian obat dihentikan setelah penggunaan jangka pendek karena mempunyai potensi adiksi. Obat yang bekerja panjang seperti diazepam digunakan untuk pasien dengan ansietas yang memerlukan pengobatan jangka lama. Efek antiansietas Benzodiazepin kurang menimbulkan toleransi dibanding efek sedatif dan hipnotik. Untuk gangguan panik, digunakan alprazolam sebagai terapi jangka pendek dan panjang, meskipun dapat menyebabkan gejala putus obat pada sekitar 30% penderita.
2. Gangguan otot : diazepam digunakan untuk pengobatan spasme otot skelet seperti terjadi pada kaku otot dan dalam mengobati spastik akibat gangguan degeneratif seperti pada multipel sklerosis dan palsi serebral.
3. Kejang : klonazepam berguna dalam pengobatan epilepsi sedangkan diazepam adalah obat pilihan untuk menghilangkan kejang epileptik grand mal dan status epileptikus. Kordiazepam, klorazepat, diazepam dan oksazepam digunakan untuk pengobatan akut putus alkohol.
4. Gangguan tidur : tidak semua Benzodiazepin digunakan sebagai obat tidur, meskipun semua mempunyai efek sedatif dan penenang. Tiga Benzodiazepin yang paling banyak digunakan untuk gangguan tidur adalah flurazepam yang bekerja lama, temazepam kerja menengah dan triazolam kerja singkat.
a. Flurazepam : Benzodiazepin yang kerja panjang ini sangat mengurangi waktu induksi tidur, jumlah bangun dan dapat meningkatkan lama tidur. Flurazepam mempunyai efek jangka panjang dan menyebabkan insomnia rebound ringan. Untuk pengobatan jangka panjang, efektivitasnya mantap selama 4 minggu. Flurazepam dan metabolit aktif mempunyai waktu paruh sekitar 85 jam, yang dapat menyebabkan mengantuk siang hari dan penumpukan obat.
b. Temazepam : obat ini berguna pada pasien yang sering bangun. Efek sedatif paling tinggi terjadi 2-3 jam setelah minum obat dan karenanya perlu diberikan beberapa jam sebelum tidur.
c. Triazolam : Benzodiazepin ini mempunyai masa kerja yang relatif singkat dan digunakan untuk memacu tidur pada pasien dengan insomnia berulang. Temazepam digunakan untuk insomnia dalam bentuk tidak dapat tidur nyenyak, triazolam efektif dalam mengobati individu yang mengalami kesulitan tidur. Toleransi biasanya terjadi setelah beberapa hari dan waktu putus obat sering menimbulkan insomnia ulangan (rebound), sehingga pasien minta resep kembali. Dengan demikian, obat ini akan bermanfaat bila digunakan secara berkala bukan setiap hari. Umumnya hipnotika harus diberikan dalam waktu terbatas, biasanya kurang dari 2-4 minggu.
D. Famakokinetik
1. Absorbsi dan distribusi : Benzodiazepin bersifat lipofilik dan diabsorbsi secara cepat dan sempurna setelah pemberian oral dan didistribusikan ke seluruh tubuh.
2. Lama kerja : waktu paruh Benzodiazepin penting secara klinis karena lama kerja dapat menentukan penggunaan dalam terapi. Benzodiazepin dibagi atas kelompok kerja jangka pendek, sedang dan panjang. Obat jangka panjang membentuk metabolit aktif dengan waktu paruh panjang.
3. Nasib : kebanyakan Benzodiazepin termasuk klordiazepksid dan diazepam dimetabolisme oleh sistem metabolik mikrosomal hati menjadi senyawa yang juga aktif. Untuk Benzodiazepin ini, waktu paruh menunjukkan kerja kombinasi dari obat asli dan metabolitnya. Benzodiazepin dikeluarkan dalam urine sebagai metabolit glukuronat atau metabolit oksidasi.
E. Ketergantungan
Ketergantungan psikologik dan fisik dari Benzodiazepin dapat terjadi jika dosis tinggi obat diberikan dalam jangka panjang. Penghentian mendadak dapat menimbulkan gejala putus obat, termasuk bingung, ansietas, agitasi, gelisah, insomnia dan stres. Karena waktu paruh panjang dari beberapa Benzodiazepin, gejala putus obat dapat tidak terjadi sampai beberapa hari setelah penghentian terapi. Benzodiazepin dengan waktu paruh pengeluaran pendek, seperti triazolam, memacu reaksi putus obat yang lebih mendadak dan hebat dibanding yang disebabkan obat-obat yang lambat dikeluarkan seperti flurazepam.
F. Efek samping
1. Mengantuk dan bingung : efek ini merupakan dua efek samping Benzodiazepin yang paling sering. Ataksia terjadi pada dosis tinggi dan menghambat aktivtas yang memerlukan koordinasi motorik halus seperti mengendarai mobil. Gangguan kognitif (penurunan daya ingat jangka panjang dan penerimaan pengetahuan baru) dapat terjadi dengan menggunakan Benzodiazepin. Triazolam, Benzodiazepin yang paling cepat dikeluarkan, sering menunjukkan pengembangan toleransi yang cepat, insomnia subuh dan ansietas siang hari disertai amnesia dan bingung.
2. Perhatian : perlu kewaspadaan jika menggunakan Benzodiazepin untuk pasien yang mengalami gangguan hati. Obat ini dapat memperkuat alkohol dan depresan SSP lain. Namun, Benzodiazepin tidak berbahaya dibandingkan obat ansiolitik dan hipnotik lain. Takar layak letal terjadi jika depresan pusat seperti alkohol juga digunakan bersamaan.
III. Obat-obat Ansiolitik dan Hipnotik lain
A. Zolpidem
Meskipun hipnotika zolpidem bukan Benzodiazepin, obat ini bekerja pada perangkat famili reseptor Benzodiazepin. Zolpidem tidak mempunyai sifat antikonvulsan atau pelemas otot. Tidak menimbulkan gejala putus obat, menimbulkan insomnia rebound minimal dan toleransi ringan pada penggunaan lama. Zolpidem cepat diabsorbsi dalam pencernaan, mempunyai onset cepat dan eliminasi waktu paruh pendek (sekitar 3 jam). Efek nonklinik zolpidem termasuk mimpi buruk, agitasi, sakit kepala, gangguan cerna, pusing dan mengantuk siang hari. Meskipun zolpidem mempunyai keuntungan yang besar dibanding Benzodiazepin, pengalaman klinik dari obat tersebut masih terbatas.
B. Buspiron
Buspiron berguna dalam pengobatan gangguan ansietas umum dan efeknya sama dengan Benzodiazepin. Buspiron bekerja melalui mediasi reseptor serotonin (5-HT1A) meskipun reseptor lain mungkin juga terlibat karena buspiron menunjukkan afinitas untuk reseptor dopamin DA2 dan reseptor serotonin 5-HT2. Cara kerja berbeda dengan Benzodiazepin. Buspiron bukan sebagai antikonvulsan atau pelemas otot seperti Benzodiazepin dan menyebabkan sedasi minimal. Frekuensi efek samping rendah, efek paling sering adalah sakit kepala, pusing, gelisah dan ringan kepala. Sedasi dan disfungsi psikomotor dan kognitif minimal dan dependensi jarang. Onset kerja buspiron lambat.
C. Hidroksizin
Hidroksizin merupakan antihistamin dengan aktivitas antiemetik. Tendensi habituasi rendah, berguna untuk pasien ansietas yang mempunyai riwayat penyalah gunaan obat. Juga digunakan untuk sedasi sebelum prosedur klinik gigi atau operasi.
IV. Antagonis Benzodiazepin
Flumazenil merupakan antagonis reseptor GABA yang dapat (mengembalikan efek Benzodiazepin secara cepat) Obat hanya dapat diberikan secara intravena. Efek terjadi cepat dan singkat dengan waktu paruh kira-kira satu jam. Pemberian berulang mungkin diperlukan untuk mempertahankan Benzodiazepin jangka panjang. Pemberian flumazenil memudahkan terjadinya kembali efek putus obat pada pasien yang pernah mengalami ketergantungan obat atau menyebabkan kejang jika Benzodiazepin digunakan untuk mengontrol kejang. Pusing, mual, muntah dan agitasi adalah efek samping yang sering terjadi.
V. Barbiturat
Dulu barbiturat digunakan sebagai obat penenang pasien atau untuk menidurkan dan mempertahankannya. Sekarang sebagian besar telah digantikan oleh Benzodiazepin, sebab barbiturat menyebabkan toleransi, enzim metabolik obat, dependensi fisik dan gejala putus obat yang hebat. Paling mengerikan dapat menyebabkan koma dalam dosis toksik. Barbiturat tertentu seperti tiopental, karena bekerja sangat singkat, masih digunakan sebagai induksi anestesia.
A. Cara kerja
Barbiturat barangkali mengganggu transpor natrium dan kalium melewati membran sel. Ini mengakibatkan inhibisi aktivitas sistem retikular mesensefalik. Transmisi polisinaptik SSP dihambat. Barbiturat juga meningkatkan fungsi GABA memasukkan klorida ke dalam neuron, meskipun obatnya tidak terikat pada reseptor benzodiazepin.
B. Kerja
Penggolongan barbiturat disesuaikan dengan lama kerja. Misalnya tiopental yang bekerja dalam beberapa detik berfungsi hanya kl. 30 menit, digunakan untuk induksi intravena anestesia. Sebaliknya fenobarbital yang lama kerja lebih dari satu hari digunakan dalam pengobatan kejang. Pentobarbital, sekobarbital dan amobarbital adalah barbiturat kerja pendek, yang efektif sebagai sedati dan hipnotik.
1. Depresi SSP : pada dosis rendah, barbiturat menghasilkan sedasi (efek menyenangkan, mengurangi eksitasi). Pada dosis tinggi, obat menyebabkan hipnosis, diikuti oleh anestesia (kehilangan rasa atau sensasi) dan akhirnya koma dan mati. Jadi, semua tingkat depresi SSP mungkin terjadi, tergantung pada dosis. Barbiturat tidak meningkatkan ambang nyeri dan tidak mempunyai sifat analgetik. Bahkan dapat memperberat nyeri.
2. Depresi pernapasan : barbiturat menekan respons hipnotik dan kemoreseptor terhadap CO2 dan overdosis diikuti oleh depresi pernapasan dan kematian.
3. Induksi enzim : barbiturat memacu enzim hati mikrosomal P-450. Karena itu, pemberian barbiturat jangka panjang akan mengurangi efek beberapa obat yang metabolismenya tergantung pada enzim P-450 sehingga terjadi penurunann konsentrasi.
C. Penggunaan dalam terapi
1. Anestesia : pemilihan dalam pengunaan barbiturat sangat dipengaruhi oleh lama kerja yang diinginkan. Barbiturat yang bekerja sangat pendek seperti tiopental, digunakan secara intravena untuk mendapatkan anestesia.
2. Antikonvulsan : Fenobarbital digunakan untuk menanggulangi kejang tonik-klonik, status epileptikus dan eklamsi. Fenobarbital dianggap sebagai obat pilihan dalam pengobatan kejang berulang pada anak. Namun fenobarbital dapat menekan kemampuan kognitif anak dan karena itu penggunaannya harus hati-hati. Fenobarbital mempunyai aktivitas antikonvulsi yang spesifik yang berbeda dengan depresi SSP non spesifik.
3. Ansietas : barbiturat telah digunakan sebagai sedati ringan dalam pengobatan ansietas, tensi saraf dan insomnia. Sebagian besar fungsi ini telah diganti oleh Benzodiazepin.
D. Farmakokinetik
Barbiturat diabsorbsi oral dan beredar luas ke seluruh tubuh. Obat tersebar dalam tubuh dari otak sampai ke daerah splanknikus, otot skelet dan akhirnya ke jaringan lemak. Gerakan ini penting dalam menentukan jangka waktu kerja yang singkat dari tiopental dan derivat jangka pendek lainnya. Barbiturat dimetabolisme dalam hati, dan metabolit yang tidak aktif dikeluarkan dalam urin.
E. Efek samping
1. SSP : barbiturat menyebabkan mengantuk, konsentrasi terganggu dan kelesuan mental dan fisik.
2. “Hangover” obat : barbiturat dalam dosis hipnotik menimbulkan perasaan lesu setelah pasien bangun kembali. “Hangover” obat ini menyebabkan bebarapa fungsi tubuh yang normal terganggu beberapa jam setelah pasien terbangun. Kadang-kadang dapat terjadi mual dan pusing.
3. Perhatian : Seperti telah dikemukakan di atas, barbiturat memacu sistem P-450 dan karena itu menurunkan efek obat yang dimetabolisme oleh enzim hati ini. Barbiturat meningkatkan sintesis porfirin dan merupakan kontraindikasi pada pasien dengan porfiria intermiten akut.
4. Ketergantungan : penghentian barbiturat secara mendadak menyebabkan tremor, ansietas, lemah, gelisah, mual dan muntah, kejang, delirium dan jantung berhenti. Gejala putus obat lebih berat jika dibandingkan opiat dan dapat menimbulkan kematian.
5. Keracunan : dalam beberapa dasawarsa belakangan ini telah terjadi keracunan barbiturat pada beberapa pengguna dan menyebabkan kematian akibat overdosis. Terjadi depresi pernapasan yang hebat bersamaan dengan depresi kardiovaskular pusat, menimbulkan syok dengan pernapasan dangkal dan lambat. Pengobatan dilakukan seperti respirasi artifisial dan kurasan isi lambung jika obat baru saja diminum. Hemodialisis mungkin diperlukan jika obat yang diminum cukup banyak. Alkalinisasi urin sangat membantu pengeluaran fenobarbital.
VI. Sedatif Nonbarbiturat
A. Klofal hidrat
Kloral hidrat adalah derivat triklor dari asetaldehid dan diubah menjadi trikloretanol dalam tubuh. Obat merupakan sedatif dan hipnotik yang baik, menyebabkan tidur dalam 30 menit dan berlangsung sampai 6 jam. Dalam pencernaan kloral hidrat menyebabkan iritasi dan nyeri epigastrik. Juga menimbulkan sensasi tidak enak dalam mulut.
B. Antihistamin
Antihistamin sebagai obat bebas mempunyai sifat sedasi seperti difenhidramin dan doksilamin dan efektif mengobati insomnia ringan. Obat ini biasanya tidak mampu untuk semua jenis insomnia kecuali bentuk paling ringan dari insomnia situasional. Selanjutnya obat ini mempunyai efek samping yang tidak diinginkan sehingga penggunaannya lebih sedikit dibanding Benzodiazepin. Antihistamin sedatif ini dijual dalam campuran obat-obat bebas.
C. Etanol
Etanol (etil alkohol) memberikan efek antiansietas dan sedatif, tetapi potensi peracunannya lebih banyak dari keuntungannya. Etanol adalah depresan SSP, memberikan sedasi dan akhirnya hipnosis dengan dosis yang ditingkatkan. Etanol menyebabkan kurva dosis respons yang dangkal karena itu sedasi terjadi dalam dosis yang sangat luas. Alkohol sinergistik dengan obat-obat sedatif lain dan dapat menyebabkan depresi SSP hebat dengan antihistamin atau barbiturat.
1. Disulfiram : Etanol dimetabolisme terutama dalam hati, pertama menjadi asetaldehid oleh alkohol dehidrogenase, kemudian asetat oleh aldehid dehidrogenase. Disulfiram menghambat oksidasi asetaldehid menjadi asam asetat dengan menghambat aldehid dehidrogenase. Ini mengakibatkan akumulasi asetaldehid dalam darah, muka merah, takikardia, hiperventilasi, dan mual. Disulfiram dapat digunakan untuk pasien yang sangat ingin menghentikan alkohol untuk mencegah terjadinya efek yang tidak menyenangkan dari akumulasi asetataldehid yang disebabkan disulfiram.
~~~ * ~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar